Wednesday, February 18, 2009

UU KMIP Pra Pengesahan


RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik

Keinginan masyarakat yang menghendaki payung hukum dalam memperoleh informasi makin terasa. Berbeda dengan pada awal tahun 2000, tidak hanya kurang dukungan, tingkat pemahaman akan arti pentingnya suatu pengaturan dalam bentuk Undang-undang (UU) untuk mengakses informasi secara mudah juga terlihat minim. Pada awal September 2006 kemarin, sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam koalisi kebebasan informasi (KKI) mendesak komisi pertahanan DPR RI segera menyelesaikan pembahasan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP).

RUU KMIP ini merupakan inisiatif DPR. Dalam perjalanannya, sebagaimana ditulis koran ini, pembahasan RUU KMIP dinilai lamban. Sebab, hingga pembahasan ke-5 pada tanggal 4 September 2006 lalu, baru sekitar 54 dari 334 daftar inventarisasi masalah (DIM) yang berhasil dibahas DPR dan pemerintah (Seputar Indonesia, 23/09/06). Pentingnya keberadaan aturan hukum dalam KMIP selain menjamin kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses informasi, adalah untuk menciptakan suatu pemerintahan yang demokratis.

Hal yang mustahil tanpa adanya jaminan tersebut suatu pemerintahan akan menjadi demokratis.Adalah suatu cara pemikiran lihai sekaligus menyesatkan, bahwa dalam suatu pemerintahan demokratis, kebebasan memperoleh informasi sangat dibatasi. Padahal kebebasan memperoleh informasi publik (KMIP) merupakan pengejawentahan pemerintah demokratis yakni asas keterbukaan dan asas akuntabilitas yang menyangkut partisipasi (publik) dan transparansi. Bahkan akses masyarakat dalam memperoleh informasi merupakan HAM yang diatur dalam konstitusi (Pasal 28F UUD 1945) maupun instrumen HAM internasional pada article 19 Universal Declaration of Human Rights.

Kendati demikian, KMIP terasa sangat dibatasi oleh adanya Rahasia Negara (RN). Alasan legalnya, hak atas mengakses informasi sebagai salah satu wujud penghargaan HAM, tidak serta merta berlaku secara mutlak dan konstitusional. Suatu kebebasan tetap ada batasannya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 28J UUD 1945 dan Article 29 Universal Declaration of Human Rights. Dalam perkembangannya, pemerintah melalui Departemen Pertahanan tetap getol melanjutkan niatannya untuk mengesahkan RUU RN. Malahan sampai keluar Kepres tentang pembahasan RUU RN.

Legal Drafting

Saat ini dua hal yang berbeda itu sedang dibahas dan masih dalam bentuk draf rancangan Undang-undang (RUU). Terlepas dari perbedaan diatas, perlu diacungi jempol terhadap mereka yang ditugasi membuat RUU RN (baca: legal drafter). Melihat substansi RUU RN beserta penjelasannya memang reasonable akan adanya kebijakan yang mengatur tentang apa dan bagaimana duduk perkara dari suatu RN agar tidak menjadi rahasia umum atapun bukan rahasia lagi. Pendeknya, nyaris sempurna proses pembuatan RUU (legal drafting) RN.


(Mungkin) untuk pertama kalinya, minimal jarang, sepanjang pengamatan saya—semoga tidak salah—landasan yuridis suatu RUU kurang dominan dibandingkan dengan landasan filosofis dan sosiologis, sebagaimana yang terjadi pada RUU RN. Dibandingkan RUU lain (misal RUU/UU tentang Pemerintahan Daerah), RUU RN sangat minim landasan yuridisnya. Padahal selama ini suatu RUU galibnya tidak demikian, namun bukan berarti salah.

Landasan filosofis merupakan ide atau gagasan yang sarat nilai-nilai moral, etika dan kebenaran yang dikehendaki masyarakat. Sementara landasan sosiologis adalah segala hal yang menyangkut kebutuhan dan keadaan masyarakat. Adapun landasan yuridis berpijak pada peraturan perundangan yang merupakan dasar hukum ataupun raison d’etre peraturan yang baru baik bersifat formal (kewenangan) maupun material (substansi yang diatur). Namun, dalam merumuskan suatu peraturan tidak jarang terjebak pada konflik kepentingan karena adanya perbedaan latar belakang. Seyogyanya, para legal drafter berlaku obyektif dalam merumuskan suatu kebijakan yang mengatur kepentingan publik.

Memimjam analisis van Apeldoorn, isi peraturan perundangan sejatinya adalah hasil terakhir dari pertikaian antara pelbagai kekuatan, seperti ekonomis, politik, cendikiawan yang ada dimasyarakat. Singkat kalimat, undang-undang adalah: un traitĕ de paix entre des forces rivales. Tanpa itu, cepat atau lambat justru akan membentuk pemerintahan totalitarianisme, dimana penyelenggara negara dengan mudahnya mengorbankan kepentingan orang banyak.

Ancaman Demokrasi

Sekalipun landasan filosofis dan sosiologis dalam RUU RN lebih dominan dengan mengedepankan maximum access limited exemtion, tapi bukan berarti dapat diterima khalayak. Sebaliknya, (akan) mengandung tingkat resistensi yang besar. Kelak RUU RN
yang tanpa mengalami revisi dan disahkankan menjadi UU, dapat dipastikan akses masyarakat atas informasi secara baik dan benar sedikit banyaknya akan terhalang.
Padahal KMIP adalah salah satu perangkat bagi masyarakat untuk melakukan check and balance. Sebab, masyarakat berhak melakukan pengawasan eksternal. Hak masyarakat untuk mengawasi pemerintahan dengan asumsi bahwa mereka yang duduk dipemerintahan karena mandat dari rakyat pada saat pemilu. Dengan kata lain, kekuasaan pemerintahan berasal dari rakyat. Maka sudah sewajarnya apabila penyelenggaraan pemerintahan haruslah selalu dipertanggung jawabkan kembali kepada rakyat salah satu caranya melalui pintu KMIP.

Dalam draf RUU RN bertanggal 24 Februari 2006, RN meliputi ruang lingkup: a) pertahanan dan keamanan Negara; b). hubungan internasional; c). proses penegakan hukum; d). ketahanan ekonomi nasional; e) sistem persandian Negara; f). sistem intelejen Negara, dan; g). asset vital Negara (Pasal 5 RUU RN). Diantara ketujuh ruang lingkup tersebut, yang bakal paling menuai masalah ialah ruang lingkup proses penegakan hukum. Apabila untuk kasus tertentu misalkan terorisme, mungkin dapat dibenarkan. Atau masalah hubungan internasional, seperti penguasaan pulau Ambalat antara Indonesia-Malaysia, apabila dibeberkan seluruhnya akan merugikan pemerintah Indonesia.

Tetapi, apabila menyangkut masalah korupsi justru menjadi ancaman bagi eksistensi pemerintahan demokratis yang kelak hanya menjadi slogan semata. Alhasil, praktik diskriminasi hukum akan terjadi dimana good governance dan prinsip equality before the law akan sulit diwujudkan. Padahal, negara ini belum sembuh atau masih sekarat terhadap penyakit KKN. Jelas sangat sulit dengan masuknya proses penegakan hukum dalam ruang lingkup RN dalam membasmi para koruptor. Ataupun berkenaan dengan laporan pentaluran dana ke publik. Misalkan saja, penyaluran bantuan operasional sekolah (BOS) oleh Depdiknas. Jika sudah ada aturan hukum tentang KMIP maka kewajiban pemerintah untuk menyampaikan kepada publik tentang sejauh mana keefektifan dari penyaluran dana tersebut.

Selain itu, kasus pelanggaran HAM juga akan sulit dituntaskan secara adil. Sangat boleh jadi, dengan alasan RN yang akan membahayakan negara, proses penegakan hukum terhadap korupsi dan pelanggaran HAM menjadi jalan ditempat. Kekhawatiran terhadap pengaturan RN justru hanya akan melindungi pejabat publik dari perbuatan menyimpang yang dilakukan.

Anehnya, semula pemerintah merasa keberatan jika dalam RUU KMIP badan publik diwajibkan menyampaikan jawaban secara tertulis apabila menolak memberikan informasi kepada pihak yang membutuhkan. Untungnya, pemerintah kini menyetujui. Tentunya jika pemerintah menolaknya, maka perbuatan ini telah menempatkan pemerintah sebagai diktator (lihat Harold J. Cross, 1953).

KMIP Di Negara Lain

Menghalang-halangi KMIP sama artinya memelihara kebenaran semu yang cepat atau lambat niscaya punah dan tidak ada alasan tepat untuk menghambat KMIP yang dibatasi dengan selimut UU RN. Pada awalnya ini akan berhasil menghambat KMIP setelah gagal mengahambat kebebasan pers, namun keinginan masyarakat yang menghendaki KMIP bukan orang per orang ataupun kelompok, melainkan kian meluas karena KMIP sudah merupakan kebutuhan dasar setiap warga negara sejak ratusan tahun lalu.

Sejarah perkembangan the right to know pertama kali adalah dikawasan Skandinavia, yakni Swedia. Meski tidak diatur secara khusus dalam UU, hak masyarakat dalam memperoleh informasi termuat dalam the Freedom of the Press Act tahun 1766. Dibandingkan Amerika dengan Freedom of Information Act tahun 1966, maupun Inggris yang diperjuangkan sejak tahun 1911 dan baru menuai hasil dengan terbitnya Freedom of Information Act pada November 2000, Swedia lah yang mengawali terlebih dulu.

Di swedia, akses masyarakat dalam memperoleh informasi telah dijamin dalam hukum dasarnya (fundamental law), terutama tiga dari empat hukum dasar Swedia, yakni UU Instrumen Pemerintah (the Instrument of Government); UU Kebebasan Pers (the Freedom of the Press Act), dan; UU Kebebasan Berekspresi (the Law on Freedom of Expression). Dalam Pasal 2 UU Instrumen Pemerintah Swedia disebutkan, Freedom of information: that is, the freedom to procure and receive information and otherwise acquaint oneself with the utterances of others.

Untuk menjamin pelaksanaan hukum dasar tersebut, termasuk KMIP, ditugaskan oleh tiga lembaga sebagai instrumen pengawasan hukum dasar (the Guardian of the Fundamental Laws) masing-masing: Komite Konstitusi (Committee on the Constitution); Ombudsman Parlemen (Rijksdagens Ombudsman), dan; Chancellor of Justice (Justitie Kanslern). Tugas Riksdagens Ombudsman selain mengawasi penyelenggara negara, juga menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat terhadap akses informasi, sama seperti di Inggris, Ombudsman nya berwenang mengawasi pelaksanaan akses informasi berdasarkan code of practise.

Pengawasan KMIP

Indonesia sendiri sudah memiliki Ombudsman yang sering disebut dengan Komisi Ombudsman Nasional (KON). Dalam perjalananya selama 6 tahun berdiri, secara khusus KON belum pernah menerima pengaduan masyarakat mengenai akses informasi yang tidak diberikan oleh penyelenggara negara. Menurut ketua KON, Antonius Sujata, beberapa jenis pelayanan informasi yang banyak dikeluhkan masyarakat melalui KON adalah, tidak tersedianya informasi yang tepat, keterlambatan memperoleh informasi, jaminan kerahasiaan informasi pribadi, Ketidakkonsistenan pejabat dalam memberikan informasi, dan penyampaian dokumen informasi dengan waktu yang tidak patut.

