Wednesday, May 2, 2007

Menunggu Sebuah Jawaban;(Atas Judicial Review Perpres 36/2005)

Menunggu Sebuah Jawaban
(Atas Judicial Review Perpres 36/2005)

Oleh : RM Kurniawan Desiarto

Pada tanggal 11 Juli 2005 lalu, ratusan orang yang tergabung dalam Barisan Anti Penggusuran (Bagus) yang terdiri dari para praktisi hukum, anggota dewan, akademisi, mahasiswa dan berbagai ornop di Yogyakarta melakukan aksi unjuk rasa menolak penggusuran berkumpul di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta. Mereka memprotes kebijakan pemerintah yang menerbitkan Perpres 36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Bersamaan dengan aksi itu, Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP)—mungkin yang pertama kalinya di Indonesia—melayangkan gugatan judicial review/JR (hak uji materiil) terhadap Perpres pembebasan tanah. Berkas pengajuan JR tercatat di PN Yogya Nomor 01.P/HUM/2005/PN Yk bertanggal 11 Juli 2005. Namun, setelah tiga bulan sampai detik ini belum ada keputusan hukum tetap dari Mahkamah Agung (MA) terhadap gugatan JR tersebut.

Dasar Hukum JR

Adapun dasar hukum JR yang diajukan oleh SPHP yakni, Pertama, Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945, MA berwenang mengadili tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

Kedua,Pasal 11 ayat (2) huruf b UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Hak uji ini dapat dilakukan baik terhadap materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari peraturan per-UUan dengan peraturan yang lebih tinggi maupun terhadap pembatalannya.

Ketiga, Pasal 31 ayat (1), (2), (3) UU No.5 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang MA. Ayat (1), MA mempunyai wewenang menguji peraturan per-UUan dibawah UU terhadap UU; Ayat (2), MA menyatakan tidak sah peraturan per-UU-an atas alas an bertentangan dengan peraturan per-UUan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; Ayat (3), Putusan mengenai tidak sahnya peraturan per-UUan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada MA.

Keempat, ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jo. Pasal 3 TAP MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Per-UUan. Merujuk pada ketentuan ini, maka kewenangan MA dalam hal hak uji materiil adalah Peraturan Pemerintah, Perpres, dan Perda.

Kelima, Peraturan MA (Perma) Republik Indonesia No.1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil.

Keenam,Bahwa permohonan keberatan ini masih dalam kurun waktu 180 hari sejak ditetapkannya Perpres 36/2005 pada tanggal 3 Mei 2005.

Hal Krusial

Dengan berlakunya Perpres ini maka, Keppres No.55/1993 yang mengatur hal yang sama, pada dasarnya telah tergantikan posisinya. Meski dalam ketentuan Perpres itu disebutkan sepanjang tidak bertentangan, maka Keppres 55/1993 masih diberlakukan. Ini terlihat dari Pasal yang ada dalam Perpres tersebut membatasi musyawarah dalam kurun waktu yang terbatas, tidak lebih dari 90 hari. Sementara dalam Keppres tidak disebutkan.

Mencermati substansi Perpres, sebenarnya terdapat tiga hal krusial yang menimbulkan keresahan dikalangan masyarakat yakni, Pertama, definisi kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Padahal, definisi kepentingan umum dalam Keppres diartikan sebagai kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Sehingga, sebagaimana yang disebutkan dalam JR SPHP, rumusan ini terlalu summier yang bermakna “50+1>49” sudah merupakan kepentingan umum.

Kedua, Perpres 36/2005 tidak menyebutkan bahwa pembangunan bukan diperuntukkan untuk mencari keuntungan. Dalam Keppres 55/1993 dijelaskan, pembangunan untuk kepentingan umum dibatasi untuk kegiatan pembangunan dan dimiliki pemerintah serta tidak digunakan mencari keuntungan. Dalam praktiknya kemarin, Keppres ini ditengarai dipakai untuk mencari keuntungan.

