Wednesday, February 18, 2009


Pembicaraan: Komisi Ombudsman Nasional

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari Reformasi memandatkan cita-cita untuk melakukan perubahan kondisi sesuai dengan tuntutan masyarakat, menuju terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis melalui penyelenggaraan negara yang baik (good governance) dan bersih (clean government).

Untuk mewujudkan hal tersebut, maka diperlukan pemerintahan yang responsif dan bertanggung jawab, peradilan yang independen dan berintegritas, serta lembaga perwakilan yang kuat dalam menjalankan pengawasan dan membawa aspirasi masyarakat. Selain itu peran masyarakat melalui perwujudan civil society yang kuat untuk melakukan pengawasan (kontrol publik) dan partisipasi, baik dalam tataran perumusan kebijakan maupun implementasinya juga suatu syarat yang mutlak harus dipenuhi. Setidaknya ada beberapa alasan yang mendasari perlunya civil society yang kuat dalam melakukan pembaruan sebagaimana tujuan reformasi.

Pertama, tujuan penyelenggaraan negara merupakan bagian dari kepentingan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan hak-haknya sebagaimana yang telah dijamin dan lindungi oleh konstitusi UUD NKRI 1945. Kedua, konstitusi UUD NKRI 1945 meletakkan tanggung jawab kepada negara terutama pemerintah dalam pemenuhan hak-hak warga negara sehingga perlu mendapatkan pengawasan dari masyarakat itu sendiri. Ketiga, berbagai upaya pembaruan di lembaga pemerintahan, perwakilan, dan peradilan yang berjalan saat ini ternyata belum cukup untuk menjawab seluruh keinginan masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang baik, bersih, jujur, dan transparan.

Upaya-upaya pembaruan juga belum dapat sepenuhnya menekan secara signifikan praktek-praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) dalam penyelenggaraan negara, sehingga mengakibatkan rendahnya pelayanan dan perlindungan hak-hak masyarakat khususnya dalam pelayanan publik.

Kelemahan dan Kekuatan Ombudsman Ombudsman merupakan salah satu lembaga negara nonstruktural yang sengaja dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional, untuk turut berperan dalam upaya demokratisasi di tanah air.


Usia yang masih sangat muda menyebabkan Ombudsman belum dapat berbuat banyak, khususnya dalam melakukan perubahan atas peningkatan pelayanan publik yang lebih layak dan manusiawi. Seperti dalam salah satu misi yang diembannya, yakni mengupayakan secara berkesinambungan kemudahan pelayanan yang efektif dan berkualitas oleh Institusi Pemerintah kepada masyarakat.

Sampai sekarang hanya 30% rekomendasi Komisi Ombudsman Nasional yang ditindaklanjuti oleh instansi/pejabat pelayan publik. Rekomendasi ini dikeluarkan setelah masyarakat memberi laporan persoalan yang menyangkut pelayanan umum ke Komisi. Anggota Komisi Ombudsman Nasional, Masdar Mas'udi, Senin (22/8) menjelaskan, selama Januari-Juli 2005, pihaknya sudah menerima 596 laporan pengaduan yang menyangkut masalah pelayanan umum oleh pejabat publik. Dari laporan sebanyak itu antara lain menyangkut kinerja kepolisian 118 aduan, peradilan (103), kejaksaan (139), pertanahan (51), pemerintah daerah (51), dan perbankan (11). (Suara Merdeka, 23/08/2005) Melihat dari kuantitas tersebut, sebagian orang akan beranggapan bahwa kurangnya hasil yang diberikan atas kinerja Ombudsman selama lima tahun adalah hal yang wajar, mengingat lembaga ini masih baru terbentuk sehingga belum berpengalaman. Namun tidak sedikit pula orang yang kecewa atas lemahnya rekomendasi yang dikeluarkan lembaga dengan julukan “Mahkamah Pemberi Pengaruh” (Magistrature Influence) ini. Konsekuensi dibentuknya lembaga nonstruktural baru di Indonesia adalah untuk menjawab

permasalahan-permasalahan yang menjadi kewenangannya. Siap ataupun tidak siap, “sang pemberi pengaruh” ini harus dapat segera menunaikan amanah rakyat, dengan memberikan rekomendasi-rekomendasi yang efektif dan mengikat. Selain usia yang masih sangat rentan, terdapat beberapa kelemahan yang cukup signifikan dan dapat mempengaruhi kinerja lembaga dalam meningkatkan eksistensinya. Pertama, lembaga ini belum memiliki aturan hukum yang mengatur secara khusus peran dan fungsi yang harus diembannya.