Meskipun dimungkinkan bagi KON untuk menindaklanjuti pengaduan masyarakat terhadap KMIP, tetapi ini sebenarnya masih berada diwilayah grey area. Pasalnya KON yang terbentuk berdasarkan Keppres No.44 tahun 2000 belum mengaturnya. Tambah lagi, RUU Ombudsman Republik Indonesia (RUU ORI) tidak mengatur secara tegas berwenang tidaknya KON mengawasi pelaksanaan KMIP dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat atas akses informasi sebagaimana yang dilakukan oleh Riksdagens Ombudsman maupun Ombudsman Inggris.

Sementara itu, dalam perkembangan pembahasan RUU KMIP terakhir, pemerintah menolak membentuk komisi khusus yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa tentang hak setiap orang atas informasi. Padahal dalam RUU KMIP telah secara tegas menghendaki adanya suatu lembaga idependen yang berfungsi menyelesaikan seneketa melalui mediasi dan/atau ajudikasi. Apabila pemerintah tetap tidak menyetujui dibentuknya komisi informasi karena keterbatasan anggaran ataupun alas an lainnya, sebenarnya KON dapat juga melakukan pengawasan dan sanksi terhadap pelaksanaan KMIP apabila KON diberi kewenangan tambahan.

Kiranya sebelum disahkan menjadi UU, dalam RUU KMIP perlu mempertegas pengawasan terhadap pelaksanaan akses masyarakat untuk memperoleh informasi dari penyelenggara negara atau pejabat publik. Selain itu, perlu pembatasan terhadap apa saja yang menjadi rahasia negara agar jangan sampai dengan alasan rahasia negara maka badan publik tidak memberikan informasi secara benar dan melindungi para pelaku pelanggaran HAM.

Yang menjadi keraguan penulis, sekalipun KMIP sudah diakomodasi dalam bentuk UU, namun dalam pelaksanaan besar kemungkinan akan bermasalah. Sebab antara KMIP dan RN ibarat sekeping mata uang logam bernama “demokrasi” yang memiliki dua sisi. Pastinya, penulis berharap keraguan tersebut tidak benar.………RMKDN………
Selengkapnya...

Korupsi


Korupsi (ber)Jamaah Vs Jihad Antikorupsi

“Orang-orang di Depag bisa korupsi karena mereka tahu kapan waktunya ber-taubat. Dan lagi, mereka tahu mana ayat-ayat yang dapat menerima tobat,” ucap seorang wartawan (cerdas nan lucu) ketika penulis mengeluh adanya dugaan kasus tindak pidana korupsi yang sedang booming di Departeman Agama (Depag) beberapa hari ini. Jujur saja, mendapatkan jawaban sedemikian konyol penulis sempat mengkal sekaligus (lirih) mengamininya.


Bak kata pepatah, serapat-rapatnya bangkai dibungkus, niscaya baunya tersebar. Demikianlah (mungkin) ungkapan yang tepat untuk menggambarkan adanya dugaan kasus korupsi yang sedang terjadi di Depag. Amat disesalkan bila Depag, selaku institusi agama yang tentunya memegang teguh tradisi moral keagamaan, akhirnya toh, tersandung pula seperti lembaga formal negara lainnya.

Teramat disesalkan lagi, dugaan korupsi yang bersemayam ditubuh Depag justru menyanngkut penyelenggaraan haji yang diselewengkan dari Dana Abadi Umat (DAU). DAU yang diselewengkan dipakai untuk hal-hal aneh, menghajikan pejabat misalnya.
Korupsi (ber)Jamaah.

Korupsi yang terjadi di Indonesia bukan lagi dilakukan secara personel tetapi sudah dilakukan secara berjamaah dan lintas lembaga. Boleh dikatakan, semenjak era reformasi hampir saban hari pemberitaan korupsi menjadi konsumsi di media massa. Tidak hanya yang terjadi di Jakarta (pusat), juga didaerah. Pendek kata, meminjam judul lagu nasional, dari Sabang sampai Merauke berkorupsi ria.

Anehnya, pemberitaan kasus korupsi seakan tidak membuat jera para koruptor dan calon koruptor. Tidak hanya itu, banyak para tersangka korupsi yang dapat melenggang kangkung meninggalkan ruang sidang pengadilan. Tak pelak, dari tahun ketahun peringkat negara terkorup yang kita sandang, pelan tapi pasti kian mendekati puncak tangg pertama. Tinggal menunggu waktu hal ini akan terjadi, sepanjang upaya serius dan kebranian untuk pembrantasan korupsi masih maju enggan mundur tak mau alias jalan ditempat.

Begitu sulitnya membrantas korupsi hal ini disebabkan selain kurangnya upaya serius adalah karena korupsi yang terjadi dilakukan secara kolektif (berjamaah) yang juga melibatkan orang-orang yang memiliki kekuasaan. Sehingga korupsi berjamaah ini nyaris musykil dibrantas sampai keakar-akarnya. Para jamaah ini akan saling melindungi jamaah lainnya. Jika salah satu dari anggota korupsi berjamaah berkicau, bisa-bisa aibnya sendiri terbongkar. Ibarat kata pepatah, menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.

(Barangkali) karena tingginya solidaritas dalam korupsi berjamaah disuatu lembaga mengakibatkan sulit terbongkar. Bahkan bisa menular ke lembaga lain. Bagi lembaga yang ada sejak orde baru kuat dugaan tidak terlalu sulit untuk menggalang solidaritas korupsi berjamaah tanpa rasa khawatir terbongkar. Itulah mengapa korupsi yang terjadi di Depag selama ini lita dengar nyaris tak terbongkar.

Menghancurkan Agama

Sekalipun DAU yang diselewengkan sekecil apapun, jika peruntukkannya untuk hal-hal yang aneh tetap merupakan korupsi. Padahal DAU, sebagaimana yang diatur dalam Keppres No.22 tahun 2001 tentang Pengelolaan DAU, hanya diperuntukkan bagi kemaslahatan umat dibidang pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, pembangunan sarana dan prasarana.

Kenyataannya, selama masa audit sejak tanggal 1 Januari 2001 hingga 30 November 2004, terdapat ratusan bukti pengeluaran yang tak relevan. Mulai dari sedekah untuk ballboy dilapangan tenis, uang bensin ibu-ibu pejabat Depag, sumbangan kambing atas nama pejabat Depag, sogokan wartawan, hingga bantuan biaya perjalanan mantan presiden dan kandidat wapres yang berasal dari sebuah organisasi keagamaan (Tempo, edisi, 20-26 Juni 2005).

Bagi umat, ibadah haji merupakan salah satu kewajiban yang musti dilaksanakan (untuk mereka yang mampu). Seperti yang disabdakan Nabi SAW, Buniyal islamu ala khamsin, syahadati an laa ilaaha illallah wa anna Muhammad rasulullah, wa iqamis shalah wa ieta’ izzakah wa shaumi ramadhan, wa hajjilbait, islam didirikan diatas lima.

Percaya bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat dan puasa di bulan Ramadhan dan berhaji ke Baitullah.
DAU yang diselewengkan justru mempersulit umat islam dalam melaksanakan haji. Karena dengan adanya penyelewengan DAU, para jamaah haji yang semestinya mendapat fasilitas memadai menjadi kurang terpenuhi. Ini sedikit banyaknya akan mengganggu kekusyukan ritual melaksanakan ibadah haji. Mulai dari ongkos penerbangan yang mahal sampai masalah pemondokan yang kurang nyaman.

Tindakan penyelewengan DAU jelas sangat merugikan, kendati tidak lantas membuat para jamaah haji ngedumel. Mereka sadar, apapun yang didapat selama pelaksanaan haji merupkan suatu ujian dan harus disikapi secara sabar dengan penuh keikhlasan agar hajinya mabrur. Sebab, kesabaran dan keikhlasan merupakan kunci dari iman. Hai itu pulalah yang juga sering dilontarkan oleh pihak Depag bila pelayanan haji dikeluhkan oleh jamaah.

Dengan mempersulit umat islam yang pergi melaksanakan haji berarti menghalangi untuk menunaikan ibadah, sama artnya dengan menghancurkan agama (islam) sendiri. Betapa tidak?. Biaya haji yang semestinya bisa turun menjadi lebih mahal dan DAU yang semestinya dipergunakan sebagaimana mestinya justru disedekahkan secara mubazir.

Padahal, tidak semua jamaah haji terbilang mampu secara ekonomi. Mereka ada juga dari golongan ekonomi yang pas-pasan ingin menjalankan perintah agama menuanaikan ibadah haji dengan uang tabungan selama puluhan tahun bahkan sampai menjual tanah.. Sayangnya, oknum-oknum yang melakukan penyelewengan DAU justru memakai kedok agama. Agama bagi para oknum, tidak lebih sebagai tambang emas yang dapat menghasilkan uang dalam penyelenggaraan haji yang periodik. Karena itu mereka sangat patut disebut sebagai orang-orang yang menghancurkan agama.

Jihad Antikorupsi

Dengan membiarkannya korupsi terutama yang menyangkut penyelenggaraan ibadah agama, tidak saja menyebabkan kehancuran bangsa dan negara, melainkan juga menyebabkan kehancuran agama itu sendiri. Dana umat yang diselewengkan tentunya tidak bisa ditoleransi, sekalipun bukan untuk memperkaya diri.

Apabila ketentuan legal yang normatif menjelaskan bahwa salah-satu unsur korupsi adalah memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan cara melawan hukum dan menimbulkan kerugian bagi keuangan negara, bisa dinafikan karena penyelewengan DAU bukan untuk memperkaya diri. Namun, dalam kacamata agama hal ini tentunya sangat tidak dibenarkan. Apalagi DAU tidak digunakan sebagaimana mestinya, namun untuk membiayai perjalanan haji sejumlah pejabat negara. Kuat dugaan, ongkos haji yang dinikmati pejabat msarat dengan kepentingan.

Hemat penulis, satu-satunya cara ampuh sebagai terapi membrantas korupsi sampai keakar-akarnya dan mencegah terjadinya korupsi dikemudian hari adalah dengan cara melakukan jihad antikorupsi. Karena, upaya pembrantasan korupsi yang dilandasi dengan asas legal semata ternyata cukup tidak efektif, ketimbang menuliskan gagal.
Ditinjau dari asal kata, Menurut Abu Luwis Ma’luf, jihad berasal dari bahasa Arab, yaitu jahadayazhadu-jahdah yang mempunyai bentuk isim masadar dari fi’il jahada, artinya qotalahu Muhammatan’aniddin, menyerang musuh dalam rangka membela agama (Ma’luf, Beirut:Darul Masyriq, 1986, 106). Sedangkan menurut AS Hornby mendefinisikan jihad sebagai holy war fought by Muslim against those who reject Islam(ed.al. Crowher, NY: Oxford University Press, 1995, 639).

Oleh karena itu, jihad antikorupsi dapat diartikan sebagai suatu upaya sungguh-sungguh untuk mebrantas korupsi berlandaskan agama yang bermuara pada kehidupan bersih dari korupsi. Jihad antikorupsi ini sangat penting dilakukan mulai sekarang mengingat disamping menyelamatkan masa depan bangsa dan negara, juga untuk menyelamatkan kehidupan agama yang sudah mulai dihancurkan.

Dengan adanya sandaran teologis membrantas korupsi melalui cara jihad antikorupsi, maka mentalitas keberagaman yang korup dapat terkikis. Tradisi jihad antikorupsi sudah semestinya dikembangkan dan dipertahankan mengingat korupsi di Indonesia sudah mendarah daging dan membudaya yang sulit dihilangkan dalam sekejap mata. Jihad antikorupsi yang bersandar teologis merupakan tugas suci untuk merubah kehidupan bangsa negara menjadi lebih baik.