Dengan tidak disyaratkannya pembangunan harus dilakukan tidak untuk mencari keuntungan, kuat dugaan akan terjadi sebaliknya. Dalam bahasa hukumnya, selama tidak disebutkan demikian, maka pembangunan dapat juga berorientasi mengeruk keuntungan karena tidak ada pelarangan. Artinya, sah-sah saja jika pembangunan dilakukan untuk mengeruk keuntungan dengan dalih ‘kepentingan umum’.

Ketiga, menyangkut besarnya ganti rugi dan penitipan ganti rugi pada PN. Ini dilakukan apabila apabila musyawarah dalam kurun waktu 90 hari tidak ada kata sepakat, seperti yang dilakukan Pemkab Tangerang yang akan menitipkan uang ganti rugi pembebasan lahan fly over Ciputat kepada PN Tangerang melalui surat penetapan konsinyasi No.02/pen.tdp.consig/2005/PN Tangerang bertanggal 6 September 2005.

Padahal, yang namanya ganti rugi terlebih dulu ada kesepakatan, termasuk dalam hal melepaskan hak atas tanah. Lebih lanjut, dalam JR SPHP disebutkan, hal ini sangat bertentangan dengan pengaturan konsinyasi dalam Pasal 1404 sampai Pasal 1412 KUHPerdata. Konsinyasi merupakan salah satu bentuk hapusnya perikatan. Dengan demikian setiap konsinyasi harus didahului adanya perikatan. Padahal disini tidak ada perikatan antara pihak yang akan melepaskan dengan pihak yang akan dilepaskan haknya. Dan konsinyasi hanya dapat dikatakan sah apabila ada penetapan dari PN. Konsinyasi ala Perpres 36/2005 merupakan konsinyasi model baru yang tidak memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat karena mengandung unsur pemaksaan.

Prediksi

Apabila melihat dua peraturan per-UUan yang juga mengatur tentang sumber daya alam yakni, Perpu No.1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No.1 Tahun 2004 tentang Kehutanan (Perpu Kehutanan) dan UU No.7 tentang Sumber Daya Air yang sama-sama ditolak JR nya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pertanyaannya, bagaimana dengan keputusan MA atas JR Perpres 36/2005 yang diajukan oleh SPHP?

Yang pasti, penolakan JR oleh MK merupakan pukulan telak bagi masyarakat dan pegiat ornop. Dan merupakan bukti bahwa pemerintah bersikap lebih bersahabat terhadap para investor (investor friendly) ketimbang memperhatikan masyarakat. Sedangkan keberadaan Perpres tersebut tampak sekali keberpihakannya kepada pemodal besar dimana pemerintah nyaris tak berdaya. Oleh sejumlah kiai NU yang menggelar pertemuan di ponpes Pandanaran, Sleman, Jogjakarta (10/07) secara tegas menyatakan Perpres 36/2005 adalah haram hukumnya.

Paling tidak, ini membuktikan kebenaran dari thesisnya John Perkins dalam Confession of An Economic Hit Man (2004) yang mengatakan jaringan pemodal besar senantiasa menekan pemerintah negara berkembang untuk menuruti kemauannya termasuk dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam.

Alih-alih sudah bisa ditebak apa keputusan MA atas JR Perpres tersebut. Logikanya, peraturan yang lebih tinggi saja dapat dengan mudah ditolak, apalagi peraturan yang sebatas Perpres. Tanpa bermaksud mengecilkan peran MA yang berwenang menguji secara materiil, diharapkan keputusan MA atas JR Perpres 36/2005 lebih mempertimbangkan aspek yuridis-sosiologisnya dan jangan sampai mengabaikan rasa keadilan dimasyarakat. Sebagaimana pameo dari SPHP dengan menggunakan bahasa latin, Quid Ius Sine Justitia, Apalah artinya hukum apabila tanpa keadilan.



Selengkapnya...

Tuesday, May 1, 2007

Menjadikan Pelayanan Publik Sebagai Hak Masyarakat

Dimuat di: Harian Seputar Indonesia,17 Juni 2006


Menjadikan Pelayanan Publik Sebagai Hak Masyarakat

Oleh: RM Kurniawan Desiarto

Tidak kurang dari 60 tahun negara ini merdeka, bertujuan diantaranya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Cita-cita yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 adalah (sangat) mulia. Lantaran saking mulia dan sudah berpuluh-puluh tahun, sampai-sampai penyelenggara negara nyaris lupa untuk mewujudkannya kedalam bentuk pelayanan publik (yang baik).

