Menunggu Sebuah Jawaban
(Atas Judicial Review Perpres 36/2005)
Pada tanggal 11 Juli 2005 lalu, ratusan orang yang tergabung dalam Barisan Anti Penggusuran (Bagus) yang terdiri dari para praktisi hukum, anggota dewan, akademisi, mahasiswa dan berbagai ornop di Yogyakarta melakukan aksi unjuk rasa menolak penggusuran berkumpul di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta. Mereka memprotes kebijakan pemerintah yang menerbitkan Perpres 36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Bersamaan dengan aksi itu, Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP)—mungkin yang pertama kalinya di
Dasar Hukum JR
Adapun dasar hukum JR yang diajukan oleh SPHP yakni, Pertama, Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945, MA berwenang mengadili tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Kedua,Pasal 11 ayat (2) huruf b UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Hak uji ini dapat dilakukan baik terhadap materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari peraturan per-UUan dengan peraturan yang lebih tinggi maupun terhadap pembatalannya.
Ketiga, Pasal 31 ayat (1), (2), (3) UU No.5 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang MA. Ayat (1), MA mempunyai wewenang menguji peraturan per-UUan dibawah UU terhadap UU; Ayat (2), MA menyatakan tidak sah peraturan per-UU-an atas alas an bertentangan dengan peraturan per-UUan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; Ayat (3), Putusan mengenai tidak sahnya peraturan per-UUan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada MA.
Keempat, ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jo. Pasal 3 TAP MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Per-UUan. Merujuk pada ketentuan ini, maka kewenangan MA dalam hal hak uji materiil adalah Peraturan Pemerintah, Perpres, dan Perda.
Kelima, Peraturan MA (Perma) Republik Indonesia No.1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil.
Keenam,Bahwa permohonan keberatan ini masih dalam kurun waktu 180 hari sejak ditetapkannya Perpres 36/2005 pada tanggal 3 Mei 2005.
Hal Krusial
Dengan berlakunya Perpres ini maka, Keppres No.55/1993 yang mengatur hal yang sama, pada dasarnya telah tergantikan posisinya. Meski dalam ketentuan Perpres itu disebutkan sepanjang tidak bertentangan, maka Keppres 55/1993 masih diberlakukan. Ini terlihat dari Pasal yang ada dalam Perpres tersebut membatasi musyawarah dalam kurun waktu yang terbatas, tidak lebih dari 90 hari. Sementara dalam Keppres tidak disebutkan.
Mencermati substansi Perpres, sebenarnya terdapat tiga hal krusial yang menimbulkan keresahan dikalangan masyarakat yakni, Pertama, definisi kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Padahal, definisi kepentingan umum dalam Keppres diartikan sebagai kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Sehingga, sebagaimana yang disebutkan dalam JR SPHP, rumusan ini terlalu summier yang bermakna “50+1>49” sudah merupakan kepentingan umum.
Kedua, Perpres 36/2005 tidak menyebutkan bahwa pembangunan bukan diperuntukkan untuk mencari keuntungan. Dalam Keppres 55/1993 dijelaskan, pembangunan untuk kepentingan umum dibatasi untuk kegiatan pembangunan dan dimiliki pemerintah serta tidak digunakan mencari keuntungan. Dalam praktiknya kemarin, Keppres ini ditengarai dipakai untuk mencari keuntungan.
Dengan tidak disyaratkannya pembangunan harus dilakukan tidak untuk mencari keuntungan, kuat dugaan akan terjadi sebaliknya. Dalam bahasa hukumnya, selama tidak disebutkan demikian, maka pembangunan dapat juga berorientasi mengeruk keuntungan karena tidak ada pelarangan. Artinya, sah-sah saja jika pembangunan dilakukan untuk mengeruk keuntungan dengan dalih ‘kepentingan umum’.
Ketiga, menyangkut besarnya ganti rugi dan penitipan ganti rugi pada PN. Ini dilakukan apabila apabila musyawarah dalam kurun waktu 90 hari tidak ada kata sepakat, seperti yang dilakukan Pemkab Tangerang yang akan menitipkan uang ganti rugi pembebasan lahan fly over Ciputat kepada PN Tangerang melalui
Padahal, yang namanya ganti rugi terlebih dulu ada kesepakatan, termasuk dalam hal melepaskan hak atas tanah. Lebih lanjut, dalam JR SPHP disebutkan, hal ini sangat bertentangan dengan pengaturan konsinyasi dalam Pasal 1404 sampai Pasal 1412 KUHPerdata. Konsinyasi merupakan salah satu bentuk hapusnya perikatan. Dengan demikian setiap konsinyasi harus didahului adanya perikatan. Padahal disini tidak ada perikatan antara pihak yang akan melepaskan dengan pihak yang akan dilepaskan haknya. Dan konsinyasi hanya dapat dikatakan sah apabila ada penetapan dari PN. Konsinyasi ala Perpres 36/2005 merupakan konsinyasi model baru yang tidak memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat karena mengandung unsur pemaksaan.
Prediksi
Apabila melihat dua peraturan per-UUan yang juga mengatur tentang sumber daya alam yakni, Perpu No.1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No.1 Tahun 2004 tentang Kehutanan (Perpu Kehutanan) dan UU No.7 tentang Sumber Daya Air yang sama-sama ditolak JR nya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pertanyaannya, bagaimana dengan keputusan MA atas JR Perpres 36/2005 yang diajukan oleh SPHP?
Yang pasti, penolakan JR oleh MK merupakan pukulan telak bagi masyarakat dan pegiat ornop. Dan merupakan bukti bahwa pemerintah bersikap lebih bersahabat terhadap para investor (investor friendly) ketimbang memperhatikan masyarakat. Sedangkan keberadaan Perpres tersebut tampak sekali keberpihakannya kepada pemodal besar dimana pemerintah nyaris tak berdaya. Oleh sejumlah kiai NU yang menggelar pertemuan di ponpes Pandanaran, Sleman,
Paling tidak, ini membuktikan kebenaran dari thesisnya John Perkins dalam Confession of An Economic Hit Man (2004) yang mengatakan jaringan pemodal besar senantiasa menekan pemerintah negara berkembang untuk menuruti kemauannya termasuk dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam.
Alih-alih sudah bisa ditebak apa keputusan MA atas JR Perpres tersebut. Logikanya, peraturan yang lebih tinggi saja dapat dengan mudah ditolak, apalagi peraturan yang sebatas Perpres. Tanpa bermaksud mengecilkan peran MA yang berwenang menguji secara materiil, diharapkan keputusan MA atas JR Perpres 36/2005 lebih mempertimbangkan aspek yuridis-sosiologisnya dan jangan sampai mengabaikan rasa keadilan dimasyarakat. Sebagaimana pameo dari SPHP dengan menggunakan bahasa latin, Quid Ius Sine Justitia, Apalah artinya hukum apabila tanpa keadilan.