Karena sesungguhnya jika makna jihad diperluas, maka jihad antikorupsi ini juga sebagai upaya membela agama. Dengan membiarkan korupsi terus merajelela dan para koruptor tak tersentuh oleh hukum, maka kehidupan umat beragama juga mengalami kesengsaraan. Oleh karena itu, satu-satunya cara efektif yang harus dilakukan pemerintah adalah jihad antikorupsi dengan mengajak lembaga keagamaan maupun lembaga yang peduli terhadap gerakan antikorupsi serta melibatkan seluruh anggota masyarakat berpartisipasi dalam membrantas korupsi. Kita tunggu saja perang suci melawan korupsi…..Wallahu’alam.
Selengkapnya...

Partisipasi Masyarakat

Urgensi Pendekatan Soft Power dan Partisipasi Masyarakat Untuk Peningkatan Kinerja dan Profesionalisme Pelaku Diplomasiã

Pendahuluan

Jika dilihat dari unsur – unsur fundamentalnya, politik luar negeri terdiri dari dua elemen yaitu : tujuan nasional yang ingin dicapai dan alat – alat untuk mencapainya, interaksi tujuan nasional dengan sumber – sumber utama untuk mencapainya merupakan subjek kenegaraan yang abadi. Dalam unsur–unsur ini terdapat politik luar negeri semua negara, besar atau kecil semuanya sama [1].

Persyaratan Crabbe Jr diatas, menegaskan bahwa antara tujuan nasional dan alat untuk mencapainya merupakan syarat mutlak yang tidak bisa tidak (Conditio Sine Quo Non) mutlak diperlukan oleh suatu negara dalam menjalankan politik luar negerinya. Tanpa keduanya, ibarat orang buta dan lumpuh, praktis tidak berdaya. Melalui tujuan nasional, maka politik luar negeri akan memiliki tujuan yang jelas dan sejalan dengan kepentingan bangsa dan negara. Sedangkan alat – alat untuk mencapainya merupakan penggerak dari politik luar negeri itu sendiri dalam percaturan internasional.

Politik Luar Negeri

Sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan konstitusi. Selain ikut melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan social, guna melindungi bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu pelaksanaan politik luar negeri kita harus merupakan pencerminan idiologi bangsa. Pancasila sebagai idiologi bangsa Indonesia merupakan landasan idiil yang mempengaruhi dan menjiwai politik luar negeri.
Politik luar negeri Indonesia yang “ bebas aktif” adalah pilihan tepat, karena pada hakikatnya politik luar negeri bukan merupakan politik netral.
Melainkan politik luar negeri yang bebas menentukan sikap dan kebijaksaan terhadap permasalahan internasional dan tidak mengikatkan diri secara apriori pada suatu kekuatan dunia serta secara aktif maupun partisipasi aktif dalam menyelesaikan konflik.Yang terpenting, politik luar negeri kita sudah sejalan dengan konstitusi.
Politik luar negeri suatu negara umumnya tidak jauh dengan yang diatur dalam konstitusi. Meminjam analisis Charles G. Fenwick, Konstutusi mengandung makna

yang tersirat dan melekat (inheren) dalam konsep itu sendiri. Tapi di luar syarat minimum, isi konstitusi dapat dijalankan secara keseluruhan kendati secara logika, kepentingan dengan kenyataan. Isinya ditentukan oleh tradisi – tradisi politik dan seluruh konteks kultural dimana suatu negara merumuskan politik luar negerinya [2].
Dalam prakteknya politik luar negeri kita yang dilakukan Departemen Luar Negeri memiliki visi : melalui diplomasi total, ikut mewujudkan Indonesia yang bersatu, lebih aman, adil, demokratis dan sejahtera : Diplomasi total diartikan sebagai instrumen dan cara yang digunakan dalam diplomasi dengan melibatkan seluruh komponen stakeholder,memanfaatkan seluruh lini kekuatan (multi – track diplomacy). Adapun misi Departemen Luar Negeri dikenal dengan Sapta Dharma Caraka yang merupakan penjabaran dalam rangka mengemban visi agar kepentingan nasional juga tercapai.

Diplomasi Mandul ?

Kepentingan nasional, seperti yang didefinisikan oleh Hans Morgenthau (1904 – 1980) adalah suatu abstraksi yang luas. Parabirokrat dan diplomat bisa didesak untuk bertindak secara prudent dan realities serta menghindari keputusan-keputusan yang bersifat moralistic – legalistic. Selain itu dalam keyakinan Morgenthau tindakan politik itu tidak terbatas, tidak persis dan tidak bisa secara jelas diamati. Karena itu, apabila konsep – konsep politik secara akurat harus merefleksikan realitas politik yang kabur atau tidak jelas itu, maka konsep – konsep tadi tidak persis dan kabur.

Harus diakui secara jujur bahwa politik luar negeri kita belum jelas, ketimbang menyebutkan kabur atau tidak jelas. Bagaimana tidak ?. Pada masa kepemimpinan Soekarno, politk luar negeri kita bebas aktif cenderung anti– blok Barat. Terbukti dengan adanya gerakan non blok, dimana negara kita salah – satu inisiator pendirian gerakan non blok. Sementara pada masa Soeharto, justru Pro Blok Barat, ini dapat dilihat ketika produk UU yang diterbitkan adalah UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing maupun UU No 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan WTO, hanya dalam waktu tujuh bulan pasca penandatanganan kesepakatan putaran uruguay[3].

Saat ini, Politik luar negeri di bawah kepemimipinan SBY – JK, ternyata masih meneruskan apa yang telah dilakukan Soharto. Dalam tulisannya Hikmahanto Juwana, Politik luar negeri yang dijalankan belum menyentuh permasalahan rakyat . Sebaliknya justru mendapat apresiasi dari masyarakat internasional. Idealnya, apresiasi masyarakat internasional perlu mendapat tempat, tetapi tidak menjadi tolak ukur keberhasilan politik luar negeri. Pemerintah SBY – JK [4].

Sebenarnya hal ini juga terjadi di negara lain yang masih berkembang / negara – negara utara. Karena secara ekonomi negara – negara berkembang lemah untuk memulai integrasi dengan pasar dunia.Selain itu prasyarat – prasyarat yang melekat pada paket – paket kebijakan penjadwalan kembali utang menghambat pemulihannya. Kelemahan – kelemahan negara berkembang juga bersumber dari lemahnya daya tawar dan negosiasi dalam hubungan internasional hal ini sangat menguntungkan negara maju/negara-negara Selatan ( pembahasan lebih lanjut dalam Martin Khor, Globalization and South : Some Critical Issues Perang, Malaysia : Third World Netrork, 2000, H, The Power of the United Nations, in wich the South is in a more favourable position, have been diminished, where as the mandate and power of the institusions under the control developed countries (the IMF, Work Bandk and WTO) have been in creased tremendously.

Pendekatan Soft Power dam Partisipasi

Masalah kemampuan negosiasi yang kita miliki sangat lemah. Kita belum dapat menformulasikan secara pasti apa penyebab kemampuan diplomasi lemah (terutama) menyangkut masalah seputar perekonomian dan perdagangan. Sekedar contoh saja, pada pertemuan Konfrensi Tingkat Menteri WTO tahun 2005. Indonesia tidak menempatkan diri dalam satu barisan dengan negara – negata berkembang lainnya seperti Brazil, India atapun China yang menyuarakan belum siapnya negara – negara berkembang untuk mencabut subsidi pertanian. Bahkan Indonesia tidak berkaca dengan tragedi KTM V WTO di Cancun, Mexico pada tahun 2003 yang diprotes keras oleh ribuan aktivis berbagai negara berkembang [5].

Padahal politik luar negeri yang bebas aktif sebagaiamana yang disebutkan dalam penjelasan UU No. 37 Tahun 1999 menyebutkan haruslah berdasarkan atas hukum dasar yaitu UUD 1945 sebagai landasan konstitusional yang tidak lepas dari tujuan nasional, bangsa Indonesia, sebagaimana termaktub di dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke – empat.

Apabila melihat salah satu misi Departemen Luar Negeri adalah membantu tercapainya Indonesia sejahtera melalui kerjasama pembangunan dan ekonomi, promosi dagang dan investasi, kesempatan kerja dan alih teknologi. Tambah lagi dalam tujuannnya politik luar negeri salah satunya adalah mengembangkan kerjasama ekonomi, perdagangan, investasi, alih teknologi dan bantuan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.


Kenyataannya kerjasama ekonomi, perdagangan, investasi dan lainnya tidaklah berbanding lurus dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia. Parahnya Indonesia justru disebut sebagai Good Boy, bagi lembaga – lembaga donor internasional. Niatan Indonesia untuk membebaskan diri dari jeratan hutang hanya cita – cita mulia yang baru sebatas wacana. Belum juga tujuan luhur itu kesampaian, justru kucuran hutang baru yang diberi [6]. Belajar dari Nigeria tahun 2005 yang telah mendapatkan pemotongan utang. Dengan pemotongan utang maka alokasi dana akan didistribusikan untuk memberantas kemiskinan.

Hal di atas paling tidak dapat menyisakan pertanyaan. Pertama, apakah diplomasi kita mandul ?, kedua apakah Pemerintah kita tidak berdaya menghadapi tekanan negara ataupun lembaga Internasional ?, ketiga apakah kedua hal tersebut sedangk kita alami?
Kita tetap perlu melontarkan pertanyaan tersebut. Akan tetapi adalah bagaimana solusi untuk memperbaiki keadaan yang ada.Hans Morgenthau telah menawarkan solusinya , jauh sebelum kita terjerat hutang dan tidak berdaya, yaitu :
1. Diplomasi harus terlepas dari semangat perjuangan (crusading spirit) . Para diplomat yang bertindak sebagai pejuang (crusader) untuk alas an yang lebih tinggi akan bisa bersikap pragmatis, fleksibel dan akan mengganggu proses negosiasi serta akan mengunci diri mereka dari segala hal yang tidak bias dikompromikan.
2. Tujuan politik luar negeri harus didefinisikan menurut kepentingan nasional dan harus didukung oleh kekuatan yang cukup
3. Diplomasi harus melihat suasana politik dari sudur pandang negara – negara lain.
4. Negara – negara harus mempunyai keinginan untuk mengkompromikan semua isu yang tidak vital bagi mereka [7].

Lemahnya diplomasi kita bukan berarti membuat terpuruk dan kian tak berdaya. Masih ada jalan untuk mengangkat citra diplomasi kita yakni dengan cara pendekatan soft power dan partisipasi masyarakat. Presiden SBY pernah menegaskan dalam pidato Foreign Policy Breakfast di Gedung Deplu, Pejambon tanggal 19 Agustus 2005 lalu, Indonesia harus menegakkan harga dirinya di depan negara lain. Sangat penting pendekatan soft power dalam tatanan politik internasional, yang disebutnya dapat memikat (charm) sekaligus tidak menggunakan senjata (disarm)9.

Menurut Joseph Nye, soft power diartikan sebagai kemampuan suatu negara untuk menjadikan negara-negara lain memiliki keinginan sesuai dengan keinginan-keinginan negara tersebut melalui kebudayaan dan idiologi yang di milikinya. Jika kebudayaan dan idiologi suatu negara menarik, negara-negara lain akan mengikuti pola kepemimpinannya. Dimana soft power memiliki peran yang sama pentingnya dengan hard power (kebijakan yang bertumpu pada kekuatan ekonomi dan militer)10.
Namun apakah yang menjadikan suatu kebudayaan dan idiologi menarik? Samuel P. Huntington menyebutkan dalam thesisnya, suatu kebudayaan dan idiologi menjadi menarik karena dipandang berhasil dan berpengaruh. Soft power hanya akan memiliki kekuatan jika ia memiliki landasan hard power. Kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang ekonomi dan militer (hard power) akan membuahkan keyakinan diri sekaligus arogansi dan keyakinan terhadap superioritas kebudayaan sendiri atas kebudayaan-kebudayaan dari dan mengandung ketertarikan masyarakat lain[8].