Baru ingat pada tahun 2004, yang dicanangkan sebagai tahun peningkatan pelayanan publik. Semenjak itu maka aturan main dalam pelayanan publik mulai digagas ke dalam bentuk Undang-undang Pelayanan Publik yang kini tengah dibahas dan berbentuk RUU. Sekalipun terlambat, tapi bukan berarti tidak sama sekali, niatan pemerintah untuk mewujudkan pelayanan publik yang baik perlu ditanggapi secara apresiatif.

Birokrasi Tidak Bersahabat

Sudah lumrah bahwa pelayanan publik di Indonesia jauh dari memuaskan, untuk tidak menyebut buruk. Perlu diketahui, penyebab terjadinya pelayanan publik yang kurang/tidak memuaskan ini adalah orang-orang yang berada dalam sistem secara fungsional bertugas melayani masyarakat yang dalam hal ini adalah birokrat pelayan publik. Citra negatif birokrasi pelayanan publik sudah sedemikian melekat dimata masyarakat.

Slogan miring sering bermunculan, seperti, “Jika bisa bayar mengapa harus gratis, jika bisa dipersulit mengapa dipermudah, jika bisa diperlama mengapa dipercepat”. Masyarakat yang mustinya sebagai subyek justru menjadi obyek dari pelayanan. Bahkan (terkadang) menjadi sapi perahan oleh aparat pelayanan publik. Ini semakin mempertegas bahwa birokrasi pelayanan publik tidak bersahabat.

Birokrasi yang seharusnya mempermudah urusan pelayanan publik justru mempersulit masyarakat selaku penerima layanan. Karena tidak transparan dan ditunjang sikap tidak profesional serta SDM yang kurang memadai semakin menjauh dar visi dan misi pelayanan publik. Tidak sedikit aparat/pejabat pelayanan publik yang mengutip—ketimbang menyebut pungli—sejumlah uang dari penerima layanan yang melebihi biaya resmi.

Malah terkadang dalam pemberian layanan yang semestinya cuma-cuma, ternyata dikenakan biaya. Dengan alasan, sebagai ganti biaya administrasi. Wow!. Padahal, semua itu sudah menjadi tanggungan negara, sama halnya dengan gaji aparat/pejabat pelayanan publik yang ditanggung negara. Tapi apa lacur, dengan kata ‘seikhlasnya’, si penerima layanan yang sedang terburu-buru yang kebetulan membawa cukup uang, sedangkan aparatnya doyan sekaligus berharap duit. Maka klop lah sudah. Hanya dalam beberapa kerjapan mata serah terima uang selesai.

Selebihnya, senyum kebahagiaan dari aparat/petugas pelayanan publik jika mendapat angpau yang jumlahnya lumayan besar. Sebaliknya, jika angpau kecil akan diganjar secara kontan dengan pelototan mata yang angker tanpa bisa membatalkan pelayanan publik yang sudah diberikan.

Hak Masyarakat

Sebenarnya ada dua penyebab mengapa birokrasi pelayanan publik tidak bersahabat. Pertama, belum terbentuknya sistem birokrasi yang rasional, melainkan masih melanggengkan budaya kolonial dan beraroma KKN. Menurut Blau dan Meyer (terj.1987), birokrasi merupakan lembaga yang sangat berkuasa, memiliki kemampuan besar untuk berbuat kebaikan ataupun keburukan. Masalah yang dihadapi masyarakat (demokratis) adalah bagaimana memperoleh dan mempertahankan pengawasan demokrasi terhadap birokrasi agar dapat bekerja demi kepentingan publik.

Kedua, belum adanya aturan main birokrasi pelayanan publik yang jelas dan aturan main yang setingkat dengan undang-undang. Selama ini aturan main hanya sebatas Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (SK Menpan). Itupun hanya kalangan internal lembaga dan tidak diketahui masyarakat luas.