Hal ini dibutuhkan sebagai bentuk kepastian hukum dalam setiap tindakan yang diambil dalam rangka melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai lembaga negara. Kelemahan kedua adalah, Ombudsman selama ini lebih banyak bersikap pasif, dan hanya menanggapi pengaduan-pengaduan yang diberikan oleh masyarakat. Hal ini kurang efektif, melihat wilayah yang menjadi kewenangan Ombudsman meliputi seluruh wilayah di Indonesia. Akibatnya aspirasi masyarakat di daerah belum mampu terdengar oleh komisi ini.

Padahal justru di daerah-daerah kecil inilah seringkali terdapat maladministrasi yang berlangsung secara terus-menerus, bahkan menjadi hukum kebiasaan. Kelemahan-kelemahan tersebut berdampak negatif, yakni kurangnya daya ikat dan pengaruh dalam setiap rekomendasi yang dikeluarkan Ombudsman. Kekuatan komisi ini ada pada Net working (jejaring) yang harus dijaga dan terus dikembangkan sebagai asset dalam menindaklanjuti setiap pengaduan masyarakat. Ombudsman tidak berjalan sendiri, tetapi memiliki banyak rekan yang menjadi partnership untuk mencari solusi terbaik dalam menyelesaikan permasalahan di lapangan.

Para pelapor, khususnya yang berasal dari sebuah lembaga/organisasi, harus dilibatkan dalam setiap proses penanganan atas masalah yang dilaporkan. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan memiliki kredibilitas tinggi, juga merupakan kekuatan bagi Ombudsman dalam menjawab permasalahan akan ketiadaan aturan hukum yang jelas.

Anggota yang dipilih oleh DPR dan kemudian diangkat oleh Kepala Negara, harus memberikan integritas tertingginya dalam menyelesaikan kasus-kasus maladministrasi. Kreativitas diperlukan dalam melaksanakan kerja-kerja teknis, namun dengan tetap mengacu pada Pedoman Dasar dan Etika Ombudsman. Hal ini dapat sangat membantu hingga RUU tentang Ombudsman disahkan dan diimplementasikan secara optimal.

Peluang dan Ancaman terhadap Ombudsman Berlakunya otonomi daerah dalam beberapa tahun terakhir ini, merupakan peluang sekaligus ancaman bagi Ombudsman dalam memperluas eksistensi lembaga yang berasaskan Pancasila ini. Adanya pengakuan atas hak-hak masyarakat daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan secara mandiri dan independen, merupakan tuntutan dibentuknya Ombudsman Daerah.

Ketiadaan Ombudsman di daerah-daerah, akan menghambat lembaga dalam menangkap isu-isu lokal yang terkait dengan terjadinya penyimpangan oleh penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya, maupun dalam memberikan pelayanan umum. Sehingga merupakan keharusan bagi Ombudsman untuk memiliki tangan-tangan di daerah, minimal di tiap propinsi di Indonesia. Ombudsman Daerah tentunya bertanggung jawab langsung terhadap Ombudsman Nasional, dan senantiasa melakukan koordinasi dengan Ombudsman Nasional.

