Wednesday, February 18, 2009

UU KMIP Pra Pengesahan


RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik

Keinginan masyarakat yang menghendaki payung hukum dalam memperoleh informasi makin terasa. Berbeda dengan pada awal tahun 2000, tidak hanya kurang dukungan, tingkat pemahaman akan arti pentingnya suatu pengaturan dalam bentuk Undang-undang (UU) untuk mengakses informasi secara mudah juga terlihat minim. Pada awal September 2006 kemarin, sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam koalisi kebebasan informasi (KKI) mendesak komisi pertahanan DPR RI segera menyelesaikan pembahasan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP).

RUU KMIP ini merupakan inisiatif DPR. Dalam perjalanannya, sebagaimana ditulis koran ini, pembahasan RUU KMIP dinilai lamban. Sebab, hingga pembahasan ke-5 pada tanggal 4 September 2006 lalu, baru sekitar 54 dari 334 daftar inventarisasi masalah (DIM) yang berhasil dibahas DPR dan pemerintah (Seputar Indonesia, 23/09/06). Pentingnya keberadaan aturan hukum dalam KMIP selain menjamin kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses informasi, adalah untuk menciptakan suatu pemerintahan yang demokratis.

Hal yang mustahil tanpa adanya jaminan tersebut suatu pemerintahan akan menjadi demokratis.Adalah suatu cara pemikiran lihai sekaligus menyesatkan, bahwa dalam suatu pemerintahan demokratis, kebebasan memperoleh informasi sangat dibatasi. Padahal kebebasan memperoleh informasi publik (KMIP) merupakan pengejawentahan pemerintah demokratis yakni asas keterbukaan dan asas akuntabilitas yang menyangkut partisipasi (publik) dan transparansi. Bahkan akses masyarakat dalam memperoleh informasi merupakan HAM yang diatur dalam konstitusi (Pasal 28F UUD 1945) maupun instrumen HAM internasional pada article 19 Universal Declaration of Human Rights.

Kendati demikian, KMIP terasa sangat dibatasi oleh adanya Rahasia Negara (RN). Alasan legalnya, hak atas mengakses informasi sebagai salah satu wujud penghargaan HAM, tidak serta merta berlaku secara mutlak dan konstitusional. Suatu kebebasan tetap ada batasannya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 28J UUD 1945 dan Article 29 Universal Declaration of Human Rights. Dalam perkembangannya, pemerintah melalui Departemen Pertahanan tetap getol melanjutkan niatannya untuk mengesahkan RUU RN. Malahan sampai keluar Kepres tentang pembahasan RUU RN.

Legal Drafting

Saat ini dua hal yang berbeda itu sedang dibahas dan masih dalam bentuk draf rancangan Undang-undang (RUU). Terlepas dari perbedaan diatas, perlu diacungi jempol terhadap mereka yang ditugasi membuat RUU RN (baca: legal drafter). Melihat substansi RUU RN beserta penjelasannya memang reasonable akan adanya kebijakan yang mengatur tentang apa dan bagaimana duduk perkara dari suatu RN agar tidak menjadi rahasia umum atapun bukan rahasia lagi. Pendeknya, nyaris sempurna proses pembuatan RUU (legal drafting) RN.


(Mungkin) untuk pertama kalinya, minimal jarang, sepanjang pengamatan saya—semoga tidak salah—landasan yuridis suatu RUU kurang dominan dibandingkan dengan landasan filosofis dan sosiologis, sebagaimana yang terjadi pada RUU RN. Dibandingkan RUU lain (misal RUU/UU tentang Pemerintahan Daerah), RUU RN sangat minim landasan yuridisnya. Padahal selama ini suatu RUU galibnya tidak demikian, namun bukan berarti salah.

Landasan filosofis merupakan ide atau gagasan yang sarat nilai-nilai moral, etika dan kebenaran yang dikehendaki masyarakat. Sementara landasan sosiologis adalah segala hal yang menyangkut kebutuhan dan keadaan masyarakat. Adapun landasan yuridis berpijak pada peraturan perundangan yang merupakan dasar hukum ataupun raison d’etre peraturan yang baru baik bersifat formal (kewenangan) maupun material (substansi yang diatur). Namun, dalam merumuskan suatu peraturan tidak jarang terjebak pada konflik kepentingan karena adanya perbedaan latar belakang. Seyogyanya, para legal drafter berlaku obyektif dalam merumuskan suatu kebijakan yang mengatur kepentingan publik.