Berbeda jika aturan main terhadap (birokrasi) pelayanan publik diatur dengan undang-undang. Dus, dalam pelayanan publik selain terdapat asas dan prinsipnya serta kepastian dan tepat waktu, yang terpenting adalah masyarakat dapat mengetahuinya. Tetapi fenomena yang kerap terjadi adalah aparat pelayanan publik tampak terbebani dengan adanya masyarakat yang membutuhkan pelayanan publik. Seakan mereka orang terpenting dimuka bumi ini ketika masyarakat mendatanginya.

Dalam RUU Pelayanan Publik draft VIII bertanggal 17/02/05 yang menjadi pijakan hukumnya yakni Pasal 34 ayat (3) UUD 1945. Sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi disebutkan, Negara bertanggung jawab atas penyedia fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Karena merupakan tanggung jawab negara, maka artinya pelayanan publik yang baik merupakan hak masyarakat untuk medapatkannya. Sebaliknya merupakan kewajiban negara untuk memenuhi pelayanan pelayanan publik yang baik, siapapun yang duduk dalam pemerintahan. Pelayanan publik yang baik merupakan perwujudan dari adanya kesejahteraan umum, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 sejak enam puluh tahun lalu.

Diakuinya hak masyarakat dalam mengakses dan menerima pelayanan publik yang baik dalam konstitusi ialah suatu keniscayaan dalam pemerintahan yang demokratis. Dimana dalam RUU Pelayanan Publik yang kelak menjadi UU Pelayanan Publik merupakan aturan main yang baku dan harus dilaksanakan oleh oleh aparat pelayanan publik dalam rangka mewujudkan good governance di Indonesia.

Lebih jauh, karena merupakan hak masyarakat maka pelayanan publik tidak boleh bersifat diskriminatif yaitu meniadakan perbedaan suku, agama, status sosial, dan sebagainya. Tidak ada alasan yang kuat bagi aparat pelayanan publik untuk bersikap tidak baik berupa menunda-nunda pelayanan (undue delay), tidak ada kejelasan, tidak ada kepastian, tidak bertanggung jawab dan diskriminatif.

Pengawasan Pelayanan Publik

Sumber daya manusia yang kurang memadai, birokrasi yang belum berjalan sebagimana mestinya dan tanpa dukungan sarana-prasarana telah menegasikan hak masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik. Masyarakat kerap di ping-pong ataupun diperas dengan alasan se-ikhlasnya untuk mengganti biaya administrasi yang jelas-jelas sudah ditanggung negara ketika sedang membutuhkan pelayanan publik.

Untuk dapat merubah sikap atau perlaku dari aparat pelayanan publik yang merugikan masyarakat maka diperlukan pengawasan. Selama ini pengawasan terhadap pelayanan publik hanya dilakukan secara internal ke lembagaan dan cenderung tidak memperbaiki atau meningkatkan kualitas pelayanan publik. Sejalan dengan asas umum penyelenggaraan pelayanan publik yang baik bersifat partisipatif, maka pengawasan dengan jalan melibatkan peran serta masyarakat.

Peningkatan kualitas pelayanan publik agar menjadi baik dengan cara melakukan pengawasan terhadap aparat pelayanan publik telah terakomodir dalam RUU tersebut. Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan dengan dua jalan, pertama pengawasan intern, yang dilakukan oleh atasan dan oleh aparat pengawasan fungsional. Kedua, pengawas ekstern yang dilakukan oleh masyarakat secara langsung dan pengawasan yang dilakukan oleh Ombudsman untuk memberikan perlindungan hak-hak masyarakat, keadilan dan kesejahteraan dalam memperoleh pelayanan publik yang baik.

Perlunya pengawasan terhadap pelayanan publik adalah agar terpenuhinya hak masyarakat dalam mengakses pelayanan publik. Tanpa adanya pengawasan ekstern sangat sulit untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik. Sebab, selama ini aparat pelayanan publik tidak sedikit yang masih belum memahami tugas dan pengabdiannya dalam memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat.



RM Kurniawan Desiarto pendiri Institue of Law, Human Rights and Democracy (ILHAD) dan asisten Ombudsman Nasional di Komisi Ombudsman Nasional.

Selengkapnya...