Sedangkan untuk di daerah Kota atau Kabupaten, dimungkinkan dibentuk Ombudsman jika dirasa mendesak dan memiliki anggaran yang cukup. Untuk menyiasati terjangkaunya Ombudsman di daerah-daerah yang lebih kecil, maka seyogyanya Ombudsman menyediakan pusat pengaduan sementara di instansi/organisasi tertentu, atau bisa juga dengan menyediakan kotak-kotak pengaduan yang mudah diakses masyarakat.
Kemudian peran serta pemerintah lokal diperlukan untuk memberikan informasi yang diperlukan masyarakat perihal eksistentsi lembaga Ombudsman. Ombudsman Daerah nantinya diharapkan aktif dalam menggali informasi dan menampung segala bentuk pengaduan masyarakat. Peran media masa, baik cetak maupun elektronik, mutlak diperlukan untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Di antaranya dengan melakukan dialog interaktif di radio-radio lokal, maupun di seluruh stasiun televisi, lokal maupun nasional. Jika kita melihat dalam Keputusan Pressiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional dinyatakan, bahwa KON berwenang untuk melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Namun dalam keppres tersebut tidak diatur tindak lanjut yang harus dilakukan oleh instansi/penyelenggara negara apabila berdasar pemeriksaan telah terbukti melanggar hak masyarakat terutama dalam pelayanan publik. Hal tersebut mencerminkan bahwa hasil klarifikasi, monitoring dan pemeriksaan yang dilakukan oleh KON mempunyai kekuatan yang lemah untuk dilaksanakan instansi/penyelenggara negara terkait dengan pelanggaran yang terjadi.

Merupakan peluang bagi Ombudsman untuk memiliki kewenangan sebagai lembaga penyelesai sengketa dalam pelanggaran hak masyarakat terkait dengan penyelenggaraan negara, khususnya dalam pelayanan publik. Hal ini juga merupakan terobosan atas kondisi peradilan yang selama ini belum cukup efektif dan efisien.

Dalam berbagai sengketa pelayanan publik yang selama ini muncul sangat memerlukan penyelesaian yang efektif, waktu cepat, dan biaya murah sehingga dengan kewenangan Ombudsman untuk menjadi lembaga penyelesaian sengketa pelayanan publik dimungkinkan untuk memperbesar akses masyarakat dalam memperjuangkan keadilan.

Mengapa Ombudsman Harus Aktif? Masyarakat kita diakui maupun tidak, sudah cukup lelah pada janji-janji yang memberi harapan bagi peningkatan pelayanan publik, khususnya oleh instansi pemerintah. Namun mereka cenderung memilih untuk diam.

Bukan karena menerima ketidakadilan yang mereka rasakan ataupun takut, tetapi lebih disebabkan karena proses pengaduan yang tidak jelas. Bahkan ujung-ujungnya mereka harus mengeluarkan uang lebih besar untuk melakukan telepon pengaduan, ataupun ongkos kirim surat pengaduan. Hal ini mungkin sepele bagi beberapa pihak, tetapi bagi mereka yang telah kehilangan rasa kepercayaan, maka menjadi bumerang bagi peningkatan kesadaran hukum masyarakat kita.

Jika dibiarkan berlarut-larut tentunya sangat berbahaya dan akan terakumulasi. Di mana pada satu titik jenuh, masyarakat kita akan bersikap skeptis dalam menghadapi permasalahan yang ada dilingkungannya. Menyikapi hal ini, Ombudsman wajib mencari satu metode untuk menarik kembali minat dan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dialami masyarakat.

Salah satu metode yang harus dilakukan adalah dengan mengadakan polling yang disebarkan khusus untuk daerah-daerah yang masih kurang tersentuh oleh pembangunan. Upaya ini akan melahirkan harapan baru dan rasa kepercayaan masyarakat terhadap Ombudsman. Terlebih jika Ombudsman dapat dengan cepat menindaklanjuti hasil polling yang secara objektif di dapat langsung dari masyarakat. Tindak lanjut yang ada juga harus bersifat luas dan berkesinambungan.

Selain metode polling, Ombudsman dapat melakukan penelitian partisipatoris, khususnya tentang maladministrasi yang sering terjadi di masyarakat. Hal ini bermanfaat untuk menemukan solusi alternatif dalam memberantas praktek maladministrasi tersebut. Metode-metode yang menunjang peran serta masyarakat tidak harus dilakukan secara mandiri oleh Ombudsman.