Dari pilihan pendekatan hubungan internasional yang memungkinkan bagi Indonesia adalah pendekatan soft power. `Mengamati lebih dalam mengapa pendekatan soft power lebih di tekankan ketimbang hard power dalam peningkatan kinerja diplomasi kita disebabkan :Masyarakat Asia yakin bahwa Asia Timur akan mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat serta mampu melampaui Barat.Masyarakat Asia yakin bahwa keberhasilan ekonomi merupakan hasil kebudayaan Asia, yang lebih unggul dari Barat, yang secara social maupun cultural mengalami dekadensi.

Meskipun masyarakat Asia mengakui adanya perbedaan-perbedaan di antara mereka dengan peradaban masing-masing, tapi meraka juga mengakui bahwa terdapat kesamaan-kesamaan yang signifikan.

Masyarakat Asia Timur berkeyakinan bahwa perkembangan yang terjadi di Asia dan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat Asia serta berbagai pola kebijkan yang diterapkan masyarakat non-Barat lainnya dapat digunakan untuk menandingi serta mengejar ketertinggalan dari Barat yang harus di adopsi supaya dapat dilakukan pembaruan[9].

Perlu dicatat juga, pasca runtuhnya Uni Soviet dan perubahan global di penghujung abad 20 dan awal abad 21 telah terjadi perubahan global yang merubah semua tatanan hubungan politik luar negeri tipa negara. Dunia sudah tidak lagi dengan system bipolar melainkan berubah menjadi system multipolar. Maka tatanan global politik internasional mengalami perubahan yang sangat signifikan. Dalam sistem yang multipolar, maka pendekatan dalam setiap interaksi antar negara adalah dengan pendekatan soft power. Langkah Indonesia melaksanakan soft power perlu diberikan apresiasi.

Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya selain dengan pendekatan soft power perlu melibatkan partispasi masyarakat. Politik luar negeri tidaklah semata tugas Departemen Luar Negeri. Tentunya partisipasi masyarakat ini sejalan dengan visi Departemen Luar Negeri melalui diplomasi total maupun dalammisi dan tujuan politik luar negeri adalah untuk meningkatkan koordinasi penyelnggaraan politi luar negeri itu sendiri.

Dalam penjelasan Pasal 5 UU No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri disebutkan bahwa kalangan nonpemerintah ialah mencakup perseorangan dan organisasi yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa lazim disebut dan dikategorikan sebagi non governmental organization (NGO), termasuk DPR.

Adanya pengaturantentang pelibatan yang diatur dalam bentuk Undang-undang menegaskan politik luar negeri bukanlah monopoli dari Departemen Luar Negeri. Penulis pernah menanyakan kepada Jonny Sinaga, selaku Direktur Sekolah Staf dan Pimpinan, Departemen Luar Negeri pada acara diskusi kelompok terfokus yang diselenggarakan oleh Komnas HAM di Yogyakarta tanggal 15 Mei 2007 lalu tentang Pentingnya Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan, mengenai kemungkinan perorangan ataupun kelompok untuk di fasilitasi Departemen Luar Negeri berpartisi dalam mengawal politik luar negeri pemerintah kita. Sayang, jawaban yang disampaikan Jonny Sinaga terlalu mengambang, sekalipun UU No.37 Tahun 1999 dan juga rencana strategis Departemen Luar Negeri telah membuka ruang terhadap partisipasi masyarakat.

Kiranya Departemen Luar Negeri perlu memperhatikan ruang partisipasi ini lebih terbuka. Sejauh ini peningkatan kinerja pelaku diplomasi telah diupayakan melalui pendidikan untuk para diplomat, namun belum ada kemajuan yang progresif dalam melaksanakan diplomasi total ala Departemen Luar Negeri ini. Karena dengan kegiatan pelibatan para diplomat selaku tulang punggung diplomasi pada manajemen pemerintahan atau kegiatan kemasyarakatan belum menunjukkan tanda-tanda mendapatkan peluang-peluang ekonomi dan mempromosikan peluang ekonomi yang ada di Indonesia, alias belum menyentuh permasalahan rakyat, sebagaimana yang dikatakan oleh Hikmahanto Juwana.

Penutup

Harapan terhadap Departemen Luar Negeri untuk melaksanakan pendekatan soft power dan adanya partisipasi masyarakat semata-mata untuk peningkatan kinerja dan profesionalisme pelaku diplomasi. Amat disayangkan apabila pemerintah belum menangkap perubahan yang sedang terjadi. Bukan jamannya lagi pendekatan hard power dilaksanakan dalam hubungan internasional. Justru akan menimbulkan arogansi suatu negara dan kemungkinan besar akan terjadi perselisihan. Adanya pendapat abad 21 merupakan abadnya kebangkitan Asia dapat menjadi pemicu bagi Indonesia melalui Departemen Luar Negeri untuk lebih cepat berbenah diri. Melalui pendekatan soft power dan partisipasi yang memungkinkan adanya koordinasi antar stakeholders maka politik luar negeri yang bebas aktif dapat dijalankan dan benar-benar untuk masyarakat Indonesia. Semoga.

Daftar Pustaka

[1] Ceci V Crabbe, Jr. American Policy in the Nuclear Age. 3 id Edition, Newyork : harper & row, 1972 : 1)
[2] Charles G. Fenwick, International Law, 4 th Edition, New York, Appleton Century – Crotfts, 1965 : 124 , 158 - 203
[3] Lihat Kurniawan Desiarto, Hak Atas Kekayaan Intelektual : Penghargaan atau Rekayasa, Jurnal Demokrasi, Vol II, No 3 , Mei 2004 ; 137
[4] Hikmahanto Juwana, Diplomasi Indonesia Belum Bertaji, Media Indonesia, edisi 4 Oktober 2005
[5] Lihat Kurniawan Desiarto, Globalisasi ala WTO, harian Bernas edisi 16 September 2003
[6] Lihat Gatra, 28 Juni 2006, hlm 80
[7] Hans Morgenthau, Politics Among Nations , the Struggle For Power and Peace 5 th Edition, New York : Konon, 1973 : S 40 - 48
9 lihat harian Republika, edisi 20 Agustus 2005.
10 Joseph S. Nye, The Changing Nature of World Power, Political Science Quarterly of Chicago Press, 1963; 545.
Selengkapnya...


Pembicaraan: Komisi Ombudsman Nasional

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari Reformasi memandatkan cita-cita untuk melakukan perubahan kondisi sesuai dengan tuntutan masyarakat, menuju terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis melalui penyelenggaraan negara yang baik (good governance) dan bersih (clean government).

Untuk mewujudkan hal tersebut, maka diperlukan pemerintahan yang responsif dan bertanggung jawab, peradilan yang independen dan berintegritas, serta lembaga perwakilan yang kuat dalam menjalankan pengawasan dan membawa aspirasi masyarakat. Selain itu peran masyarakat melalui perwujudan civil society yang kuat untuk melakukan pengawasan (kontrol publik) dan partisipasi, baik dalam tataran perumusan kebijakan maupun implementasinya juga suatu syarat yang mutlak harus dipenuhi. Setidaknya ada beberapa alasan yang mendasari perlunya civil society yang kuat dalam melakukan pembaruan sebagaimana tujuan reformasi.

Pertama, tujuan penyelenggaraan negara merupakan bagian dari kepentingan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan hak-haknya sebagaimana yang telah dijamin dan lindungi oleh konstitusi UUD NKRI 1945. Kedua, konstitusi UUD NKRI 1945 meletakkan tanggung jawab kepada negara terutama pemerintah dalam pemenuhan hak-hak warga negara sehingga perlu mendapatkan pengawasan dari masyarakat itu sendiri. Ketiga, berbagai upaya pembaruan di lembaga pemerintahan, perwakilan, dan peradilan yang berjalan saat ini ternyata belum cukup untuk menjawab seluruh keinginan masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang baik, bersih, jujur, dan transparan.

Upaya-upaya pembaruan juga belum dapat sepenuhnya menekan secara signifikan praktek-praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) dalam penyelenggaraan negara, sehingga mengakibatkan rendahnya pelayanan dan perlindungan hak-hak masyarakat khususnya dalam pelayanan publik.

Kelemahan dan Kekuatan Ombudsman Ombudsman merupakan salah satu lembaga negara nonstruktural yang sengaja dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional, untuk turut berperan dalam upaya demokratisasi di tanah air.


Usia yang masih sangat muda menyebabkan Ombudsman belum dapat berbuat banyak, khususnya dalam melakukan perubahan atas peningkatan pelayanan publik yang lebih layak dan manusiawi. Seperti dalam salah satu misi yang diembannya, yakni mengupayakan secara berkesinambungan kemudahan pelayanan yang efektif dan berkualitas oleh Institusi Pemerintah kepada masyarakat.

Sampai sekarang hanya 30% rekomendasi Komisi Ombudsman Nasional yang ditindaklanjuti oleh instansi/pejabat pelayan publik. Rekomendasi ini dikeluarkan setelah masyarakat memberi laporan persoalan yang menyangkut pelayanan umum ke Komisi. Anggota Komisi Ombudsman Nasional, Masdar Mas'udi, Senin (22/8) menjelaskan, selama Januari-Juli 2005, pihaknya sudah menerima 596 laporan pengaduan yang menyangkut masalah pelayanan umum oleh pejabat publik. Dari laporan sebanyak itu antara lain menyangkut kinerja kepolisian 118 aduan, peradilan (103), kejaksaan (139), pertanahan (51), pemerintah daerah (51), dan perbankan (11). (Suara Merdeka, 23/08/2005) Melihat dari kuantitas tersebut, sebagian orang akan beranggapan bahwa kurangnya hasil yang diberikan atas kinerja Ombudsman selama lima tahun adalah hal yang wajar, mengingat lembaga ini masih baru terbentuk sehingga belum berpengalaman. Namun tidak sedikit pula orang yang kecewa atas lemahnya rekomendasi yang dikeluarkan lembaga dengan julukan “Mahkamah Pemberi Pengaruh” (Magistrature Influence) ini. Konsekuensi dibentuknya lembaga nonstruktural baru di Indonesia adalah untuk menjawab

permasalahan-permasalahan yang menjadi kewenangannya. Siap ataupun tidak siap, “sang pemberi pengaruh” ini harus dapat segera menunaikan amanah rakyat, dengan memberikan rekomendasi-rekomendasi yang efektif dan mengikat. Selain usia yang masih sangat rentan, terdapat beberapa kelemahan yang cukup signifikan dan dapat mempengaruhi kinerja lembaga dalam meningkatkan eksistensinya. Pertama, lembaga ini belum memiliki aturan hukum yang mengatur secara khusus peran dan fungsi yang harus diembannya.

Hal ini dibutuhkan sebagai bentuk kepastian hukum dalam setiap tindakan yang diambil dalam rangka melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai lembaga negara. Kelemahan kedua adalah, Ombudsman selama ini lebih banyak bersikap pasif, dan hanya menanggapi pengaduan-pengaduan yang diberikan oleh masyarakat. Hal ini kurang efektif, melihat wilayah yang menjadi kewenangan Ombudsman meliputi seluruh wilayah di Indonesia. Akibatnya aspirasi masyarakat di daerah belum mampu terdengar oleh komisi ini.