Memimjam analisis van Apeldoorn, isi peraturan perundangan sejatinya adalah hasil terakhir dari pertikaian antara pelbagai kekuatan, seperti ekonomis, politik, cendikiawan yang ada dimasyarakat. Singkat kalimat, undang-undang adalah: un traitĕ de paix entre des forces rivales. Tanpa itu, cepat atau lambat justru akan membentuk pemerintahan totalitarianisme, dimana penyelenggara negara dengan mudahnya mengorbankan kepentingan orang banyak.

Ancaman Demokrasi

Sekalipun landasan filosofis dan sosiologis dalam RUU RN lebih dominan dengan mengedepankan maximum access limited exemtion, tapi bukan berarti dapat diterima khalayak. Sebaliknya, (akan) mengandung tingkat resistensi yang besar. Kelak RUU RN
yang tanpa mengalami revisi dan disahkankan menjadi UU, dapat dipastikan akses masyarakat atas informasi secara baik dan benar sedikit banyaknya akan terhalang.
Padahal KMIP adalah salah satu perangkat bagi masyarakat untuk melakukan check and balance. Sebab, masyarakat berhak melakukan pengawasan eksternal. Hak masyarakat untuk mengawasi pemerintahan dengan asumsi bahwa mereka yang duduk dipemerintahan karena mandat dari rakyat pada saat pemilu. Dengan kata lain, kekuasaan pemerintahan berasal dari rakyat. Maka sudah sewajarnya apabila penyelenggaraan pemerintahan haruslah selalu dipertanggung jawabkan kembali kepada rakyat salah satu caranya melalui pintu KMIP.

Dalam draf RUU RN bertanggal 24 Februari 2006, RN meliputi ruang lingkup: a) pertahanan dan keamanan Negara; b). hubungan internasional; c). proses penegakan hukum; d). ketahanan ekonomi nasional; e) sistem persandian Negara; f). sistem intelejen Negara, dan; g). asset vital Negara (Pasal 5 RUU RN). Diantara ketujuh ruang lingkup tersebut, yang bakal paling menuai masalah ialah ruang lingkup proses penegakan hukum. Apabila untuk kasus tertentu misalkan terorisme, mungkin dapat dibenarkan. Atau masalah hubungan internasional, seperti penguasaan pulau Ambalat antara Indonesia-Malaysia, apabila dibeberkan seluruhnya akan merugikan pemerintah Indonesia.

Tetapi, apabila menyangkut masalah korupsi justru menjadi ancaman bagi eksistensi pemerintahan demokratis yang kelak hanya menjadi slogan semata. Alhasil, praktik diskriminasi hukum akan terjadi dimana good governance dan prinsip equality before the law akan sulit diwujudkan. Padahal, negara ini belum sembuh atau masih sekarat terhadap penyakit KKN. Jelas sangat sulit dengan masuknya proses penegakan hukum dalam ruang lingkup RN dalam membasmi para koruptor. Ataupun berkenaan dengan laporan pentaluran dana ke publik. Misalkan saja, penyaluran bantuan operasional sekolah (BOS) oleh Depdiknas. Jika sudah ada aturan hukum tentang KMIP maka kewajiban pemerintah untuk menyampaikan kepada publik tentang sejauh mana keefektifan dari penyaluran dana tersebut.

Selain itu, kasus pelanggaran HAM juga akan sulit dituntaskan secara adil. Sangat boleh jadi, dengan alasan RN yang akan membahayakan negara, proses penegakan hukum terhadap korupsi dan pelanggaran HAM menjadi jalan ditempat. Kekhawatiran terhadap pengaturan RN justru hanya akan melindungi pejabat publik dari perbuatan menyimpang yang dilakukan.

Anehnya, semula pemerintah merasa keberatan jika dalam RUU KMIP badan publik diwajibkan menyampaikan jawaban secara tertulis apabila menolak memberikan informasi kepada pihak yang membutuhkan. Untungnya, pemerintah kini menyetujui. Tentunya jika pemerintah menolaknya, maka perbuatan ini telah menempatkan pemerintah sebagai diktator (lihat Harold J. Cross, 1953).

KMIP Di Negara Lain

Menghalang-halangi KMIP sama artinya memelihara kebenaran semu yang cepat atau lambat niscaya punah dan tidak ada alasan tepat untuk menghambat KMIP yang dibatasi dengan selimut UU RN. Pada awalnya ini akan berhasil menghambat KMIP setelah gagal mengahambat kebebasan pers, namun keinginan masyarakat yang menghendaki KMIP bukan orang per orang ataupun kelompok, melainkan kian meluas karena KMIP sudah merupakan kebutuhan dasar setiap warga negara sejak ratusan tahun lalu.