Lembaga dapat bekerja sama dengan berbagai kelompok masyarakat, baik itu instansi pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)/NGOs, Perguruan Tinggi, maupun lembaga lain yang ada di masyarakat. Perlu ditegaskan, bahwa peran aktif dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan tidak melulu menjadi tanggung jawab masyarakat, melainkan patut didukung oleh lembaga-lembaga yang kreatif, mandiri dan bertanggung jawab pada bangsa dan negara.

Komitmen Bersama Mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera dengan tata pemerintahan yang baik dan bersih, tidak dapat dilakukan secara parsial dan dalam waktu yang singkat. Di sini diperlukan komitmen bersama dari seluruh elemen masyarakat untuk melakukan perubahan yang holistik dan berkesinambungan, dengan langkah-langkah yang strategis dan signifikan.

Komitmen bersama dengan itikad baik dan penuh rasa tanggung jawab, sangat diperlukan bagi Ombudsman Indonesia. Seluruh instansi pemerintah, lembaga peradilan (mulai dari kepolisian, kejaksaan dan kehakiman), hingga pada organisasi profesi, harus digalang untuk bersama menjalankan visi dan misi yang selaras dengan Ombudsman. Di antaranya, Pemerintah Daerah dapat mengeluarkan sebuah Peraturan Daerah (Perda) yang terkait dengan partisipasi aktif masyarakat dalam melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja pejabat publik. Bisa juga Perda tentang kebebasan memperoleh informasi, yang saat ini menjadi hak mutlak bagi seluruh lapisan masyarakat.

Dengan peraturan-peraturan tersebut diharapkan tercipta iklim yang kondusif, sehingga masyarakat merasa bertanggung jawab untuk aktif memberikan pengaduan terhadap tindakan maladministrasi yang ada. Iklim yang terbentuk karena adanya kesadaran individu maupun komunal akan memudahkan Ombudsman dalam memberi pengaruhnya terhadap instansi yang dilaporkan.

Selanjutnya rekomendasi yang dikeluarkan oleh Ombudsman akan menjadi teguran yang efektif dan harus segera dilaksanakan, karena dirasa sebagai kritik yang membangun bagi setiap instansi yang menjadi pihak terlapor.

Kesimpulan dan Saran 1. Kelemahan yang terdapat dalam tubuh Ombudsman bukanlah harga mati, namun dapat menjadi sebuah motivasi bagi optimalisasi eksistensi lembaga, sehingga mampu mewujudkan visi dan misi yang telah dirumuskan. Peluang yang dimiliki oleh Ombudsman harus dimanfaatkan secara maksimal, agar terwujud lembaga yang memiliki kredibilitas, akuntabilitas serta integritas yang tinggi.

Ke depan pasti akan ada ancaman maupun hambatan dari berbagai aspek, karenanya Ombudsman harus mempersiapkan diri, baik dari segi SDM maupun sarana dan prasarana internal, termasuk optimalisasi peran serta masyarakat untuk turut mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih. 2. Pengaruh yang diberikan Ombudsman dalam bentuk rekomendasi akan memiliki kekuatan bila dilandasi aturan hukum yang jelas.
Aturan hukum yang menunjang kinerja Ombudsman harus segera direalisasikan untuk menjamin kepastian hukum bagi setiap langkah yang ditempuh Ombudsman dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Jika dimungkinkan untuk dilakukan Amandemen V UUD 1945, keberadaan Komisi Ombudsman Nasional layak dimasukkan ke dalamnya.Mungkin ini baiknya digabungkan ke badan artikel sebagai bagian "Kritik" -- IvanLanin (http://id.wikipedia.org/wiki/Pembicaraan:Komisi_Ombudsman_Nasional")

1 comment:

David Pangemanan said...

INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Sungguh ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung dibawah 'dokumen dan rahasia negara'. Lihat saja statemen KAI bahwa hukum negara ini berdiri diatas pondasi suap. Sayangnya moral sebagian hakim negara ini terlampau jauh terpuruk sesat dalam kebejatan.
Quo vadis Hukum Indonesia?

David
(0274)9345675