Padahal justru di daerah-daerah kecil inilah seringkali terdapat maladministrasi yang berlangsung secara terus-menerus, bahkan menjadi hukum kebiasaan. Kelemahan-kelemahan tersebut berdampak negatif, yakni kurangnya daya ikat dan pengaruh dalam setiap rekomendasi yang dikeluarkan Ombudsman. Kekuatan komisi ini ada pada Net working (jejaring) yang harus dijaga dan terus dikembangkan sebagai asset dalam menindaklanjuti setiap pengaduan masyarakat. Ombudsman tidak berjalan sendiri, tetapi memiliki banyak rekan yang menjadi partnership untuk mencari solusi terbaik dalam menyelesaikan permasalahan di lapangan.

Para pelapor, khususnya yang berasal dari sebuah lembaga/organisasi, harus dilibatkan dalam setiap proses penanganan atas masalah yang dilaporkan. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan memiliki kredibilitas tinggi, juga merupakan kekuatan bagi Ombudsman dalam menjawab permasalahan akan ketiadaan aturan hukum yang jelas.

Anggota yang dipilih oleh DPR dan kemudian diangkat oleh Kepala Negara, harus memberikan integritas tertingginya dalam menyelesaikan kasus-kasus maladministrasi. Kreativitas diperlukan dalam melaksanakan kerja-kerja teknis, namun dengan tetap mengacu pada Pedoman Dasar dan Etika Ombudsman. Hal ini dapat sangat membantu hingga RUU tentang Ombudsman disahkan dan diimplementasikan secara optimal.

Peluang dan Ancaman terhadap Ombudsman Berlakunya otonomi daerah dalam beberapa tahun terakhir ini, merupakan peluang sekaligus ancaman bagi Ombudsman dalam memperluas eksistensi lembaga yang berasaskan Pancasila ini. Adanya pengakuan atas hak-hak masyarakat daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan secara mandiri dan independen, merupakan tuntutan dibentuknya Ombudsman Daerah.

Ketiadaan Ombudsman di daerah-daerah, akan menghambat lembaga dalam menangkap isu-isu lokal yang terkait dengan terjadinya penyimpangan oleh penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya, maupun dalam memberikan pelayanan umum. Sehingga merupakan keharusan bagi Ombudsman untuk memiliki tangan-tangan di daerah, minimal di tiap propinsi di Indonesia. Ombudsman Daerah tentunya bertanggung jawab langsung terhadap Ombudsman Nasional, dan senantiasa melakukan koordinasi dengan Ombudsman Nasional.

Sedangkan untuk di daerah Kota atau Kabupaten, dimungkinkan dibentuk Ombudsman jika dirasa mendesak dan memiliki anggaran yang cukup. Untuk menyiasati terjangkaunya Ombudsman di daerah-daerah yang lebih kecil, maka seyogyanya Ombudsman menyediakan pusat pengaduan sementara di instansi/organisasi tertentu, atau bisa juga dengan menyediakan kotak-kotak pengaduan yang mudah diakses masyarakat.
Kemudian peran serta pemerintah lokal diperlukan untuk memberikan informasi yang diperlukan masyarakat perihal eksistentsi lembaga Ombudsman. Ombudsman Daerah nantinya diharapkan aktif dalam menggali informasi dan menampung segala bentuk pengaduan masyarakat. Peran media masa, baik cetak maupun elektronik, mutlak diperlukan untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Di antaranya dengan melakukan dialog interaktif di radio-radio lokal, maupun di seluruh stasiun televisi, lokal maupun nasional. Jika kita melihat dalam Keputusan Pressiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional dinyatakan, bahwa KON berwenang untuk melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Namun dalam keppres tersebut tidak diatur tindak lanjut yang harus dilakukan oleh instansi/penyelenggara negara apabila berdasar pemeriksaan telah terbukti melanggar hak masyarakat terutama dalam pelayanan publik. Hal tersebut mencerminkan bahwa hasil klarifikasi, monitoring dan pemeriksaan yang dilakukan oleh KON mempunyai kekuatan yang lemah untuk dilaksanakan instansi/penyelenggara negara terkait dengan pelanggaran yang terjadi.

Merupakan peluang bagi Ombudsman untuk memiliki kewenangan sebagai lembaga penyelesai sengketa dalam pelanggaran hak masyarakat terkait dengan penyelenggaraan negara, khususnya dalam pelayanan publik. Hal ini juga merupakan terobosan atas kondisi peradilan yang selama ini belum cukup efektif dan efisien.

Dalam berbagai sengketa pelayanan publik yang selama ini muncul sangat memerlukan penyelesaian yang efektif, waktu cepat, dan biaya murah sehingga dengan kewenangan Ombudsman untuk menjadi lembaga penyelesaian sengketa pelayanan publik dimungkinkan untuk memperbesar akses masyarakat dalam memperjuangkan keadilan.

Mengapa Ombudsman Harus Aktif? Masyarakat kita diakui maupun tidak, sudah cukup lelah pada janji-janji yang memberi harapan bagi peningkatan pelayanan publik, khususnya oleh instansi pemerintah. Namun mereka cenderung memilih untuk diam.

Bukan karena menerima ketidakadilan yang mereka rasakan ataupun takut, tetapi lebih disebabkan karena proses pengaduan yang tidak jelas. Bahkan ujung-ujungnya mereka harus mengeluarkan uang lebih besar untuk melakukan telepon pengaduan, ataupun ongkos kirim surat pengaduan. Hal ini mungkin sepele bagi beberapa pihak, tetapi bagi mereka yang telah kehilangan rasa kepercayaan, maka menjadi bumerang bagi peningkatan kesadaran hukum masyarakat kita.

Jika dibiarkan berlarut-larut tentunya sangat berbahaya dan akan terakumulasi. Di mana pada satu titik jenuh, masyarakat kita akan bersikap skeptis dalam menghadapi permasalahan yang ada dilingkungannya. Menyikapi hal ini, Ombudsman wajib mencari satu metode untuk menarik kembali minat dan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dialami masyarakat.

Salah satu metode yang harus dilakukan adalah dengan mengadakan polling yang disebarkan khusus untuk daerah-daerah yang masih kurang tersentuh oleh pembangunan. Upaya ini akan melahirkan harapan baru dan rasa kepercayaan masyarakat terhadap Ombudsman. Terlebih jika Ombudsman dapat dengan cepat menindaklanjuti hasil polling yang secara objektif di dapat langsung dari masyarakat. Tindak lanjut yang ada juga harus bersifat luas dan berkesinambungan.

Selain metode polling, Ombudsman dapat melakukan penelitian partisipatoris, khususnya tentang maladministrasi yang sering terjadi di masyarakat. Hal ini bermanfaat untuk menemukan solusi alternatif dalam memberantas praktek maladministrasi tersebut. Metode-metode yang menunjang peran serta masyarakat tidak harus dilakukan secara mandiri oleh Ombudsman.

Lembaga dapat bekerja sama dengan berbagai kelompok masyarakat, baik itu instansi pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)/NGOs, Perguruan Tinggi, maupun lembaga lain yang ada di masyarakat. Perlu ditegaskan, bahwa peran aktif dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan tidak melulu menjadi tanggung jawab masyarakat, melainkan patut didukung oleh lembaga-lembaga yang kreatif, mandiri dan bertanggung jawab pada bangsa dan negara.

Komitmen Bersama Mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera dengan tata pemerintahan yang baik dan bersih, tidak dapat dilakukan secara parsial dan dalam waktu yang singkat. Di sini diperlukan komitmen bersama dari seluruh elemen masyarakat untuk melakukan perubahan yang holistik dan berkesinambungan, dengan langkah-langkah yang strategis dan signifikan.

Komitmen bersama dengan itikad baik dan penuh rasa tanggung jawab, sangat diperlukan bagi Ombudsman Indonesia. Seluruh instansi pemerintah, lembaga peradilan (mulai dari kepolisian, kejaksaan dan kehakiman), hingga pada organisasi profesi, harus digalang untuk bersama menjalankan visi dan misi yang selaras dengan Ombudsman. Di antaranya, Pemerintah Daerah dapat mengeluarkan sebuah Peraturan Daerah (Perda) yang terkait dengan partisipasi aktif masyarakat dalam melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja pejabat publik. Bisa juga Perda tentang kebebasan memperoleh informasi, yang saat ini menjadi hak mutlak bagi seluruh lapisan masyarakat.

Dengan peraturan-peraturan tersebut diharapkan tercipta iklim yang kondusif, sehingga masyarakat merasa bertanggung jawab untuk aktif memberikan pengaduan terhadap tindakan maladministrasi yang ada. Iklim yang terbentuk karena adanya kesadaran individu maupun komunal akan memudahkan Ombudsman dalam memberi pengaruhnya terhadap instansi yang dilaporkan.

Selanjutnya rekomendasi yang dikeluarkan oleh Ombudsman akan menjadi teguran yang efektif dan harus segera dilaksanakan, karena dirasa sebagai kritik yang membangun bagi setiap instansi yang menjadi pihak terlapor.

Kesimpulan dan Saran 1. Kelemahan yang terdapat dalam tubuh Ombudsman bukanlah harga mati, namun dapat menjadi sebuah motivasi bagi optimalisasi eksistensi lembaga, sehingga mampu mewujudkan visi dan misi yang telah dirumuskan. Peluang yang dimiliki oleh Ombudsman harus dimanfaatkan secara maksimal, agar terwujud lembaga yang memiliki kredibilitas, akuntabilitas serta integritas yang tinggi.

Ke depan pasti akan ada ancaman maupun hambatan dari berbagai aspek, karenanya Ombudsman harus mempersiapkan diri, baik dari segi SDM maupun sarana dan prasarana internal, termasuk optimalisasi peran serta masyarakat untuk turut mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih. 2. Pengaruh yang diberikan Ombudsman dalam bentuk rekomendasi akan memiliki kekuatan bila dilandasi aturan hukum yang jelas.
Aturan hukum yang menunjang kinerja Ombudsman harus segera direalisasikan untuk menjamin kepastian hukum bagi setiap langkah yang ditempuh Ombudsman dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Jika dimungkinkan untuk dilakukan Amandemen V UUD 1945, keberadaan Komisi Ombudsman Nasional layak dimasukkan ke dalamnya.Mungkin ini baiknya digabungkan ke badan artikel sebagai bagian "Kritik" -- IvanLanin (http://id.wikipedia.org/wiki/Pembicaraan:Komisi_Ombudsman_Nasional")
Selengkapnya...


Potret Ketidakadilan Hukum (Refleksi Kegagalan Penegakan Hukum)

Harian Kompas edisi 6 Juli 2007 menuliskan berita, Kuli Panggul Dipenjara, Mencuri 10Kilogram Bawang Merah di Pasar Induk. Adalah 2 orang kuli panggul telah mencuri 10 Kg bawang merah di Pasar Induk Rau, Serang, Banten telah diganjar delapan bulan hukuman penjara pada sidang di Pengadilan Negeri Serang, yang sebelumnya dituntut sepuluh bulan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Kita tahu bahwa, harga 10 Kg bawang merah untuk kebutuhan hidup sehari-hari hanya bisa bertahan tidak lebih dari 10 hari. Mereka telah menyatakan penyesalan dan khilaf melakukan perbuatan tersebut dan meminta keringanan hukum karena masih ada tanggungan keluarga sambil disertai isak tangis.

Tapi apa lacur. Justru sang hakim menasihatkan, “Seharusnya kalau menangis itu jangan sekarang, tapi waktu mau melakukan perbuatan tersebut. Dan jangan bilang khilaf”. Namun hakim sedikt bijak, memberikan putusan lebih ringan dibanding tuntutan jaksa. Alasannya, kedua terdakwa belum sempat menikmati hasil curian mereka dan belum pernah dihukum.
Sementara, disebelah berita kuli panggul dipenjara tertulis berita lain yang membuat hati tersayat. Judul beritanya, “Korupsi Rp.14 Miliar Dituntut 1,5 tahun Penjara. Peristiwa ini juga terjadi di Serang, dimana wakil Ketua DPRD Kab. Serang, terbukti bersama-sama melakukan korupsi dana tak tersangka APBD provinsi Banten tahun 2003, untuk pembayaran dana tunjangan kegiatan panitia anggaran serta tunjangan perumahan 75 anggota DPRD Banten.

Hakim Corong Kekuasaan

Tak perlu disimpulkan pengantar diatas. Karena hal itu nyata, terjadi di Pengadilan Negeri yang sama, dengan institusi Kejaksaan Negeri yang sama, ditulis oleh koran dan wartawan yang sama pula.

Potret buram penegakan hukum (law enforcement) di negeri ini memperlihatkan bahwa hukum masih belum berpihak pada yang lemah. Keadilan bukan diperuntukkan masyarakat kecil. Hukum masih pandang bulu dan kepanjangan tangan dari kekuasaan dengan aliran positivisme hukum. Positivisme hukum memandang hukum bersifat ilmiah dengan implikasi pemikiran hukum diperuntukkan bagi yang berkuasa.

Alhasil, hakim bukanlah corong keadilan, melainkan corong kekuasaan. Dalam penegakan hukum yang positivistik, unsur kemanfaatan (zwechmassigkeit) dan unsur keadilan (gerechtigkeit) cenderung diabaikan. Yang dikedepankan adalah unsur kepastian hukum (rechtssicherheit).

Meminjam analisis Foucoult, kekuasaan sama dengan serba banyak relasi kekuasaan yang bekerja di salah satu ruang atau waktu. Dan secara konvensional dipahami bahwa kekuasaan itu sejatinya justru mengelabui dan menindas terhadap mereka yang dikuasai, menyebabkan kekuasaan selalu memproduksi kebenaran dan keadilan dengan cara memberikan kepastian hukum dan peraturan-peraturan yang kerap mereka langgar sendiri.

Makin banyak hukum memenuhi syarat “peraturan yang tetap”, yang sebanyak mungkin meniadakan ketidakpastian. van Apeldoorn menekankan, makin tepat dan tajam peraturan hukum itu, makin terdesaklah keadilan. Singkatnya, kebenaran dan keadilan datangnya tidak berasal dari luar, melainkan dalam kekuasaan. Karena keadilan tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi (summum ius, summa iniuria).

Menghentikan ketidakadilan

Keadilan merupakan keutamaan utama setiap institusi. Hukum dan institusi-institusi betapapun bagus dan efisiennya apabila tidak adil haruslah diperbaiki atau bahkan dihapus. Benar dan adil adalah hal yang tidak bisa dikompromikan, sebagaimana pendapat John Rawls.

Selanjutnya agar hukum dapat berjalan efektif sangat memerlukan unsur keadilan. Karena hukum sendiri tidak dapat disamakan dengan keadilan, melainkan mengarah pada keadilan. Perbedaan ini terletak pada sifat keadilan itu sendiri yakni, subjektif, individualistik dan kasuistik. Sedangkan hukum lebih bersifat umum, menyamaratakan dan mengikat setiap orang.

Untuk mendapatkan keadilan maka pola paradigma dan pendekatan hukum perlu diubah.
Adalah Nonet dan Selznick dengan gagasan hukum responsifnya berusaha meyakinkan bahwa hukum sebagai fasilitator dari respon terhadap segala kebutuhan dan aspirasi yang ada dimasyarakat. Hukum responsif timbul karena hukum yang ada selama ini mengabdi pada kekuasaan.

Namun hukum responsif tidak bisa menghentikan produk hukum yang diperuntukkan untuk kepentingan penguasa. Hukum responsif belum bisa menjangkau penegakan hukum struktural atau konflik pemanfaatan sumber daya alam. Karena dalam hukum responsif tingkat partisipasi sebatas diperluas dan lebih dipercayakan pada mereka yang berprofesi sebagai advokat.

Sebab itu maka, pendekatan yang sangat memungkinkan adalah dengan penegakan hukum progresif untuk mengatasi kelemahan sistem hukum yang selama ini dipakai. Kelemahan ini terutama terlihat adalah independensi institusi penegak hukum yang kurang, intervensi penguasa, tingginya tingkat korupsi dan rendahnya kualitas aparat penegak hukum.

Berdasarkan laporan studi atas Village Justice in Indonesia oleh World Bank 2005, lemahnya independensi diperburuk dengan terbatasnya akuntabilitas dan transparansi.
Gagasan hukum progresif kemunculanya hampir sama dengan gagasan hukum responsif. Menurut Prof. Satjipto Rahardjo gagasan hukum progresif disebabkan oleh kerisauan terhadap kondisi hukum dinegeri ini. Karena penegakan hukum progresif mengutamakan tujuan daripada proses. Hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang merupakan motor penting dalam penegakan hukum. Logika yang dipakai dalam penegakan hukum progresif lebih didasarkan pada logika kepatutan sosial (social reasonableness) dan logika keadilan ketimbang logika peraturan.

Namun, selain logika kepatutan sosial dan logika keadilan adalah adanya jaminan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat ini dimulai ketika suatu peraturan akan dibuat sampai pada tahap pelaksanaannya. Sayangnya, penegakan hukum progresif ini tidak pernah digunakan sekalipun banyak sekali terjadi kegagalan dalam penegakan hukum.

Kita hanya berharap penegakan hukum adalah benar-benar bertujuan menciptakan keadilan. Dari kasus diatas, apabila harga 10 Kg bawang merah yang dicuri setara dengan uang senilai Rp. 75 ribu dituntut 10 bulan penjara dengan putusan Pengadilan 8 bulan penjara plus nasihat bijak hakim. Lantas, adilkah korupsi sebesar 14 milyar rupiah hanya dituntut 1,5 tahun atau 18 bulan penjara?…..Kd…Kd…Kd…..
Selengkapnya...

KPI

Eksistensi Komisi Penyiaran Indonesia




Pendahuluan

Sistem penyiaran nasional menurut UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan tatanan penyelenggaraan penyiaran nasional berdasarkan ketentuan peraturan perundangan menuju tercapainya asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran nasional sebagai upaya mewujudkan cita-cita nasional. Dari sini menjadi jelas bahwa, penyiaran diselenggarkan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa maupun yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia

Dalam pada itu, perkembangan teknologi dan informasi telah melahirkan masyarakat informasi yang makin besar tuntutannya akan hak untuk mengetahui (right to know)(right of access to information) dalam sistem negara yang demokratis (democratic state system). Belakangan ini, informasi telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat dan telah menjadi komoditas penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. dan hak memperoleh informasi.

Sebagaimana yang termuat dalam penjelasan UU Penyiaran, perkembangan teknologi komunikasi dan informasi membawa implikasi terhadap dunia penyiaran, tak terkecuali di Indonesia. Penyiaran sebagai penyalur informasi dan pembentuk pendapat umum (public opinion), berperan sangat strategis terutama dalam mengembangkan alam demokrsi dan menjadi salah satu sarana komunikasi bagi masyarakat, lembaga penyiaran, dunia bisnis dan pemerintah. Melalui pendekatan informasi maka semua elemen yang ada dapat saling memahami, atau bisa jadi berlaku sebaliknya.
.
Menurut Pye (1963), pendekatan komunikasi mempunyai keistimewaan karena menyediakan suatu dasar bersama (common basis) untuk menganalisis baik permasalahan struktural yang kelihatan (manifest) maupun persoalan sikap (attitude) dan nilai-nilai yang paling halus dalam keseluruhan perubahan politik dan pembangunan suatu bangsa (Zulkarimein Nasution, 1990:25). Oleh karena itu, umtuk mencapai tujuan penyiaran dalam UU No.32 Tahun 32 dikenal adanya lembaga pengawas yang dikenal sebagai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang merupakan lembaga bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Hanya saja persoalannya, bagaimana KPI dapat menjalankan tugas dan kewajibannya ditengah perubahan yang serba cepat dan pada saat bersamaan harus menghadapi beberapa kepentingan berbeda antara pemerintah, industri penyiaran, pemasang iklan, dan masyarakat.

Penyiaran Nasional Dan Perubahan Zaman

Tidak sedikit orang sering memiliki kepercayaan dan pandangan yang keliru bahwa kepentingan umum hanya dapat dipenuhi oleh sektor publik dan bahwa sektor swasta harus diperbolehkan memiliki kebebasan penuh (Erich Vogt; 2001: 10). Karena itu menurut Erich Vogt, tidaklah mengherankan kalau kita mendengar begitu banyak kelompok kepentingan dibidang penyiaran yang mengibaratkan lisensi penyiaran/ijin siaran sama seperti lisensi untuk mencetak uang.

Ketentuan yang mensyaratkan bahwa penyiaran hendaknya melayani publik dengan baik secara tradisional bertopang pada keyakinan bahwa gelombang udara adalah milik publik. Sebagai milik publik, spektrum frekuensi juga, sebagaimana halnya dengan milik publik lainnya, merupakan sumber daya yang terbatas sehingga membatasi jumlah lisensi yang dapat dikeluarkan kepada umum untuk memanfaatkannya (ibid).

Adanya perubahan besar diera penyiaran satelit dan digital telah mempengaruhi dan mewarnai sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Dalam pengamatan Anthony Giddens, televisi memainkan peran langsung dalam revolusi 1989, yang dengan tepat disebut sebagai “revolusi televisi” yang pertama. Protes turun ke jalan yang terjadi di satu negara disaksikan oleh para pemirsa televisi di negara lain, dan sebagian besar dari mereka kemudian melakukan hal yang sama di negara mereka sendiri (Anthony Giddens, terj.2001; 10). Tidak ketinggalan dengan penetrasi dari budaya industri (industry culture) yang memasuki alam bawah sadar pemirsa saban hari dan sedikit banyaknya berhasil merubah gaya hidup mereka.

Berbeda dengan era sebelumnya, bagaimana tradisi budaya dan moral benar-benar relatif terjaga. Perbedaannya karena sejumlah faktor terkait; kebanyakan faktor tersebut sangat berhubungan dengan dampak pertumbuhan dan mapannya media. Pertama, produksi budaya hari ini didominasi oleh media sampai ketingkat dimana tidak ada aktivitas budaya atau produksi yang tidak tersentuh oleh media. Kedua, media menampilkan segala sesuatu sebagai hal yang menarik pada dan untuk dirinya; media-media cenderung untuk menghancurkan kemungkinan bahwa sesuatu secara kualitatif lebih baik dari yang lain. Hal ini dikarenakan oleh media, sesuatu bisa menjadi menarik atau menjadi membosankan—dan seperti itulah sesuatu itu. Ketiga, faktor inilah yang menciptakan situasi sekarang begitu dari yang lainnya, yaitu dominasi media dan runtuhnya piranti kritis menjadi sekadar kategori barang-barang yang menarik atau membosankan, dimana bukan nilai budaya saja yang dihancurkan, tetapi nilai moralpun tal luput mengalami kerusakan moral (Keith Tester, terj.2003;4)
Sementara pendapat Ben Agger, sebuah budaya akan memasuki dunia hiburan maka budaya itu umumnya menjadikan unsur populer sebagai unsur utama. Kemudian budaya tersebut akan memperoleh kekuatannya manakala media massa digunakan sebagai jalan pintas penyebaran pengaruh dimasyarakat (Ben Agger, 1992; 24). Akibatnya antara budaya dan hiburan menjadi sukar dibedakan. Masyarakat secara terus-menerus dijejali dengan hiburan yang terselubung dalam selimut budaya dan dunia hiburan lambat laun kian tak terkendali karena disiarkan secara massif.

Dalam dunia kapitalisme, hiburan dan budaya telah menjelma menjadi industri (Burhan Bungin, 2001; 63). Program siaran yang yang sebenarnya merupakan kegiatan industri bertujuan melipat-gandakan laba telah dibeli label dengan ‘cap budaya’.

Pada konteks inilah Theodor Adorno dan Max Horkheimer mengatakan budaya industri sebagai media tipuan. Hampir sama dengan tesis Adorno dan Horkheimer, Simon During juga mempertegas bahwa, dunia hiburan telah menjadi sebuah proses reproduksi kepuasan manusia dalam media tipuan. Hampir tidak ada lagi perbedaan antara kehidupan nyata dengan dunia yang digambarkan dalam film yang dirancang menggunakan efek suara dengan tingkat ilusi yang sempurna, sehingga tak terkesan imaginater(Simon During, 1993; 31).

Dengan kata lain; hiburan merupakan supra-ideologi segala diskursus dalam televisi. Tak peduli apa yang ditayangkan dan melaui sudut pandang mana. Alasannya adalah bahwa semua itu ditayangkan untuk menghibur dan menyenangkan, sebagaimana pendapat Neil Postman. Lebih dari itu, ketika suatu masyarakat telah disibukkan dengan hal yang remeh-temeh, saat itu kehidupan budaya didefinisikan kembali sebagai arus hiburan tanpa henti, bila konversasi serius publik telah menjadi sebentuk ocehan bayi, singkat kalimat, ketika masyarakat menjadi sekelompok pemirsa dan urusan publiknya menjadi sebuah pertunjukan vaudeville, maka sebuah negara akan tiba ditepi jurang kematian kebudayaan (Neil Postman; terj.1995; 97 dan 164).

Komisi Penyiaran Indonesia Dan Tantangan Yang Dihadapi

Untuk mengantisipasi hal-hal negatif dari perkembangan penyiaran satelit dan digital, UU Penyiaran telah memberi kewenangan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Secara esensial, Pasal 7 UU No.32 Tahun 2002 mencantumkan, KPI sebagai lembaga independen yang mengatur mengenai hal-hal berkaitan dengan penyiaran. KPI dapat dikatakan sebagai lembaga ekstrastruktural (lembaga diluar kementerian), lembaga kuasi negara atau state auxiliary agency, tetapi tetap terbilang sebagai executive branch.

Lembaga seperti KPI merupakan ciri yang berkembang pada negara-negara demokratis. Otoritas ini merupakan institusi yang terlepas dari pemerintah. Dalam konsep demokrasi peran pemerintah semakin mengecil, sementara peran publik (masyarakat) semakin besar. Karena itu, diperlukan lembaga-lembaga khusus yang mewakili kepentingan publik (S.Sinansari Ecip, 2006; 1). KPI merupakan instusionalisasi dari peran serta masyarakat yang berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran.

Menurut UU Penyiaran, tugas dan kewajiban KPI adalah; menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan HAM; ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran; ikut membantu iklim persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran dan industri terkait; memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata dan seimbang; menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran; dan menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas bidang penyiaran.

Selain tugas dan kewajiban, KPI juga memiliki kewenangan antara lain; menetapkan standar program siaran; menyusun dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran; mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran dan masyarakat.
Sedangkan pemerintah, menurut Erich Vogt, hendaknya :
1). Mengeluarkan instruksi atau perintah resmi kepada Komisi Penyiaran mengenai aplikasi masalah-masalah kebijakan.
2). Menyusun instruksi kebijakan yang berpijak pada sifat dasar kebijakan yang luas.
3) Memberikan Komisi Penyiaran kemandirian yang dibutuhkan untuk menerjemahkan instruksi-instruksi kebijakan yang luas ini kedalam kegiatan-kegiatan yang bersifat mengatur.
4). Mengeluarkan instruksi-instruksi resmi sesuai dengan proses-proses publik yang transparan.

Sementara tanggung jawab pemerintah terhadap hal-hal yang berkaitan dengan penyiaran, yang penting bagi masyarakat dari segi ekonomi, budaya dan sosial, meliputi antara lain:
1). Penetapan jasa penyiaran secara keseluruhan yang merencanakan prioritas, termasuk prioritas untuk memberikan pelayanan-pelayanan seperti itu.
2). Berdasarkan nasihat instansi-instansi pengatur, pengalokasian spektrum frekuensi radio kepada regulator untuk maksud perencanaan penyiaran dan pelayanan-pelayanan lainnya.
3). Tanggung-jawab pelayanan universal dan kewajiban-kewajiban badan-badan penyelenggara publik.
4). Kewajiban-kewajiban menurut perjanjian-perjanjian dan konvensi-konvensi internasional (Erich Vogt, 2001;27-8).

Adapun lembaga yang diawasi oleh KPI adalah : 1). Lembaga penyiaran publik (TVRI dan RRI); 2). Lembaga penyiaran swasta (televisi swasta dan radio swasta); 3). Lembaga penyiaran komunitas; 4) Lembaga penyiaran berlangganan. Khusus untuk penyiaran swasta, pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik disatu wilayah siaran maupun dibeberapa wilayah siaran dibatasi (Pasal 18 Ayat (1) UU No.32 Tahun 2002). Selain itu, kepemilikan silang antara lembaga penyiaran swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan lembaga penyiaran swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara lembaga penyiaran dan perusahaan media cetak, serta antara lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi (Pasal 18 Ayat (3) UU No.32 Tahun 2002). Untuk mengatur lebih lanjut ketentuan Pasal 18 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No.32 Tahun 2002, disusun oleh KPI bersama pemerintah.

Perlunya pembatasan itu agar tidak sampai terjadi konglomerasi media yang dimiliki oleh satu orang dan/atau beberapa orang saja. Karena hal ini akan menjadi ancaman terhadap demokrasi, seperti yang dikhawatirkan oleh Robert MC Chesney. Penguasaan pribadi terhadap sistem media dan komunikasi, menurut Chesney, bukanlah suatu praktik yang netral atau menguntungkan setiap pihak. Landasan komersial media massa sebut saja di Amerika Serkat misalnya, terbukti berimplikasi buruk terhadap praktik politik demokratis, karena iklan telah menjadi salah satu pemasukan terbesar mereka. Dalam kehidupan politik yang berkembang, komersialisme dalam media dan komunikasi berpengaruh besar dalam mendorong terjadinya proses depolitisasi masyarakat sipil (Robert MC Chesney, terj.1998; 3-4).

Menurut Erich Vogt, konsentrasi kepemilikan media ditangan segelintir orang akan merusak asas demokratisasi. Dan hal ini sama saja berlakunya baik di Jerman, Perancis dan Inggris maupun Indonesia. Konsentrasi dan kendali yang berada dalam kekuasaan segelintir orang, terutama investor asing, bahkan dapat menggerogoti kedaulatan. Karena itu adalah penting untuk menyusun kerangka kebijakan yang tepat untuk memastikan penyebaran kepemilikan media secara universal dan mencegah terjadinya konsentrasi media ditangan segelintir orang.

Dalam lingkup parameter-parameter ini, setiap sistem penyiaran dan undang-undang penyiaran hendaknya mendukung dan mempromosikan industri penyiaran yang aktif, yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan mempromosikan program siaran yang isinya sarat dengan unsur pribumi (indigenous content), program siaran dengan ‘sektor isi yang kreatif’ dari masyarakat. Hal ini menuntut suatu kerangka kebijakan yang menjamin penyesuaian cepat terhadap teknologi yang baru dan sedang berubah, penggunaan spektrum secara efisien dan kompetisi atau persaingan yang adil (Erich Vogt, 2001; 30-1).

Senarai Pustaka
Adorno, Theodor and Horkheimer, Max, (1991), The Culture Industry: Selected Essays on Mass Culture, ed. J.M. Bernstein, London: Routledge.

Agger, Ben., (1992), Cultural Studies as Critical Theory, London: The Falmer Press.

Bungin, Burhan., (2001), Imaji Media Massa: Konstruksi Dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi Dalam Masyarakat Kapitalistik, Yogyakarta: Penerbit Jendela.

Chesney, Robert MC., (terj.1998), Konglomerasi Media Massa dan Ancaman Terhadap Demokrasi, Penerj. Andi Achdian, Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen.

During, Simon., (1994), The Cultural Studies Reader, London: Routledge.
Ecip, S.Sinansari., Pengebirian KPI Oleh Kekuasaan, Makalah pada Seminar tentang, “Peran Lembaga Negara Independen Di Tengah Sentralisasi Pemerintahan”, diselenggarakan oleh KPI, di Jakarta, 20 Juli 2006.

Giddens, Anthony., (terj.2001), Runaway World, Penerj. Andri Kristiawan S dan Yustina Koen S, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Nasution, Zulkarimein, (1990), Komunikasi Politik Suatu Pengantar, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia

Postman, Neil., (terj.1995), Menghibur Diri Sampai Mati, Mewaspadai Media Televisi, Penerj. Inggita Notosusanto, Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan.

Pye, L.W., (ed), (1963), Communication And Political Development, Princeton: Princeton Universiti Press.

Tester, Keith, (terj.2003), Media, Budaya Dan Moralitas, Penerj. Muhammad Syukri, Yogyakarta: Kerjasama Juxtapose dengan Penerbit Kreasi Wacana.

Undang-undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Vogt, Erich, (2001), Pelayanan Umum Sebagai Salah Satu Bentuk Penyiaran, Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung.
Selengkapnya...

Tuesday, August 7, 2007

RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik

Keinginan masyarakat yang menghendaki payung hukum dalam memperoleh informasi makin terasa. Berbeda dengan pada awal tahun 2000, tidak hanya kurang dukungan, tingkat pemahaman akan arti pentingnya suatu pengaturan dalam bentuk Undang-undang (UU) untuk mengakses informasi secara mudah juga terlihat minim. Pada awal September 2006 kemarin, sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam koalisi kebebasan informasi (KKI) mendesak komisi pertahanan DPR RI segera menyelesaikan pembahasan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP).
RUU KMIP ini merupakan inisiatif DPR. Dalam perjalanannya, sebagaimana ditulis koran ini, pembahasan RUU KMIP dinilai lamban. Sebab, hingga pembahasan ke-5 pada tanggal 4 September 2006 lalu, baru sekitar 54 dari 334 daftar inventarisasi masalah (DIM) yang berhasil dibahas DPR dan pemerintah (Seputar Indonesia, 23/09/06). Pentingnya keberadaan aturan hukum dalam KMIP selain menjamin kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses informasi, adalah untuk menciptakan suatu pemerintahan yang demokratis. Hal yang mustahil tanpa adanya jaminan tersebut suatu pemerintahan akan menjadi demokratis.
Adalah suatu cara pemikiran lihai sekaligus menyesatkan, bahwa dalam suatu pemerintahan demokratis, kebebasan memperoleh informasi sangat dibatasi. Padahal kebebasan memperoleh informasi publik (KMIP) merupakan pengejawentahan pemerintah demokratis yakni asas keterbukaan dan asas akuntabilitas yang menyangkut partisipasi (publik) dan transparansi. Bahkan akses masyarakat dalam memperoleh informasi merupakan HAM yang diatur dalam konstitusi (Pasal 28F UUD 1945) maupun instrumen HAM internasional pada article 19 Universal Declaration of Human Rights.
Kendati demikian, KMIP terasa sangat dibatasi oleh adanya Rahasia Negara (RN). Alasan legalnya, hak atas mengakses informasi sebagai salah satu wujud penghargaan HAM, tidak serta merta berlaku secara mutlak dan konstitusional. Suatu kebebasan tetap ada batasannya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 28J UUD 1945 dan Article 29 Universal Declaration of Human Rights. Dalam perkembangannya, pemerintah melalui Departemen Pertahanan tetap getol melanjutkan niatannya untuk mengesahkan RUU RN. Malahan sampai keluar Kepres tentang pembahasan RUU RN.

Legal Drafting
Saat ini dua hal yang berbeda itu sedang dibahas dan masih dalam bentuk draf rancangan Undang-undang (RUU). Terlepas dari perbedaan diatas, perlu diacungi jempol terhadap mereka yang ditugasi membuat RUU RN (baca: legal drafter). Melihat substansi RUU RN beserta penjelasannya memang reasonable akan adanya kebijakan yang mengatur tentang apa dan bagaimana duduk perkara dari suatu RN agar tidak menjadi rahasia umum atapun bukan rahasia lagi. Pendeknya, nyaris sempurna proses pembuatan RUU (legal drafting) RN.
(Mungkin) untuk pertama kalinya, minimal jarang, sepanjang pengamatan saya—semoga tidak salah—landasan yuridis suatu RUU kurang dominan dibandingkan dengan landasan filosofis dan sosiologis, sebagaimana yang terjadi pada RUU RN. Dibandingkan RUU lain (misal RUU/UU tentang Pemerintahan Daerah), RUU RN sangat minim landasan yuridisnya. Padahal selama ini suatu RUU galibnya tidak demikian, namun bukan berarti salah.
Landasan filosofis merupakan ide atau gagasan yang sarat nilai-nilai moral, etika dan kebenaran yang dikehendaki masyarakat. Sementara landasan sosiologis adalah segala hal yang menyangkut kebutuhan dan keadaan masyarakat. Adapun landasan yuridis berpijak pada peraturan perundangan yang merupakan dasar hukum ataupun raison d’etre peraturan yang baru baik bersifat formal (kewenangan) maupun material (substansi yang diatur). Namun, dalam merumuskan suatu peraturan tidak jarang terjebak pada konflik kepentingan karena adanya perbedaan latar belakang. Seyogyanya, para legal drafter berlaku obyektif dalam merumuskan suatu kebijakan yang mengatur kepentingan publik.
Memimjam analisis van Apeldoorn, isi peraturan perundangan sejatinya adalah hasil terakhir dari pertikaian antara pelbagai kekuatan, seperti ekonomis, politik, cendikiawan yang ada dimasyarakat. Singkat kalimat, undang-undang adalah: un traitĕ de paix entre des forces rivales. Tanpa itu, cepat atau lambat justru akan membentuk pemerintahan totalitarianisme, dimana penyelenggara negara dengan mudahnya mengorbankan kepentingan orang banyak.
Ancaman Demokrasi
Sekalipun landasan filosofis dan sosiologis dalam RUU RN lebih dominan dengan mengedepankan maximum access limited exemtion, tapi bukan berarti dapat diterima khalayak. Sebaliknya, (akan) mengandung tingkat resistensi yang besar. Kelak RUU RN
yang tanpa mengalami revisi dan disahkankan menjadi UU, dapat dipastikan akses masyarakat atas informasi secara baik dan benar sedikit banyaknya akan terhalang.
Padahal KMIP adalah salah satu perangkat bagi masyarakat untuk melakukan check and balance. Sebab, masyarakat berhak melakukan pengawasan eksternal. Hak masyarakat untuk mengawasi pemerintahan dengan asumsi bahwa mereka yang duduk dipemerintahan karena mandat dari rakyat pada saat pemilu. Dengan kata lain, kekuasaan pemerintahan berasal dari rakyat. Maka sudah sewajarnya apabila penyelenggaraan pemerintahan haruslah selalu dipertanggung jawabkan kembali kepada rakyat salah satu caranya melalui pintu KMIP.
Dalam draf RUU RN bertanggal 24 Februari 2006, RN meliputi ruang lingkup: a) pertahanan dan keamanan Negara; b). hubungan internasional; c). proses penegakan hukum; d). ketahanan ekonomi nasional; e) sistem persandian Negara; f). sistem intelejen Negara, dan; g). asset vital Negara (Pasal 5 RUU RN). Diantara ketujuh ruang lingkup tersebut, yang bakal paling menuai masalah ialah ruang lingkup proses penegakan hukum. Apabila untuk kasus tertentu misalkan terorisme, mungkin dapat dibenarkan. Atau masalah hubungan internasional, seperti penguasaan pulau Ambalat antara Indonesia-Malaysia, apabila dibeberkan seluruhnya akan merugikan pemerintah Indonesia.
Tetapi, apabila menyangkut masalah korupsi justru menjadi ancaman bagi eksistensi pemerintahan demokratis yang kelak hanya menjadi slogan semata. Alhasil, praktik diskriminasi hukum akan terjadi dimana good governance dan prinsip equality before the law akan sulit diwujudkan. Padahal, negara ini belum sembuh atau masih sekarat terhadap penyakit KKN. Jelas sangat sulit dengan masuknya proses penegakan hukum dalam ruang lingkup RN dalam membasmi para koruptor. Ataupun berkenaan dengan laporan pentaluran dana ke publik. Misalkan saja, penyaluran bantuan operasional sekolah (BOS) oleh Depdiknas. Jika sudah ada aturan hukum tentang KMIP maka kewajiban pemerintah untuk menyampaikan kepada publik tentang sejauh mana keefektifan dari penyaluran dana tersebut.
Selain itu, kasus pelanggaran HAM juga akan sulit dituntaskan secara adil. Sangat boleh jadi, dengan alasan RN yang akan membahayakan negara, proses penegakan hukum terhadap korupsi dan pelanggaran HAM menjadi jalan ditempat. Kekhawatiran terhadap pengaturan RN justru hanya akan melindungi pejabat publik dari perbuatan menyimpang yang dilakukan.
Anehnya, semula pemerintah merasa keberatan jika dalam RUU KMIP badan publik diwajibkan menyampaikan jawaban secara tertulis apabila menolak memberikan informasi kepada pihak yang membutuhkan. Untungnya, pemerintah kini menyetujui. Tentunya jika pemerintah menolaknya, maka perbuatan ini telah menempatkan pemerintah sebagai diktator (lihat Harold J. Cross, 1953).

KMIP Di Negara Lain
Menghalang-halangi KMIP sama artinya memelihara kebenaran semu yang cepat atau lambat niscaya punah dan tidak ada alasan tepat untuk menghambat KMIP yang dibatasi dengan selimut UU RN. Pada awalnya ini akan berhasil menghambat KMIP setelah gagal mengahambat kebebasan pers, namun keinginan masyarakat yang menghendaki KMIP bukan orang per orang ataupun kelompok, melainkan kian meluas karena KMIP sudah merupakan kebutuhan dasar setiap warga negara sejak ratusan tahun lalu.
Sejarah perkembangan the right to know pertama kali adalah dikawasan Skandinavia, yakni Swedia. Meski tidak diatur secara khusus dalam UU, hak masyarakat dalam memperoleh informasi termuat dalam the Freedom of the Press Act tahun 1766. Dibandingkan Amerika dengan Freedom of Information Act tahun 1966, maupun Inggris yang diperjuangkan sejak tahun 1911 dan baru menuai hasil dengan terbitnya Freedom of Information Act pada November 2000, Swedia lah yang mengawali terlebih dulu.
Di swedia, akses masyarakat dalam memperoleh informasi telah dijamin dalam hukum dasarnya (fundamental law), terutama tiga dari empat hukum dasar Swedia, yakni UU Instrumen Pemerintah (the Instrument of Government); UU Kebebasan Pers (the Freedom of the Press Act), dan; UU Kebebasan Berekspresi (the Law on Freedom of Expression). Dalam Pasal 2 UU Instrumen Pemerintah Swedia disebutkan, Freedom of information: that is, the freedom to procure and receive information and otherwise acquaint oneself with the utterances of others.
Untuk menjamin pelaksanaan hukum dasar tersebut, termasuk KMIP, ditugaskan oleh tiga lembaga sebagai instrumen pengawasan hukum dasar (the Guardian of the Fundamental Laws) masing-masing: Komite Konstitusi (Committee on the Constitution); Ombudsman Parlemen (Rijksdagens Ombudsman), dan; Chancellor of Justice (Justitie Kanslern). Tugas Riksdagens Ombudsman selain mengawasi penyelenggara negara, juga menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat terhadap akses informasi, sama seperti di Inggris, Ombudsman nya berwenang mengawasi pelaksanaan akses informasi berdasarkan code of practise.

Pengawasan KMIP
Indonesia sendiri sudah memiliki Ombudsman yang sering disebut dengan Komisi Ombudsman Nasional (KON). Dalam perjalananya selama 6 tahun berdiri, secara khusus KON belum pernah menerima pengaduan masyarakat mengenai akses informasi yang tidak diberikan oleh penyelenggara negara. Menurut ketua KON, Antonius Sujata, beberapa jenis pelayanan informasi yang banyak dikeluhkan masyarakat melalui KON adalah, tidak tersedianya informasi yang tepat, keterlambatan memperoleh informasi, jaminan kerahasiaan informasi pribadi, Ketidakkonsistenan pejabat dalam memberikan informasi, dan penyampaian dokumen informasi dengan waktu yang tidak patut.
Meskipun dimungkinkan bagi KON untuk menindaklanjuti pengaduan masyarakat terhadap KMIP, tetapi ini sebenarnya masih berada diwilayah grey area. Pasalnya KON yang terbentuk berdasarkan Keppres No.44 tahun 2000 belum mengaturnya. Tambah lagi, RUU Ombudsman Republik Indonesia (RUU ORI) tidak mengatur secara tegas berwenang tidaknya KON mengawasi pelaksanaan KMIP dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat atas akses informasi sebagaimana yang dilakukan oleh Riksdagens Ombudsman maupun Ombudsman Inggris.
Sementara itu, dalam perkembangan pembahasan RUU KMIP terakhir, pemerintah menolak membentuk komisi khusus yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa tentang hak setiap orang atas informasi. Padahal dalam RUU KMIP telah secara tegas menghendaki adanya suatu lembaga idependen yang berfungsi menyelesaikan seneketa melalui mediasi dan/atau ajudikasi. Apabila pemerintah tetap tidak menyetujui dibentuknya komisi informasi karena keterbatasan anggaran ataupun alas an lainnya, sebenarnya KON dapat juga melakukan pengawasan dan sanksi terhadap pelaksanaan KMIP apabila KON diberi kewenangan tambahan.
Kiranya sebelum disahkan menjadi UU, dalam RUU KMIP perlu mempertegas pengawasan terhadap pelaksanaan akses masyarakat untuk memperoleh informasi dari penyelenggara negara atau pejabat publik. Selain itu, perlu pembatasan terhadap apa saja yang menjadi rahasia negara agar jangan sampai dengan alasan rahasia negara maka badan publik tidak memberikan informasi secara benar dan melindungi para pelaku pelanggaran HAM.
Yang menjadi keraguan penulis, sekalipun KMIP sudah diakomodasi dalam bentuk UU, namun dalam pelaksanaan besar kemungkinan akan bermasalah. Sebab antara KMIP dan RN ibarat sekeping mata uang logam bernama “demokrasi” yang memiliki dua sisi. Pastinya, penulis berharap keraguan tersebut tidak benar.………RMKDN……… Selengkapnya...