Sejarah perkembangan the right to know pertama kali adalah dikawasan Skandinavia, yakni Swedia. Meski tidak diatur secara khusus dalam UU, hak masyarakat dalam memperoleh informasi termuat dalam the Freedom of the Press Act tahun 1766. Dibandingkan Amerika dengan Freedom of Information Act tahun 1966, maupun Inggris yang diperjuangkan sejak tahun 1911 dan baru menuai hasil dengan terbitnya Freedom of Information Act pada November 2000, Swedia lah yang mengawali terlebih dulu.

Di swedia, akses masyarakat dalam memperoleh informasi telah dijamin dalam hukum dasarnya (fundamental law), terutama tiga dari empat hukum dasar Swedia, yakni UU Instrumen Pemerintah (the Instrument of Government); UU Kebebasan Pers (the Freedom of the Press Act), dan; UU Kebebasan Berekspresi (the Law on Freedom of Expression). Dalam Pasal 2 UU Instrumen Pemerintah Swedia disebutkan, Freedom of information: that is, the freedom to procure and receive information and otherwise acquaint oneself with the utterances of others.

Untuk menjamin pelaksanaan hukum dasar tersebut, termasuk KMIP, ditugaskan oleh tiga lembaga sebagai instrumen pengawasan hukum dasar (the Guardian of the Fundamental Laws) masing-masing: Komite Konstitusi (Committee on the Constitution); Ombudsman Parlemen (Rijksdagens Ombudsman), dan; Chancellor of Justice (Justitie Kanslern). Tugas Riksdagens Ombudsman selain mengawasi penyelenggara negara, juga menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat terhadap akses informasi, sama seperti di Inggris, Ombudsman nya berwenang mengawasi pelaksanaan akses informasi berdasarkan code of practise.

Pengawasan KMIP

Indonesia sendiri sudah memiliki Ombudsman yang sering disebut dengan Komisi Ombudsman Nasional (KON). Dalam perjalananya selama 6 tahun berdiri, secara khusus KON belum pernah menerima pengaduan masyarakat mengenai akses informasi yang tidak diberikan oleh penyelenggara negara. Menurut ketua KON, Antonius Sujata, beberapa jenis pelayanan informasi yang banyak dikeluhkan masyarakat melalui KON adalah, tidak tersedianya informasi yang tepat, keterlambatan memperoleh informasi, jaminan kerahasiaan informasi pribadi, Ketidakkonsistenan pejabat dalam memberikan informasi, dan penyampaian dokumen informasi dengan waktu yang tidak patut.

Meskipun dimungkinkan bagi KON untuk menindaklanjuti pengaduan masyarakat terhadap KMIP, tetapi ini sebenarnya masih berada diwilayah grey area. Pasalnya KON yang terbentuk berdasarkan Keppres No.44 tahun 2000 belum mengaturnya. Tambah lagi, RUU Ombudsman Republik Indonesia (RUU ORI) tidak mengatur secara tegas berwenang tidaknya KON mengawasi pelaksanaan KMIP dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat atas akses informasi sebagaimana yang dilakukan oleh Riksdagens Ombudsman maupun Ombudsman Inggris.

Sementara itu, dalam perkembangan pembahasan RUU KMIP terakhir, pemerintah menolak membentuk komisi khusus yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa tentang hak setiap orang atas informasi. Padahal dalam RUU KMIP telah secara tegas menghendaki adanya suatu lembaga idependen yang berfungsi menyelesaikan seneketa melalui mediasi dan/atau ajudikasi. Apabila pemerintah tetap tidak menyetujui dibentuknya komisi informasi karena keterbatasan anggaran ataupun alas an lainnya, sebenarnya KON dapat juga melakukan pengawasan dan sanksi terhadap pelaksanaan KMIP apabila KON diberi kewenangan tambahan.

Kiranya sebelum disahkan menjadi UU, dalam RUU KMIP perlu mempertegas pengawasan terhadap pelaksanaan akses masyarakat untuk memperoleh informasi dari penyelenggara negara atau pejabat publik. Selain itu, perlu pembatasan terhadap apa saja yang menjadi rahasia negara agar jangan sampai dengan alasan rahasia negara maka badan publik tidak memberikan informasi secara benar dan melindungi para pelaku pelanggaran HAM.

Yang menjadi keraguan penulis, sekalipun KMIP sudah diakomodasi dalam bentuk UU, namun dalam pelaksanaan besar kemungkinan akan bermasalah. Sebab antara KMIP dan RN ibarat sekeping mata uang logam bernama “demokrasi” yang memiliki dua sisi. Pastinya, penulis berharap keraguan tersebut tidak benar.………RMKDN………

No comments: