Tuesday, August 7, 2007

RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik

Keinginan masyarakat yang menghendaki payung hukum dalam memperoleh informasi makin terasa. Berbeda dengan pada awal tahun 2000, tidak hanya kurang dukungan, tingkat pemahaman akan arti pentingnya suatu pengaturan dalam bentuk Undang-undang (UU) untuk mengakses informasi secara mudah juga terlihat minim. Pada awal September 2006 kemarin, sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam koalisi kebebasan informasi (KKI) mendesak komisi pertahanan DPR RI segera menyelesaikan pembahasan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP).
RUU KMIP ini merupakan inisiatif DPR. Dalam perjalanannya, sebagaimana ditulis koran ini, pembahasan RUU KMIP dinilai lamban. Sebab, hingga pembahasan ke-5 pada tanggal 4 September 2006 lalu, baru sekitar 54 dari 334 daftar inventarisasi masalah (DIM) yang berhasil dibahas DPR dan pemerintah (Seputar Indonesia, 23/09/06). Pentingnya keberadaan aturan hukum dalam KMIP selain menjamin kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses informasi, adalah untuk menciptakan suatu pemerintahan yang demokratis. Hal yang mustahil tanpa adanya jaminan tersebut suatu pemerintahan akan menjadi demokratis.
Adalah suatu cara pemikiran lihai sekaligus menyesatkan, bahwa dalam suatu pemerintahan demokratis, kebebasan memperoleh informasi sangat dibatasi. Padahal kebebasan memperoleh informasi publik (KMIP) merupakan pengejawentahan pemerintah demokratis yakni asas keterbukaan dan asas akuntabilitas yang menyangkut partisipasi (publik) dan transparansi. Bahkan akses masyarakat dalam memperoleh informasi merupakan HAM yang diatur dalam konstitusi (Pasal 28F UUD 1945) maupun instrumen HAM internasional pada article 19 Universal Declaration of Human Rights.
Kendati demikian, KMIP terasa sangat dibatasi oleh adanya Rahasia Negara (RN). Alasan legalnya, hak atas mengakses informasi sebagai salah satu wujud penghargaan HAM, tidak serta merta berlaku secara mutlak dan konstitusional. Suatu kebebasan tetap ada batasannya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 28J UUD 1945 dan Article 29 Universal Declaration of Human Rights. Dalam perkembangannya, pemerintah melalui Departemen Pertahanan tetap getol melanjutkan niatannya untuk mengesahkan RUU RN. Malahan sampai keluar Kepres tentang pembahasan RUU RN.

Legal Drafting
Saat ini dua hal yang berbeda itu sedang dibahas dan masih dalam bentuk draf rancangan Undang-undang (RUU). Terlepas dari perbedaan diatas, perlu diacungi jempol terhadap mereka yang ditugasi membuat RUU RN (baca: legal drafter). Melihat substansi RUU RN beserta penjelasannya memang reasonable akan adanya kebijakan yang mengatur tentang apa dan bagaimana duduk perkara dari suatu RN agar tidak menjadi rahasia umum atapun bukan rahasia lagi. Pendeknya, nyaris sempurna proses pembuatan RUU (legal drafting) RN.
(Mungkin) untuk pertama kalinya, minimal jarang, sepanjang pengamatan saya—semoga tidak salah—landasan yuridis suatu RUU kurang dominan dibandingkan dengan landasan filosofis dan sosiologis, sebagaimana yang terjadi pada RUU RN. Dibandingkan RUU lain (misal RUU/UU tentang Pemerintahan Daerah), RUU RN sangat minim landasan yuridisnya. Padahal selama ini suatu RUU galibnya tidak demikian, namun bukan berarti salah.
Landasan filosofis merupakan ide atau gagasan yang sarat nilai-nilai moral, etika dan kebenaran yang dikehendaki masyarakat. Sementara landasan sosiologis adalah segala hal yang menyangkut kebutuhan dan keadaan masyarakat. Adapun landasan yuridis berpijak pada peraturan perundangan yang merupakan dasar hukum ataupun raison d’etre peraturan yang baru baik bersifat formal (kewenangan) maupun material (substansi yang diatur). Namun, dalam merumuskan suatu peraturan tidak jarang terjebak pada konflik kepentingan karena adanya perbedaan latar belakang. Seyogyanya, para legal drafter berlaku obyektif dalam merumuskan suatu kebijakan yang mengatur kepentingan publik.
Memimjam analisis van Apeldoorn, isi peraturan perundangan sejatinya adalah hasil terakhir dari pertikaian antara pelbagai kekuatan, seperti ekonomis, politik, cendikiawan yang ada dimasyarakat. Singkat kalimat, undang-undang adalah: un traitĕ de paix entre des forces rivales. Tanpa itu, cepat atau lambat justru akan membentuk pemerintahan totalitarianisme, dimana penyelenggara negara dengan mudahnya mengorbankan kepentingan orang banyak.
Ancaman Demokrasi
Sekalipun landasan filosofis dan sosiologis dalam RUU RN lebih dominan dengan mengedepankan maximum access limited exemtion, tapi bukan berarti dapat diterima khalayak. Sebaliknya, (akan) mengandung tingkat resistensi yang besar. Kelak RUU RN
yang tanpa mengalami revisi dan disahkankan menjadi UU, dapat dipastikan akses masyarakat atas informasi secara baik dan benar sedikit banyaknya akan terhalang.
Padahal KMIP adalah salah satu perangkat bagi masyarakat untuk melakukan check and balance. Sebab, masyarakat berhak melakukan pengawasan eksternal. Hak masyarakat untuk mengawasi pemerintahan dengan asumsi bahwa mereka yang duduk dipemerintahan karena mandat dari rakyat pada saat pemilu. Dengan kata lain, kekuasaan pemerintahan berasal dari rakyat. Maka sudah sewajarnya apabila penyelenggaraan pemerintahan haruslah selalu dipertanggung jawabkan kembali kepada rakyat salah satu caranya melalui pintu KMIP.
Dalam draf RUU RN bertanggal 24 Februari 2006, RN meliputi ruang lingkup: a) pertahanan dan keamanan Negara; b). hubungan internasional; c). proses penegakan hukum; d). ketahanan ekonomi nasional; e) sistem persandian Negara; f). sistem intelejen Negara, dan; g). asset vital Negara (Pasal 5 RUU RN). Diantara ketujuh ruang lingkup tersebut, yang bakal paling menuai masalah ialah ruang lingkup proses penegakan hukum. Apabila untuk kasus tertentu misalkan terorisme, mungkin dapat dibenarkan. Atau masalah hubungan internasional, seperti penguasaan pulau Ambalat antara Indonesia-Malaysia, apabila dibeberkan seluruhnya akan merugikan pemerintah Indonesia.
Tetapi, apabila menyangkut masalah korupsi justru menjadi ancaman bagi eksistensi pemerintahan demokratis yang kelak hanya menjadi slogan semata. Alhasil, praktik diskriminasi hukum akan terjadi dimana good governance dan prinsip equality before the law akan sulit diwujudkan. Padahal, negara ini belum sembuh atau masih sekarat terhadap penyakit KKN. Jelas sangat sulit dengan masuknya proses penegakan hukum dalam ruang lingkup RN dalam membasmi para koruptor. Ataupun berkenaan dengan laporan pentaluran dana ke publik. Misalkan saja, penyaluran bantuan operasional sekolah (BOS) oleh Depdiknas. Jika sudah ada aturan hukum tentang KMIP maka kewajiban pemerintah untuk menyampaikan kepada publik tentang sejauh mana keefektifan dari penyaluran dana tersebut.
Selain itu, kasus pelanggaran HAM juga akan sulit dituntaskan secara adil. Sangat boleh jadi, dengan alasan RN yang akan membahayakan negara, proses penegakan hukum terhadap korupsi dan pelanggaran HAM menjadi jalan ditempat. Kekhawatiran terhadap pengaturan RN justru hanya akan melindungi pejabat publik dari perbuatan menyimpang yang dilakukan.
Anehnya, semula pemerintah merasa keberatan jika dalam RUU KMIP badan publik diwajibkan menyampaikan jawaban secara tertulis apabila menolak memberikan informasi kepada pihak yang membutuhkan. Untungnya, pemerintah kini menyetujui. Tentunya jika pemerintah menolaknya, maka perbuatan ini telah menempatkan pemerintah sebagai diktator (lihat Harold J. Cross, 1953).

KMIP Di Negara Lain
Menghalang-halangi KMIP sama artinya memelihara kebenaran semu yang cepat atau lambat niscaya punah dan tidak ada alasan tepat untuk menghambat KMIP yang dibatasi dengan selimut UU RN. Pada awalnya ini akan berhasil menghambat KMIP setelah gagal mengahambat kebebasan pers, namun keinginan masyarakat yang menghendaki KMIP bukan orang per orang ataupun kelompok, melainkan kian meluas karena KMIP sudah merupakan kebutuhan dasar setiap warga negara sejak ratusan tahun lalu.
Sejarah perkembangan the right to know pertama kali adalah dikawasan Skandinavia, yakni Swedia. Meski tidak diatur secara khusus dalam UU, hak masyarakat dalam memperoleh informasi termuat dalam the Freedom of the Press Act tahun 1766. Dibandingkan Amerika dengan Freedom of Information Act tahun 1966, maupun Inggris yang diperjuangkan sejak tahun 1911 dan baru menuai hasil dengan terbitnya Freedom of Information Act pada November 2000, Swedia lah yang mengawali terlebih dulu.
Di swedia, akses masyarakat dalam memperoleh informasi telah dijamin dalam hukum dasarnya (fundamental law), terutama tiga dari empat hukum dasar Swedia, yakni UU Instrumen Pemerintah (the Instrument of Government); UU Kebebasan Pers (the Freedom of the Press Act), dan; UU Kebebasan Berekspresi (the Law on Freedom of Expression). Dalam Pasal 2 UU Instrumen Pemerintah Swedia disebutkan, Freedom of information: that is, the freedom to procure and receive information and otherwise acquaint oneself with the utterances of others.
Untuk menjamin pelaksanaan hukum dasar tersebut, termasuk KMIP, ditugaskan oleh tiga lembaga sebagai instrumen pengawasan hukum dasar (the Guardian of the Fundamental Laws) masing-masing: Komite Konstitusi (Committee on the Constitution); Ombudsman Parlemen (Rijksdagens Ombudsman), dan; Chancellor of Justice (Justitie Kanslern). Tugas Riksdagens Ombudsman selain mengawasi penyelenggara negara, juga menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat terhadap akses informasi, sama seperti di Inggris, Ombudsman nya berwenang mengawasi pelaksanaan akses informasi berdasarkan code of practise.

Pengawasan KMIP
Indonesia sendiri sudah memiliki Ombudsman yang sering disebut dengan Komisi Ombudsman Nasional (KON). Dalam perjalananya selama 6 tahun berdiri, secara khusus KON belum pernah menerima pengaduan masyarakat mengenai akses informasi yang tidak diberikan oleh penyelenggara negara. Menurut ketua KON, Antonius Sujata, beberapa jenis pelayanan informasi yang banyak dikeluhkan masyarakat melalui KON adalah, tidak tersedianya informasi yang tepat, keterlambatan memperoleh informasi, jaminan kerahasiaan informasi pribadi, Ketidakkonsistenan pejabat dalam memberikan informasi, dan penyampaian dokumen informasi dengan waktu yang tidak patut.
Meskipun dimungkinkan bagi KON untuk menindaklanjuti pengaduan masyarakat terhadap KMIP, tetapi ini sebenarnya masih berada diwilayah grey area. Pasalnya KON yang terbentuk berdasarkan Keppres No.44 tahun 2000 belum mengaturnya. Tambah lagi, RUU Ombudsman Republik Indonesia (RUU ORI) tidak mengatur secara tegas berwenang tidaknya KON mengawasi pelaksanaan KMIP dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat atas akses informasi sebagaimana yang dilakukan oleh Riksdagens Ombudsman maupun Ombudsman Inggris.
Sementara itu, dalam perkembangan pembahasan RUU KMIP terakhir, pemerintah menolak membentuk komisi khusus yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa tentang hak setiap orang atas informasi. Padahal dalam RUU KMIP telah secara tegas menghendaki adanya suatu lembaga idependen yang berfungsi menyelesaikan seneketa melalui mediasi dan/atau ajudikasi. Apabila pemerintah tetap tidak menyetujui dibentuknya komisi informasi karena keterbatasan anggaran ataupun alas an lainnya, sebenarnya KON dapat juga melakukan pengawasan dan sanksi terhadap pelaksanaan KMIP apabila KON diberi kewenangan tambahan.
Kiranya sebelum disahkan menjadi UU, dalam RUU KMIP perlu mempertegas pengawasan terhadap pelaksanaan akses masyarakat untuk memperoleh informasi dari penyelenggara negara atau pejabat publik. Selain itu, perlu pembatasan terhadap apa saja yang menjadi rahasia negara agar jangan sampai dengan alasan rahasia negara maka badan publik tidak memberikan informasi secara benar dan melindungi para pelaku pelanggaran HAM.
Yang menjadi keraguan penulis, sekalipun KMIP sudah diakomodasi dalam bentuk UU, namun dalam pelaksanaan besar kemungkinan akan bermasalah. Sebab antara KMIP dan RN ibarat sekeping mata uang logam bernama “demokrasi” yang memiliki dua sisi. Pastinya, penulis berharap keraguan tersebut tidak benar.………RMKDN……… Selengkapnya...

Wednesday, May 2, 2007

Menunggu Sebuah Jawaban;(Atas Judicial Review Perpres 36/2005)

Menunggu Sebuah Jawaban
(Atas Judicial Review Perpres 36/2005)

Oleh : RM Kurniawan Desiarto

Pada tanggal 11 Juli 2005 lalu, ratusan orang yang tergabung dalam Barisan Anti Penggusuran (Bagus) yang terdiri dari para praktisi hukum, anggota dewan, akademisi, mahasiswa dan berbagai ornop di Yogyakarta melakukan aksi unjuk rasa menolak penggusuran berkumpul di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta. Mereka memprotes kebijakan pemerintah yang menerbitkan Perpres 36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Bersamaan dengan aksi itu, Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP)—mungkin yang pertama kalinya di Indonesia—melayangkan gugatan judicial review/JR (hak uji materiil) terhadap Perpres pembebasan tanah. Berkas pengajuan JR tercatat di PN Yogya Nomor 01.P/HUM/2005/PN Yk bertanggal 11 Juli 2005. Namun, setelah tiga bulan sampai detik ini belum ada keputusan hukum tetap dari Mahkamah Agung (MA) terhadap gugatan JR tersebut.

Dasar Hukum JR

Adapun dasar hukum JR yang diajukan oleh SPHP yakni, Pertama, Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945, MA berwenang mengadili tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

Kedua,Pasal 11 ayat (2) huruf b UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Hak uji ini dapat dilakukan baik terhadap materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari peraturan per-UUan dengan peraturan yang lebih tinggi maupun terhadap pembatalannya.

Ketiga, Pasal 31 ayat (1), (2), (3) UU No.5 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang MA. Ayat (1), MA mempunyai wewenang menguji peraturan per-UUan dibawah UU terhadap UU; Ayat (2), MA menyatakan tidak sah peraturan per-UU-an atas alas an bertentangan dengan peraturan per-UUan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; Ayat (3), Putusan mengenai tidak sahnya peraturan per-UUan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada MA.

Keempat, ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jo. Pasal 3 TAP MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Per-UUan. Merujuk pada ketentuan ini, maka kewenangan MA dalam hal hak uji materiil adalah Peraturan Pemerintah, Perpres, dan Perda.

Kelima, Peraturan MA (Perma) Republik Indonesia No.1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil.

Keenam,Bahwa permohonan keberatan ini masih dalam kurun waktu 180 hari sejak ditetapkannya Perpres 36/2005 pada tanggal 3 Mei 2005.

Hal Krusial

Dengan berlakunya Perpres ini maka, Keppres No.55/1993 yang mengatur hal yang sama, pada dasarnya telah tergantikan posisinya. Meski dalam ketentuan Perpres itu disebutkan sepanjang tidak bertentangan, maka Keppres 55/1993 masih diberlakukan. Ini terlihat dari Pasal yang ada dalam Perpres tersebut membatasi musyawarah dalam kurun waktu yang terbatas, tidak lebih dari 90 hari. Sementara dalam Keppres tidak disebutkan.

Mencermati substansi Perpres, sebenarnya terdapat tiga hal krusial yang menimbulkan keresahan dikalangan masyarakat yakni, Pertama, definisi kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Padahal, definisi kepentingan umum dalam Keppres diartikan sebagai kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Sehingga, sebagaimana yang disebutkan dalam JR SPHP, rumusan ini terlalu summier yang bermakna “50+1>49” sudah merupakan kepentingan umum.

Kedua, Perpres 36/2005 tidak menyebutkan bahwa pembangunan bukan diperuntukkan untuk mencari keuntungan. Dalam Keppres 55/1993 dijelaskan, pembangunan untuk kepentingan umum dibatasi untuk kegiatan pembangunan dan dimiliki pemerintah serta tidak digunakan mencari keuntungan. Dalam praktiknya kemarin, Keppres ini ditengarai dipakai untuk mencari keuntungan.

Dengan tidak disyaratkannya pembangunan harus dilakukan tidak untuk mencari keuntungan, kuat dugaan akan terjadi sebaliknya. Dalam bahasa hukumnya, selama tidak disebutkan demikian, maka pembangunan dapat juga berorientasi mengeruk keuntungan karena tidak ada pelarangan. Artinya, sah-sah saja jika pembangunan dilakukan untuk mengeruk keuntungan dengan dalih ‘kepentingan umum’.

Ketiga, menyangkut besarnya ganti rugi dan penitipan ganti rugi pada PN. Ini dilakukan apabila apabila musyawarah dalam kurun waktu 90 hari tidak ada kata sepakat, seperti yang dilakukan Pemkab Tangerang yang akan menitipkan uang ganti rugi pembebasan lahan fly over Ciputat kepada PN Tangerang melalui surat penetapan konsinyasi No.02/pen.tdp.consig/2005/PN Tangerang bertanggal 6 September 2005.

Padahal, yang namanya ganti rugi terlebih dulu ada kesepakatan, termasuk dalam hal melepaskan hak atas tanah. Lebih lanjut, dalam JR SPHP disebutkan, hal ini sangat bertentangan dengan pengaturan konsinyasi dalam Pasal 1404 sampai Pasal 1412 KUHPerdata. Konsinyasi merupakan salah satu bentuk hapusnya perikatan. Dengan demikian setiap konsinyasi harus didahului adanya perikatan. Padahal disini tidak ada perikatan antara pihak yang akan melepaskan dengan pihak yang akan dilepaskan haknya. Dan konsinyasi hanya dapat dikatakan sah apabila ada penetapan dari PN. Konsinyasi ala Perpres 36/2005 merupakan konsinyasi model baru yang tidak memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat karena mengandung unsur pemaksaan.

Prediksi

Apabila melihat dua peraturan per-UUan yang juga mengatur tentang sumber daya alam yakni, Perpu No.1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No.1 Tahun 2004 tentang Kehutanan (Perpu Kehutanan) dan UU No.7 tentang Sumber Daya Air yang sama-sama ditolak JR nya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pertanyaannya, bagaimana dengan keputusan MA atas JR Perpres 36/2005 yang diajukan oleh SPHP?

Yang pasti, penolakan JR oleh MK merupakan pukulan telak bagi masyarakat dan pegiat ornop. Dan merupakan bukti bahwa pemerintah bersikap lebih bersahabat terhadap para investor (investor friendly) ketimbang memperhatikan masyarakat. Sedangkan keberadaan Perpres tersebut tampak sekali keberpihakannya kepada pemodal besar dimana pemerintah nyaris tak berdaya. Oleh sejumlah kiai NU yang menggelar pertemuan di ponpes Pandanaran, Sleman, Jogjakarta (10/07) secara tegas menyatakan Perpres 36/2005 adalah haram hukumnya.

Paling tidak, ini membuktikan kebenaran dari thesisnya John Perkins dalam Confession of An Economic Hit Man (2004) yang mengatakan jaringan pemodal besar senantiasa menekan pemerintah negara berkembang untuk menuruti kemauannya termasuk dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam.

Alih-alih sudah bisa ditebak apa keputusan MA atas JR Perpres tersebut. Logikanya, peraturan yang lebih tinggi saja dapat dengan mudah ditolak, apalagi peraturan yang sebatas Perpres. Tanpa bermaksud mengecilkan peran MA yang berwenang menguji secara materiil, diharapkan keputusan MA atas JR Perpres 36/2005 lebih mempertimbangkan aspek yuridis-sosiologisnya dan jangan sampai mengabaikan rasa keadilan dimasyarakat. Sebagaimana pameo dari SPHP dengan menggunakan bahasa latin, Quid Ius Sine Justitia, Apalah artinya hukum apabila tanpa keadilan.



Selengkapnya...

Tuesday, May 1, 2007

Menjadikan Pelayanan Publik Sebagai Hak Masyarakat

Dimuat di: Harian Seputar Indonesia,17 Juni 2006


Menjadikan Pelayanan Publik Sebagai Hak Masyarakat

Oleh: RM Kurniawan Desiarto

Tidak kurang dari 60 tahun negara ini merdeka, bertujuan diantaranya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Cita-cita yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 adalah (sangat) mulia. Lantaran saking mulia dan sudah berpuluh-puluh tahun, sampai-sampai penyelenggara negara nyaris lupa untuk mewujudkannya kedalam bentuk pelayanan publik (yang baik).

Baru ingat pada tahun 2004, yang dicanangkan sebagai tahun peningkatan pelayanan publik. Semenjak itu maka aturan main dalam pelayanan publik mulai digagas ke dalam bentuk Undang-undang Pelayanan Publik yang kini tengah dibahas dan berbentuk RUU. Sekalipun terlambat, tapi bukan berarti tidak sama sekali, niatan pemerintah untuk mewujudkan pelayanan publik yang baik perlu ditanggapi secara apresiatif.

Birokrasi Tidak Bersahabat

Sudah lumrah bahwa pelayanan publik di Indonesia jauh dari memuaskan, untuk tidak menyebut buruk. Perlu diketahui, penyebab terjadinya pelayanan publik yang kurang/tidak memuaskan ini adalah orang-orang yang berada dalam sistem secara fungsional bertugas melayani masyarakat yang dalam hal ini adalah birokrat pelayan publik. Citra negatif birokrasi pelayanan publik sudah sedemikian melekat dimata masyarakat.

Slogan miring sering bermunculan, seperti, “Jika bisa bayar mengapa harus gratis, jika bisa dipersulit mengapa dipermudah, jika bisa diperlama mengapa dipercepat”. Masyarakat yang mustinya sebagai subyek justru menjadi obyek dari pelayanan. Bahkan (terkadang) menjadi sapi perahan oleh aparat pelayanan publik. Ini semakin mempertegas bahwa birokrasi pelayanan publik tidak bersahabat.

Birokrasi yang seharusnya mempermudah urusan pelayanan publik justru mempersulit masyarakat selaku penerima layanan. Karena tidak transparan dan ditunjang sikap tidak profesional serta SDM yang kurang memadai semakin menjauh dar visi dan misi pelayanan publik. Tidak sedikit aparat/pejabat pelayanan publik yang mengutip—ketimbang menyebut pungli—sejumlah uang dari penerima layanan yang melebihi biaya resmi.

Malah terkadang dalam pemberian layanan yang semestinya cuma-cuma, ternyata dikenakan biaya. Dengan alasan, sebagai ganti biaya administrasi. Wow!. Padahal, semua itu sudah menjadi tanggungan negara, sama halnya dengan gaji aparat/pejabat pelayanan publik yang ditanggung negara. Tapi apa lacur, dengan kata ‘seikhlasnya’, si penerima layanan yang sedang terburu-buru yang kebetulan membawa cukup uang, sedangkan aparatnya doyan sekaligus berharap duit. Maka klop lah sudah. Hanya dalam beberapa kerjapan mata serah terima uang selesai.

Selebihnya, senyum kebahagiaan dari aparat/petugas pelayanan publik jika mendapat angpau yang jumlahnya lumayan besar. Sebaliknya, jika angpau kecil akan diganjar secara kontan dengan pelototan mata yang angker tanpa bisa membatalkan pelayanan publik yang sudah diberikan.

Hak Masyarakat

Sebenarnya ada dua penyebab mengapa birokrasi pelayanan publik tidak bersahabat. Pertama, belum terbentuknya sistem birokrasi yang rasional, melainkan masih melanggengkan budaya kolonial dan beraroma KKN. Menurut Blau dan Meyer (terj.1987), birokrasi merupakan lembaga yang sangat berkuasa, memiliki kemampuan besar untuk berbuat kebaikan ataupun keburukan. Masalah yang dihadapi masyarakat (demokratis) adalah bagaimana memperoleh dan mempertahankan pengawasan demokrasi terhadap birokrasi agar dapat bekerja demi kepentingan publik.

Kedua, belum adanya aturan main birokrasi pelayanan publik yang jelas dan aturan main yang setingkat dengan undang-undang. Selama ini aturan main hanya sebatas Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (SK Menpan). Itupun hanya kalangan internal lembaga dan tidak diketahui masyarakat luas.

Berbeda jika aturan main terhadap (birokrasi) pelayanan publik diatur dengan undang-undang. Dus, dalam pelayanan publik selain terdapat asas dan prinsipnya serta kepastian dan tepat waktu, yang terpenting adalah masyarakat dapat mengetahuinya. Tetapi fenomena yang kerap terjadi adalah aparat pelayanan publik tampak terbebani dengan adanya masyarakat yang membutuhkan pelayanan publik. Seakan mereka orang terpenting dimuka bumi ini ketika masyarakat mendatanginya.

Dalam RUU Pelayanan Publik draft VIII bertanggal 17/02/05 yang menjadi pijakan hukumnya yakni Pasal 34 ayat (3) UUD 1945. Sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi disebutkan, Negara bertanggung jawab atas penyedia fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Karena merupakan tanggung jawab negara, maka artinya pelayanan publik yang baik merupakan hak masyarakat untuk medapatkannya. Sebaliknya merupakan kewajiban negara untuk memenuhi pelayanan pelayanan publik yang baik, siapapun yang duduk dalam pemerintahan. Pelayanan publik yang baik merupakan perwujudan dari adanya kesejahteraan umum, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 sejak enam puluh tahun lalu.

Diakuinya hak masyarakat dalam mengakses dan menerima pelayanan publik yang baik dalam konstitusi ialah suatu keniscayaan dalam pemerintahan yang demokratis. Dimana dalam RUU Pelayanan Publik yang kelak menjadi UU Pelayanan Publik merupakan aturan main yang baku dan harus dilaksanakan oleh oleh aparat pelayanan publik dalam rangka mewujudkan good governance di Indonesia.

Lebih jauh, karena merupakan hak masyarakat maka pelayanan publik tidak boleh bersifat diskriminatif yaitu meniadakan perbedaan suku, agama, status sosial, dan sebagainya. Tidak ada alasan yang kuat bagi aparat pelayanan publik untuk bersikap tidak baik berupa menunda-nunda pelayanan (undue delay), tidak ada kejelasan, tidak ada kepastian, tidak bertanggung jawab dan diskriminatif.

Pengawasan Pelayanan Publik

Sumber daya manusia yang kurang memadai, birokrasi yang belum berjalan sebagimana mestinya dan tanpa dukungan sarana-prasarana telah menegasikan hak masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik. Masyarakat kerap di ping-pong ataupun diperas dengan alasan se-ikhlasnya untuk mengganti biaya administrasi yang jelas-jelas sudah ditanggung negara ketika sedang membutuhkan pelayanan publik.

Untuk dapat merubah sikap atau perlaku dari aparat pelayanan publik yang merugikan masyarakat maka diperlukan pengawasan. Selama ini pengawasan terhadap pelayanan publik hanya dilakukan secara internal ke lembagaan dan cenderung tidak memperbaiki atau meningkatkan kualitas pelayanan publik. Sejalan dengan asas umum penyelenggaraan pelayanan publik yang baik bersifat partisipatif, maka pengawasan dengan jalan melibatkan peran serta masyarakat.

Peningkatan kualitas pelayanan publik agar menjadi baik dengan cara melakukan pengawasan terhadap aparat pelayanan publik telah terakomodir dalam RUU tersebut. Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan dengan dua jalan, pertama pengawasan intern, yang dilakukan oleh atasan dan oleh aparat pengawasan fungsional. Kedua, pengawas ekstern yang dilakukan oleh masyarakat secara langsung dan pengawasan yang dilakukan oleh Ombudsman untuk memberikan perlindungan hak-hak masyarakat, keadilan dan kesejahteraan dalam memperoleh pelayanan publik yang baik.

Perlunya pengawasan terhadap pelayanan publik adalah agar terpenuhinya hak masyarakat dalam mengakses pelayanan publik. Tanpa adanya pengawasan ekstern sangat sulit untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik. Sebab, selama ini aparat pelayanan publik tidak sedikit yang masih belum memahami tugas dan pengabdiannya dalam memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat.



RM Kurniawan Desiarto pendiri Institue of Law, Human Rights and Democracy (ILHAD) dan asisten Ombudsman Nasional di Komisi Ombudsman Nasional.

Selengkapnya...

Saturday, April 28, 2007

Upah Buruh di Tengah Krisis

Kompas, Selasa, 30 April 2002

Peringatan Hari Buruh Sedunia di Era Otonomi Daerah

Upah Buruh di Tengah Krisis

Oleh Kurniawan Desiarto

MARAKNYA aksi protes kaum buruh di era reformasi mengalami eskalasi sangat tajam. Secara kuantitas perlawan-an buruh begitu masif, terutama sejak tahun 1998. Menurut Ditjen Binawas Depnaker, tahun itu tercatat lebih dari 600 kasus pemogokan buruh. Tentu saja kita dapat memahami ini bila melihat kondisi buruh secara riil. Mereka dituntut survive dengan upah rendah di tengah meroketnya harga-harga kebutuhan pokok dan dihapusnya berbagai subsidi sosial.

Sementara itu, pihak pengusaha keberatan atas tuntutan buruh karena biaya produksi yang dikeluarkan tinggi. Pasalnya, perusahaan dalam penyediaan bahan baku kebanyakan memperolehnya dengan mengimpor, dengan demikian harus selalu mengikuti fluktuasi kurs dollar. Sementara pasar produksinya sebagian untuk pasokan dalam negeri. Hal lain yang mempengaruhi biaya produksi adalah naiknya bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik.

Di sisi lain pemerintah pun memiliki masalah cukup berat yang harus segera ditangani. Beban utang menumpuk, ancaman relokasi industri oleh pengusaha, pengangguran yang telah mencapai angka 40 juta orang di tengah peningkatan angkatan kerja sekitar tiga persen per tahun dari 220 juta penduduk Indonesia, serta tidak sebandingnya antara tingkat pertumbuhan ekonomi yang hanya 3,5 persen dengan tingkat inflasi sekitar 13 persen di tahun 2001, merupakan permasalahan konkret yang dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah di bidang perburuhan.

Akan tetapi, itu semua bukan berarti mengorbankan hak-hak dan kepentingan buruh dalam meningkatkan kesejahteraan hidup, tuntutan manusia atas penghidupan layak sejalan dengan deklarasi HAM universal. Pada masa pemerintahan Orde Baru diterapkan hubungan industrial Pancasila (HIP)-sebuah upaya membangun hubungan kemitraan berdasarkan asas kekeluargaan untuk mengikat buruh dengan dalih kesetiaan pada ideologi-tetapi telah mengebiri hak-hak buruh. Mekanisme HIP kemudian menghasilkan intervensi pada pola hubungan yang bersifat represif dan sistematis. Akibatnya, buruh tidak mempunyai alat perjuangan yang signifikan, yaitu sebuah organisasi idependen yang lepas dari campur tangan pemerintah dan kontrol militer dalam memperjuangkan hak-haknya di bidang ekonomi, politik, dan hukum.

Politik pengupahan yang diterapkan rezim Orde Baru pun sangat jauh dari rasa keadilan. Hal ini juga diungkapkan Munir. Dia menyatakan, upah bukan lagi ditentukan oleh hasil kerja dan kuatnya industri, tetapi menjadi semacam hubungan karitatif pengusaha terhadap buruhnya. Konsep nilai kerja yang dalam logika ekonomi berkedudukan simetris dengan hasil, menjadi nilai kerja yang tak bermakna (YLBHI; 1999). Bahkan, sejak tahun 1969 lembaga bernama Dewan Penelitian dan Pengupahan Nasional (DPPN) dan Dewan Penelitian dan Pengupahan Daerah (DPPD) berwenang menentukan tingkat upah buruh tanpa didasarkan pada hukum permintaan-penawaran tenaga kerja di pasar. (Kompas, 13/01/2002)

Pelanggaran HAM

Memang tidak berlebihan bila pelanggaran hak buruh juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Pada dasarnya istilah buruh hanya sebuah "predikat", selebihnya dia adalah seorang manusia yang mempunyai hak dasar yang harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh siapa pun dan dipandang sebagai subyek hukum nasional maupun internasional.

Pelanggaran hak buruh bukan saja menyangkut kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, serta penghidupan yang layak, melainkan lebih-lebih lagi pada keadilan secara luas dan merata dalam pembagian hasil proses produksi. Sejalan dengan itu, dalam pernyataan umum tentang HAM dinyatakan dengan tegas: setiap orang yang bekerja berhak atas pengupahan yang adil dan menguntungkan, yang memberikan jaminan kehidupan yang bermartabat baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, dan jika perlu ditambah dengan perlindungan sosial lainnya (Pasal 23 Ayat 4).

Fenomena buruh saat ini tampak jelas bertentangan dengan pernyataan tersebut. Untuk dirinya sendiri saja dengan kebutuhan fisik minimum (KFM), yang masih di bawah standar, dia tidak cukup, lantas bagaimana dengan jaminan hidup untuk keluarganya?

Perlindungan atas HAM, terutama pada generasi kedua, menggagas tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya yang begitu luas dari segi pengertian dan lingkupnya. Dalam Piagam Ekonomi Internasional dinyatakan bahwa setiap orang mempunyai: 1) hak atas pangan yang memadai, sandang dan perumahan yang layak; 2) hak atas kebebasan dari kelaparan; 3) hak untuk memperoleh pemenuhan standar kesehatan jasmani dan rohani yang setinggi-tingginya.

Kendati Indonesia belum meratifikasi Kovenan tahun 1976 tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, bukan berarti mengabaikan hak-hak tersebut. Hak-hak tersebut secara normatif telah diatur dalam konstitusi negara kita, terutama pada perubahan kedua UUD 1945 Pasal 28D.

Dengan begitu, maka sesungguhnya persoalan buruh terhadap hak-haknya yang dilanggar bukan sebatas persoalan antara buruh dengan pengusaha semata. Hal tersebut telah menjadi persoalan setiap manusia, dan negara harus mampu menangani permasalahan ini dengan bijaksana. Karena pada negaralah dibebankan seluruh tanggung jawab untuk mengatur dan menjamin hak ekonomi, sosial, dan budaya secara adil. Sudah sepatutnya bila pelanggaran terhadap hak buruh ditempatkan dalam kategori pelanggaran HAM.

Otonomi daerah

Sejak diundangkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan mulai berlaku efektif mulai 1 Januari 2001-lebih dikenal sebagai UU Otonomi Daerah (UU Otda)-maka selanjutnya seluruh kewenangan pemerintah yang semula dimiliki pusat (sentralisasi) dialihkan ke daerah (desentralisasi). Pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan daerahnya atas prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat dan dilakukan gubernur sebagai wakil pemerintah atau perangkat pusat di daerah (dekonsentrasi).

Sebagai langkah konkret dalam mengatur kewenangan daerah untuk mengurus rumah tangganya, dikeluarkanlah implementasi dari UU Otda tersebut, yaitu PP No 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Di situ ditetapkan pemerintah daerah berwenang untuk menetapkan dan mengawasi atas pelaksanaan upah minimum (Pasal 3 Ayat 5 Butir 8). Dengan demikian segala kebijakan mengenai penetapan upah minimum dan pengawasannya tidak lagi dilakukan pemerintah pusat, melainkan oleh pemerintah daerah menurut jenis pekerjaan dan daerah di mana pekerja melakukan aktivitasnya.

Ternyata penerapan di lapangan tidak seperti yang diharapkan. Sejak dibubarkannya Kanwil Depnaker dan diganti oleh Dinas Ketenagakerjaan yang menjadi bagian dari pemerintah daerah, justru terjadi kerancuan. Pengawasan yang dilihat sebagai fungsi basah dipegang oleh orang-orang yang tidak adil dan cenderung memeras pengusaha. (Kompas, 29/7/2001). Bahkan, pejabat di daerah tidak segan-segan memberlakukan aturan yang tidak masuk akal, dengan cara membuat peraturan daerah untuk menarik retribusi sebanyak mungkin di luar urusan produksi, meliputi biaya keamanan dan pemeliharaan jalan, air tanah, sampah sampai ke urusan administrasi kelurahan dan penerangan jalan umum dengan dalih otonomi daerah. (Kompas, 5/11/2001)

Masalah lain ketenagakerjaan berkaitan kewenangan pemerintah pusat di bidang ketenagakerjaan secara makro yang menyangkut penetapan kebijakan hubungan industrial, perlindungan pekerja, dan jaminan sosial pekerja (Pasal 2 Ayat 3 Butir 9) adalah keluarnya draf RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (RUU PPHI). RUU ini mencabut sekaligus mengganti UU No 22/1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU No 12/1964 tentang PHK di Perusahaan Swasta, yang rencananya akan diundangkan pada tahun 2001 lalu. Sampai sekarang RUU itu masih dibahas di DPR. (Kompas, 28/3/ 2002) Sejak digulirkan RUU PPHI ini banyak menimbulkan perdebatan di berbagai kalangan.

Salah satu sebabnya adalah pembahasan RUU tersebut dilakukan tanpa menyertakan serikat buruh dan stakeholders perburuhan lain di samping substansi dari RUU PPHI itu sangat merugikan buruh. Dalam RUU PPHI PHK menjadi wewenang mutlak pengusaha, bandingkan dengan UU No 12/ 1964, pengusaha harus minta izin ke P4D atau P4P bila hendak melakukan PHK. Paling fatal RUU PPHI telah mengebiri hak asasi buruh untuk berserikat, berunding, dan mogok. Padahal, hak mogok adalah hak asasi buruh yang sejalan dengan hak berserikat sesuai dengan konvensi ILO No 87 yang sudah diratifikasi pemerintah pada masa pemerintahan Habibie awal Juni 1998.

Melalui peringatan hari buruh sedunia ini diharapkan era otonomi daerah adalah dimulainya hubungan harmonis antara pemerintah, pengusaha, dan buruh. Pemerintah harus segera merevisi RUU PPHI sebelum diundangkan dengan mengakomodasi hak-hak buruh dan melindungi buruh sebagai pihak lemah dan mempersiapkan perangkat di daerah yang benar-benar ahli di bidang ketenagakerjaan. Juga harus menghilangkan praktik
pemungutan biaya di luar urusan produksi (biaya siluman) dengan dalih
otonomi daerah.

Dengan demikian tidak ada lagi alasan bagi pengusaha menekan upah buruh atas kenaikan biaya (cost) produksi dengan adanya biaya siluman. Akan tetapi, yang paling mendasar adalah memosisikan buruh sebagai mitra kerja dalam hubungan produksi, bukan menempatkan buruh sebagai faktor produksi atau obyek pelengkap.

Dan, the last but not least, pihak pengusaha harus sadar meskipun memiliki berbagai masalah seperti dipaparkan di atas, mereka harus dapat mengerem keinginan mencari untung besar. Sifat loba dan tamak inilah yang dapat menimbulkan konflik kelas manakala kebutuhan fisik minimum buruh masih berada di bawah standar.

Mungkin tidak ada salahnya pengusaha mencoba hidup dengan uang belanja sebulan sesuai dengan UMP, sehingga akan mengerti yang disebut dengan kemiskinan dan penderitaan serta memahami arti keadilan dan kemanusiaan.

Semoga!

KURNIAWAN DESIARTO Peneliti pada LBH-HAM Yogyakarta dan Sekjen Forum Anti Penindasan Buruh Yogyakarta

Selengkapnya...

Friday, April 27, 2007

Merubah Predikat Kota Yogyakarta

Merubah Predikat Kota Yogyakarta

Oleh : RM Kurniawann Desiarto

Hiruk pikuk pembangunan kota Yogyakarta makin terasa semenjak era otonomi daerah ini. Tidak sedikit sarana dan prasarana baik berupa gedung perkantoran dan terutama pusat perdagangan telah dan akan dibangun. Pembangunan ini sedikit banyaknya telah merubah corak, gaya maupun kekhasan kota yogyakarta tidak lagi sebagai kota pendidikan melainkan perlahan menjadikannya mega city (yang modern?).

Gagasan otonomi daerah dengan asas desentralisasinya telah disambut oleh berbagai daerah termasuk pemerintah kota Yogyakarta. Daerah (baca: kabupaten/kota) berlomba-lomba membangun dan mempercantik dirinya. Sudah berapa banyak pusat-pusat perdagangan berdiri megah dan bertebaran disetiap sudut kota. Benarkah pembangunan kota, terutama pusat-pusat perdagngan merupakan kepentingan masyarakat daerah? Atau malah dengan meminjam istilah Logan dan Malotch, kota adalah mesin pertumbuhan. Yang merupakan akumulasi kapital dimana bisnis ruang/tanah dapat memberikan keuntungan sekaligus kekuasaan bagi pemrakarsa dan pemiliknya.

Akumulasi Kapital Kota

Menurut Andi Siswanto, kota-kota dinegara berkembang umumnya sering membuat kota over urbanized. Yang merupakan sebuah fenomena urban bias akibat jasa para pendiri kota (urban founders). Urban founders adalah wiraswasta atau pejabat/walikota/gubernur/bankir yang aktif dalam bisnis manipulasi tempat/ruang untuk kepentingan nilai tukar. Dalam konteks akumulasi kapital, mereka adalah pebisnis tempat/ruang yang mencoba mengemas kota menjadi komoditas baru paling bergaya.

Sementara itu, pemerintah yang lemah, kurang profesional dan korup, ditunjang oleh para perencana kota yang kurang terampil dan berpengetahuan, dengan segera bersatu dengan kepentingan swasta yang lebih profesional. Koalisi ini percaya, setiap sumber daya kota yang terbengkalai harus segera ditansformasikan keberbagai produk dan jasa ruang baru agar secara sosial dan ekonomis berdaya guna. Maka tak heran bila pasar-pasar tradisional, kawasan kuno, taman-taman kota, dan pemukiman kumuh menjadi sasaran utama pembangunan tersebut (Andi Siswanto, 2002).

Persoalan yang dihadapi pemerintah kota dimana-mana sebenarnya serupa. Yaitu terbatasnya persediaan ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan untuk mengakomodasi prasarana-prasarana kegiatan baru. Salah satu kelemahan yang banyak dilakukan oleh pemerintah kota adalah tidak dilaksanakannya monitoring secara ketat. Sehingga lahan terbuka yang masih tersisa selalu dimanfaatkan untuk pembangunan gedung-gedung (Hadi Sabari Yunus, 2005).

Kenyataan ini terus-menerus berlangsung meski sekarang sudah era otonomi daerah. Disini nyaris peran serta masyarkat dilibatkan dalam perencanaan tata ruang kota. Masyarakat lebih banyak melihat pembangunan pusat-pusat perdagangan yang megah ketimbang fasilitas pendidikan yang murah, sarana air bersih yang terjangkau dan ruang publik yang seharusnya mereka terima dari pemerintah daerah.

Otonomi Pembangunan Kota

Era otonomi daerah merupakan lepasnya daerah dari cengkraman sentralisme yang dilakukan pemerintah pusat. Semenjak otonomi, daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat didaerah, termasuk pembangunan kotanya.

Sayangnya otonomi daerah sering dimaknai lain oleh penguasa daerah. Bagi mereka pembangunan fisik berupa pusat-pusat perdagangan merupakan sesuatu yang mutlak, dengan mengabaikan prinsip-prinsip otonomi daerah itu sendiri.Akibatnya pembangunan kabupaten/kota semakin tidaj terarah karena lebih mengutamakan proyek modernitas dibanding konservasi kawasan sejarah dan budaya maupun kawasan pemukiman.

Dikota yogyakarta tercinta ini, pembangunan pusat-pusat perdagangan tak terelakkan lagi akibat pengaruh globalisasi yang sekaligus menawarkan gaya hidup konsumtif. Seolah kota Yogyakarta yang relatif kecil ini akan dijadikan pusat perdangan dalam sekejap, dan menjadikan mall, plaza atau apapun namanya akan dijadikan daya tarik dan ikon kota. Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pendidikan dan predikat lainnya sebagai pusat kebudayaan dan perjuangan lambat-laun tergerus oleh gaya hidup konsumtif.

Padahal dalan perncanaan tata ruang, peran serta masyarakat juga harus dilibatkan, apalagi di masa otonomi daerah ini. UU No.24 Tahun 1992 tentang tata Ruang telah memberikan ruang bagi masyarakat dalam perencanaan tata ruang. Selain itu, terdapat beberapa aturan palaksana dari UU No.24/1992 yaitu PP No. 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Keawajiban serta bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang; Permendagri No.8 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah, dan; Permendagri No.9 Tahun 1998 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah.

Idealnya, pembangunan kota melibatkan peran serta masyarakat dan seyogyanya bertujuan untuk menciptakan kehidupan kota yang sejalan dengan tata nilai dan mampu menciptakan kehidupan yang tidaj semata urusan ekonomi. Melainkan juga meliputi aspek sosial dan budaya yang bermuara pada pengembangan kawasan kota yang dapat tertata dengan baik. Sehingga makna otonomi daerah dalam pembanguan kota memang benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat.

Jujur saja, penulis skeptis dengan pembangunan pusat-pusat perdagangan dikota Yogkarta ini. Karena dengan pembangunan tersebut tidak menjamin nilai lebih dari kota Yogyakarta pada masa akan datang. Dibandingkan dengan pusat-pusat perdagangan yang ada dikota-kota besar di Indonesia, pembangunan pusat perdagangan di Yogyakarta masih jauh tertinggal, kalah modern, dan kalah megah pastinya. Jadi, mengapa pemerinta kota Yogyakarta terkesan “ngoyo” untuk menyamainya? Sementara predikat sebagai kota pendidikan justru semakin pudar...



Y RM Kurniawann Desiarto alumnus Univ. Muhammadiyah Yogyakarta dan peminat masalah kota tinggal di Yogyakarta.

Selengkapnya...

Problem Partisipasi Masyarakat; Dalam Penataan Ruang Di Era Otonomi Daerah

Problem Partisipasi Masyarakat

Dalam Penataan Ruang Di Era Otonomi Daerah

Oleh : RM Kurniawann Desiarto

Membaca tulisan Sutaryono di harian ini (Partisipasi Masyarakat, Otda dan Penataan Ruang/13/02/06) memang perlu diapresiasi. Penataan ruang sering dimaknai secara beragam, mulai dari pemahaman bahwa penataan ruang merupakan arahan pola pemanfaatan ruang sampai pemahaman minor bahwa penataan ruang sebagao alat bargaining antarara birokrat dan pihak swasta/investor. Padahal dalam penataan ruang, peran serta masyarakat telah dijamin dalam peraturan perundang-undangan.

Sebenarnya tulisan Sutaryono tersebut terdapat benang merahnya dengan apa yang ditulis oleh Abdul Muid Badrun dalam harian ini pula (Yogyakarta kota Belanja?, 07/02/06). Badrun amat menyayangkan pembangunan pusat-pusat perdagangan yang meramaikan kota Yogyakarta. Padahal pusat-pusat perdagngan di kota Yogyakarta sudah relatif lengkap. Dengan banyaknya mall justru membuat tingginya biaya hidup. Dari kedua tulisan tersebut muncul pertanyaan, bagaimana pengaruh sosiologis dan geografisnya atat ruang yang diperuntukkan sebagai pusat perdagangan? Apakah pembangunan pusat-pusat perdagangan merupakan konsep yang benar dan dapat diterima semua pihak? Terakhir, dimana partisipasi masyarakat dalam pembangunan kota?

Disparitas Desa-Kota

Suatu pandangan geografis menurut N. Daldjoeni (1987), mengenai permasalahan kota tidak dapat dilepaskan dari masalah persebaran dan hirarki pemuliman kota. Banyak literatur membahas dikotomi kota-desa, dimana acapkali dilihat negatif, karena mencari keuntungan sendiri dengan mengorbankan penduduk desa. Melihat kenyataan ini, Friedmann menulis, The city was then more dependent upon the farm than the other way arround; instead of symbiotic (natural), there tended to be only a parasitic one sided relationship, with the city exploiting the country side.

Sosiolog Hoselitz mengungkapkan bahwa kota besar, melancarkan sifat-sifat parasiternya terhadap pedesaan dengan perincian: menelaah habis investasi, menyedot tenaga manusia, mendominasi pola manusiawi, mengganggu perkembangan kota-kota lain yang lebih kecil, cenderung memiliki konsumsi lebih tinggi dibandingkan dengan produksinya.

Paul Harrison dalam bukunya berjudul Inside the third World (1984) menyebutkan, relasi antara kota dengan pedesaan didunia ketiga mirip sekali dengan relasi antara negara kaya dan miskin. Pedesaan menghasilkan bahan-bahan serba murahan dibandingkan dengan segalanya yang didatangkan dari kota. Pedesaan tak memiliki sistem organisasi dan organisasi yang mampu memaksakan pihak kota untuk membayarnya dengan harga lebih tinggi.

Akibat lainnya yang lebih parah adalah wilayah perkotaan semakin mengalami pemadatan dan menurunnya jumlah usia produktif dipedesaan. Kota telah menjadi daya tarik tersendiri dengan adanya pusat-pusat perdagangan yang merebak. Pemanfaatan lahan kosong akam lebih memprioritaskan kepentingan ekonomi daripada kepentingan yang lain. Dengan adanya pemadatan wilayah perkotaan, maka semakin berkurang kualitas kehidupan, menjalarnya kemiskinan dan peningkatan ketidakadilan sosial karena banyak terjadi penggusuran.

Partisipasi Penataan Ruang

Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah yang demokratis sangat membutuhkan adanya partisipasi masyarakat, yang berkaitan erat dengan asas keterbukaan dan asas keadilan. Tanpa menggunakan kedua asas itu tidak akan jalan desntralisasi pemerintahan didaerah, termasuk dalam hal penataan ruang. Era otonomi daerah berarti tiap daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Untuk dapat mewujudkannnya maka tata ruang kota haruslah dapat menciptakan kota yang sesuai dengan tata nilai yang mencakup kehidupan sosial. Ekonomi, dan budaya. Hanya saja, masalah tata ruang ini masih dinilai oleh banyak orang, terutama masyarakat pada umumnya, bahwa rencana pembangunan kota hanyalah untuk konsumsi kelas menengah keatas. Dimana para stakeholder yang ada yaitu, pemerintah, swasta, dan masyarakat kurang memiliki posisi yang seimbang.

Sementara dimasyarakat sendiri terdapat stratifikasi pembagian kelas yang memiliki karakteristik dan gaya hidup yang berbeda. Sekalipun demikian, partisipasi masyarakat dalam penataan ruang sangat dibutuhkan. Sebab, baik pemerintah maupun swasta dengan segelintir kelompok kelas atas yang tergabung didalamnya tidak mampu menjamin terciptanya tata ruang yang baik. Dalam blue-print tata ruang diperlukan perencanaan yang akan ditindak-lanjuti, dimana pemerintah selain melibatkan swasta juga benar-benar melibatkan masyarakat. Sehingga jangan sampai terjadi tata ruang kota dijadikan sebagai bisnis ruang/tanah dengan mengorbankan kepentingan sebagian besar warga kota.

Secara normatif, partisipasi masyarakat telah diatur dalam Permendagri No.9 Tahun 1998 tentang Peran serta Masyarakat dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah Jo. Permendagri No.8/1998 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah, yang merupakan peraturan pelaksana dari UU No.24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang dan PP No.69/1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Dalam Pasal 9 Permendagri No.9/1998 antara lain disebutkan, peran serta masyarakat dalam proses perencanaan RUTR kabupaten/kota; pemberian masukan dalam penentuan arah pengembangan wilayah yang akan dicapai dan pemberian informasi, saran, pertimbangan, atau pendapat dalam penyusunan strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota. Peran serta masyarakat dalam perencanaan dapat dilaksanakan dalam bentuk kerjasama dalam penelitian dan pengembangan dengan dan/atau bantuan tenaga ahli kepada Bappeda kabupaten/kota (Pasal 47 Permendagri 9/1998).

Pemberian kewenangan membangun pada daerah yang menyerap aspirasi masyarakat telah menjadi suatu kebudayaan baru. Apabila upaya pemberdayaan keterlibatan atau partisipasi masyarakat dan pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan pengembangan kotanya dapat diwujudkan, diharapkan akan mampu menumbuhkembangkan sense of belonging, sense of conserving, sense of preserving, sense of beautifying seluruh warga dan institusi perkotaan. Pemerintah kotapun diharapkan menegakkan prinsip sustainability as the principle and good governance as the practice (Hadi Sabari Yunus, 2005).

Menurut Mitlin dan Satterthwaite (1996) visi good governance dituntut mampu mewujudkan enam aspek kehidupan kota, antara lain: (1). Mengembalikan fungsi dan sifat demokratis yang sebenarnya; (2) Sistem kerja yang accountable; (3) Mekanisme kerja yang transparan; (4) Kemampuan bekerjasama dengan berbagai kalangan masyarakat; (5) Kepedulian besar terhadap penduduk miskin dikota dengan cara mengentaskian mereka dari kemiskinan dan memberdayakan mereka disektor ekonomi, dan; (6) Kepedulian yang besar terhadap lingkungan hidup dalam rangka komitmen yang besar terhadap sustainable development.

Akhirnya kita hanya dapat berharap, bahwa pemrintah kota akan melibatkan masyarakat dalam perencanaan tata ruang. Karena pada dasarnya pembangunan kota bukan untuk dinikmati oleh kalangan tertentu saja, melainkan oleh semua lapisan masyarakat sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraannya.Singkat kalimat, pembangunan pusat-pusat perdagangan bukan solusi yang sangat tepat, justru melahirkan sikap konsumtif dan kian memperlebar kesenjangan yang memang sudah terjadi dimasyarakat kita




RM Kurniawan Desiarto adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Selengkapnya...

Covering Jews?The Gharbzadegi By Media To Islam

Covering Jews?

The Gharbzadegi By Media To Islam

(Personal Reflections)

Oleh : Kurniawan Desiarto

"Kalau negara-negara Eropa mengaku membunuh orang-orang Yahudi pada Perang Dunia II", Jerman atau Austria seharusnya menyediakan wilayah untuk mendirikan Israel”, ucap Presiden Iran Mahmoud Ahmadinedjad dalam pidatonya dikota Zahedan, Iran Tenggara pada awal Desember lalu. Bahkan, "Dewasa ini mereka menciptakan mitos pembantaian orang Yahudi yang mereka anggap sebagai prinsip yang lebih penting daripada Tuhan, agama dan para nabi”.

Kalau Eropa yang melakukan kejahatan besar itu, mengapa bangsa Palestina yang tertindas harus menanggung akibatnya? Usul kami begini: berikan sebagian tanah anda di Eropa, Amerika Serikat, Kanada atau Alaska agar kaum Yahudi bisa mendirikan negara mereka," (www.bbcindonesia.com,14/12/05).

Padahal bulan Oktober lalu, dia juga membuat heboh dengan pernyataannya agar "Israel dihapus dari peta dunia". Tak urung pernyataan Ahmadinedjad tersebut, menimbulkan kecaman dari AS, Australia dan negara-negara Uni Eropa, serta pihak yang paling bersangkutan, Israel. Jika pernyataan Ahmadinedjad tidak tertuju ke Israel, kecaman yang diterimanya tak akan sekeras itu.

Ini juga pernah diterima mantan PM Malaysia, Mahathir Mohamad dalam pembukaan KTT X Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Putrajaya, Malaysia (16/10/03). Maupun sikap presiden Prancis, Jacques Chirac, yang memblokir Uni Eropa agai tidak mengecam Mahathir justru mendapat julukan anti Yahudi, seperti yang ditulis dalam opini surat kabar Israel (The Maariv, 19/10/03).

Sebenarnya pernyataan Ahmadinejad—terlepas emosional atau tidak—jika dilihat dari fakta-fakta dan sejarah kelam bangsa Yahudi dalam mendirikan negara Israel adalah benar. Pemberitaan media (Barat) yang bias seolah Ahmadinedjad adalah musuh, tanpa mau menuliskan sejarah kelam bangsa Yahudi di Palestina. Dan pukulan Barat (gharbzadegi) oleh medianya terhadap Islam sungguh menyakitkan.

Black History

Berdirinya negara Israel pada 15 Mei 1948 di wilayah Palestina bukan saja kontroversial, tapi suatu bentuk imperialisme dan kolonialisme di tanah Arab. Ini bertalian dengan cita-cita awal gerakan Zionisme yang didirikan seorang wartawan dari Wina (Austria), Theodore Hertzel (1860-1904) ditahun 1896. Menurut Roger Geraudy (terj.1988), gerakan Zionisme terbagi menjadi dua. Pertama, sebagai gerakan keagamaan. Zionisme telah memunculkan suatu tradisi berziarah ke tanah suci yaitu, Zion. Kedua, sebagai gerakan politik dalam rangka “National Home for Jews”.

Pada 29 Oktober s/d 11 November 1897 di kota Basle (Swiss), digelar konggres pertama gerakan Zionis. Konggres itu merekomendasikan berdirinya negara khusus—pilihannya Argentina, Uganda dan Palestina—bagi kaum Yahudi. Dan secara tegas pada konggres tahun 1906 merekomendasikan negara bagi bangsa Yahudi di Palestina. Sesudahnya, untuk merealisir niatnya maka, terjadi arus imigrasi kaum Yahudi dan berusaha membeli ladang-ladang Palestina dari bangsa Arab. Bersamaan itu, situasi politik di benua Eropa tengah berkecamuk Perang Dunia/PD I (1914-1918) yang memberikan peluang orang Yahudi melakukan lobi dengan Inggris, Prancis, Amerika maupun Rusia.

Kenyataan itu membuat kecewa para nasionalis Arab yang sedang berjuang melawan kekuasaan Dinasti Ottoman (Turki) yang didukung Jerman. Disisi lain, Inggris memberikan janji sebuah negara di Palestina pada gerakan Zionisme. Ini dilakukan karena ada kekhawatiran dan kecemburuan akan kemajuan orang Yahudi sebagai penggerak perekonomian di Inggris maupun negara di Eropa lainnya dibandingkan kaum pribuminya.

Kemudian terdapat dua peristiwa sejarah yang menjadi landasan berdirinya negara bagi kaum Yahudi. Pertama, Perjanjian Sykes-Picot tahun 1916 antara Inggris, Prancis dan Rusia (sekutu). Tujuannya, mencengkram wilayah-wilayah Arab bekas peninggalan Dinasti Ottoman dan membagi diantara mereka. Berakhirnya PD I dengan kemenangan sekutu menyebabkan Inggris mendapatkan wilayah Palestina dan Irak. Prancis mendapatkan wilayah Suriah dan Lebanon, sisanya diberikan Rusia.

Kedua, Deklarasi Balfaur 1917. Menlu Inggris keturunan Yahudi Arthur James Balfaur, memberi tahu pemimpin Zionis Inggris, Lord Rothschild, bahwa Inggris akan memperkokoh pemukiman Yahudi di Palestina. Dibawah payung legitimasi Sykes-Picot dan Deklarasi Balfaur, orang Yahudi melakukan imigrasi massal. Saking banyaknya orang Yahudi yang berimigrasi, mereka mulai bertingkah, tak ubahnya seperti kolonial Inggris. Serta tak segan-segan melakukan praktik rasisme terhadap penduduk asli Arab di Palestina.

Akibatnya, daerah Yahudi yang semula hanya pemukiman berubah menjadi sebuah negara Israel Tahun 1948. Menurut John L. Esposito (1992), berdirinya Israel tampak sebagai contoh duplisitas kolonialisme Eropa dan keinginan untuk tetap membuat bangsa Arab terpecah dan lemah. Sementara Palestina—si empunya tanah Israel—hingga kini masih dalam proses menjadi sebuah negara, yang katanya akan dibentuk tahun 2005. Namun, sepeninggalan almarhun Yasser Arafat pada Oktober 2004, sampai di penguhujung tahun 2005 ini, janji tersebut tak lebih sekadar retorika.

Mengapa Harus Islam?

Selama ini pemberitaan media massa Barat cenderung bias dan memberi stigma yang tidak benar pada Islam. Saat ini, pendefinisian Islam secara negatif, tak berbudaya dan radikal oleh media Barat bukan hilang malah kian parah. Sementara Israel yang juga melakukan aksi teror terhadap warga Palestina, bahkan pernah mengurung almarhum presiden Araffat tidak dicap sebagai teroris. Dalam hal ini media Barat terkesan membela kepentingan Yahudi.

Media telah menjejali pembaca bahwa mereka telah memahami Islam, tetapi pada saat yang sama tidak mengakui pembahasan dalam liputan yang gegap gempita ini didasarkan materi yang sama sekali tidak objektif, Sebagaimana yang diungkapkan almarhum Edward W.Said dalam Covering Islam. Tambahan lagi, dalam banyak contoh, Islam telah menerima bukan saja perlakuan yang tidak tepat, melainkan juga ekspresi etnosentrisme yang melampaui batas kebencian kultural bahkan rasial serta permusuhan mendalam yang secara paradoksal mengalir bebas.

Semua ini telah menjadi bagian apa yang dianggap sebagai liputan yang adil, seimbang, dan bertanggung jawab tentang Islam. Bagi jurnalis barat aktivitas meliput dan menutupi Islam hampir telah menghilangkan perenungan tentang gejala seperti; persolan umum,pengenalan dan kehidupan disebuah dunia yang kompleks dan beragam untuk generalisasinya secara cepat dan mudah (Said; 1981).

Sekadar contoh saja, bagaimana jurnalis Barat sebatas menulis berita saja tanpa menelusuri lebih jauh peristiwa yang melatarinya mengenai resolusi Majelis Umum (MU) PBB No.3379, pada 10 November 1975 yang menegaskan bahwa Zionisme adalah bagian dari bentuk rasisme, telah dihapus oleh MU PBB berdasarkan suatu rekomendasi 86/46 pada 16 Desember 1991, atas permintaan Israel dan AS. Alasannya, sebagai harga politik kesediaan Israel ikut serta dalam konferensi damai di Madrid pada 30 Oktober 1991 dengan sponsor AS dan Uni Soviet. Lantas, dimana peran jurnalis (Barat) waktu itu?

Sementara sikap pemerintahan Barat dalam melihat Islam masih tetap belum berubah, dalam kerangka kolonialisme. Seperti yang diceritakan Huntington (1996), selama 15 tahun antara tahun 1980-1995, menurut Departemen AS, Amerika menggelar tujuh belas operasi militer di Timur Tengah, seluruhnya untuk menyerang Islam. Tidak pernah dilakukan bentuk-bentuk oprasi militer AS yang sedemikian itu terhadap peradaban lain (baca: negara non muslim).

Ketakutan Barat terhadap Islam sebagai suatu ancaman semakin kuat dan diamini oleh medianya. Bagaimana pemerintah AS menuduh al-Qaida sebagai dalang September kelabu WTC, sampai sekarang belum terbukti. Yang oleh media (Barat) justru disebar-luaskan bukan mengkritik pemerimtah AS yang asal tuduh. Juga tuduhan kepada Irak yang membuat senjata pemusnah massal, ternyata sampai Saddam diadili, tuduhan membuat senjata pemusnah massal masih belum terbukti.

Bagi orang yang mengkritik AS dan Israel dari kalangan Islam justru dihujat habis-habisan sekalipun itu benar. Malahan sikap kejam Israel terhadap bangsa Palestina, dibiarkan berlarut dan media Barat kurang pro-aktif dibanding pemberitaan aksi perlawanan yang dilakukan oleh gerakan Islam. Padahal jurnalis tidak boleh menyembunyikan informasi penting yang patut untuk disebarkan. Bukan untuk merendahkan, menebar kebencian, prasangka, diskriminasi dalam masalah suku, ras, bangsa, politik ataupun agama. Melainkan untuk mencari sekaligus meletakkan kebenaran diatas segalanya apapun risikonya.

Dan para jurnalis perlu menghilangkan keraguan demi menebarkan berita atas peristiwa yang mereka ketahui dalam sanubari tentang kebenaran, demi ketidakbenaran yang terjadi menyangkut idiologi, bangsa, ras sampai pada agamanya sekalipun.

Secara personal, sebagai jurnalis, saya ragu dengan apa yang saya tulis. Saya muslim…Wallahualam.




y Kurniawan Desiarto, Alumnus FH Univerversitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta.

Selengkapnya...

Menjaga Merek;Sebuah Upaya Guna Membangun ‘Image’

Menjaga Merek

Sebuah Upaya Guna Membangun ‘Image’

Oleh : Kurniawan Desiarto

Pendahuluan

Datangnya milenium baru telah memberikan tantangan dan kesempatan baru dihadapan kita, khususnya, meluasnya batas ekonomi global yang terus berkembang melampaui ekspansi dan keyakinan yang paling optimistis[1]. Milenium baru yang sering disebut banyak orang sebagai era globalisasi telah meningkatkan arus perdagangan barang dan jasa tanpa mengenal batas negara.

Menurut Kenichi Ohmae, akibat dari globalisasi telah menghapuskan batas-batas nasional dan membentuk batas-batas tersendiri yang sifatnya non politik dengan berdasarkan kepada kapasitas pergerakan ekonomi; keadaan ini disebutnya sebagai region state[2]. Dimana pergerakan ekonomi ini, terutama perdagangan barang dan jasa membutuhkan sebuah merek (dagang) untuk membedakan barang dan jasa lain, baik yang tidak sejenis, terlebih yang sejenis. Barangkali tanpa adanya sebuah merek, perdagangan barang dan jasa tertentu boleh jadi sulit untuk dipasarkan.

Begitu besarnya peran merek dalam perdagangan barang dan jasa membuat Thomas L. Friedman, seorang jurnalis dalam bukunya Understanding Globalization: The Lexus and the Olive Tree, memberikan tanggapan, “dalam dunia yang telah mengalami globalisasi, perusahaan global atau negara yang kuat perlu pula memiliki merek yang kuat yang dapat menarik dan menahan konsumen dan investor”. Menurut sebuah tim perusahaan konsultasi Mc Kinsey ’sebuah nama menjadi sebuah merek’, demikian Friedman menulis, ‘ketika para konsumen mengasosiasikan hal itu dengan sejumlah keuntungan yang nyata atau tidak nyata, yang mereka dapatkan dari produk atau pelayanan itu. Asosiasi ini menumbuhkan dan meningkatkan dengan kuat kesetiaan dan keinginan konsumen untuk membayar di atas harga sebenarnya’.

Arti Penting sebuah Merek

Secara normatif, definisi merek telah diatur dalam Undang-undang No. 15 tahun 2001 Tentang Merek. Dalam Undang-undang Merek disebutkan, merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa (Pasal 1 ayat (1))

Tidak jauh berbeda dari pengertian menurut ketentuan undang-undang, Essel R. Dillavou disebutkan seraya memberi komentar bahwa:

“No complete definition can be given for a trademark generally it is any sign. Symbol mark, work or arrangement of words in the form of a label adopted and used by a manufacturer or distributor to designate his particular goods, and which no other person has the legal right to use it. Originally, the sign or trademark, indicated origin, but today it is used more as an advertising mecanism”[3].

Selain sebagai daya pembeda terhadap barang dan atau jasa baik yang sejenis ataupun tidak, memang merek sangat penting dalam mekanisme dunia periklanan (advertising) dan pemasaran (marketing). Karena masyarakat sering mengaitkan suatu ‘image’, kualitas atau reputasi dari suatu barang atau jasa dengan merek tertentu. Sebagai misal, untuk celana Jeans, merek Levi’s memberikan ‘image’ bahwa celana berbahan denim meiliki kualitas atau reputasi yang bagus.

Di negara-negara industri maju merek dianggap sebagai ‘roh’ produk barang atau jasanya. Tidak dapat dibayangkan oleh kita suatu produk yang tidak memiliki merek, tentu tidak akan dikenal atau dibutuhkan oleh konsumen[4]. Selanjutnya, merek juga berfungsi sebagai sarana promosi (means of trade promotion) dan reklame bagi produsen atau pengusaha. Dengan adanya promosi ini, maka nilai penjualan akan makin meningkat sekaligus dapat memperluas pasarannya. Sedemikian pentingnya akan sebuah merek, terkadang suatu perusahaan sampai-sampai memandang lebih berharga merek perusahaannya dibandingkan dengan aset perusahaan yang dimiliknya.

Merek juga berguna untuk para konsumen. Mereka membeli produk tertentu (yang terlihat dari mereknya). Karena menurut mereka, merek tersebut berkualitas tinggi atau aman untuk dikonsumsi dikarenakan reputasi dari merek tersebut. Jika sebuah perusahaan menggunakan merek perusahaan lain, [para konsumen mungkin merasa tertipu karena telah membeli produk dengan kualitas rendah[5].

Bagi para konsumen handphone (HP), merek juga merupakan jaminan dari kualitas hp tersebut. Dimana para calon konsumen tentunya akan mempertimbangkan beragam alasan untuk menjatuhkan pilihannya. Dengan diketahuinya sebuah merek hp, maka calon konsumen kurang lebihnya sudah mengetahui secara pasti melalui iklan dan promosinya.

Memenangi Perang Iklan

Dewasa ini, iklan merupakan suatu kebutuhan yang mendasar ketika seorang produsen ingin menjual produknya. Tidak berlebihan jika iklan juga disebut sebagai ujung tombak penjualan. Dengan iklan maka merek suatu produk akan cepat dikenal oleh khalayak. Hampir bisa dipastikan tanpa adanya iklan, maka produk barang atau jasa akan lebih sulit dipasarkan. Bahkan terkadang suatu produsen sebelum melemparkan produk barunya ke pasar, mereka lebih dahulu memasang iklan baik di media cetak maupun elektronik. maksudnya bukan untuk mengidentifikasikan calon konsumen, melainkan untuk menarik perhatian dari para calon konsumen.

Dengan kata lain, untuk membangun merek yang kuat, dibutuhkan adanya iklan. Akan tetapi, permasalahannya sudah banyak produsen yang menyadari akan peran iklan itu sendiri, yang pada akhirnya akan menimbulkan perang iklan terhadap barang atau jasa yang sejenis. Oleh karena itu dibutuhkan iklan yang baik untuk memenangi perang iklan.

Menurut Wicaksono Noeradi, membuat iklan yang baik memang susah, tergantung kepada kacamata yang digunakan. Apakah dari kacamata pengiklan (pembuat iklan) atau konsumen. Sebab, bagi pengiklan, iklan yang baik adalah yang bisa menjual produknya secara maksimal dalam waktu yang ditentukan. Sedang bagi konsumen, iklan yang baik harus informatif, jujur dan menarik. Berbeda lagi dari kacamata praktisi yang dalam hal ini berada dalam posisi tengah, dalam kacamatanya, iklan yang baik antara lain harus komunikatif sekaligus etis.

Dengan posisi tengahnya tersebut, tak jarang dalam proses pemunculan iklan, pengiklan kerap mendatangi praktisi. Dan, praktisi mengusulkan strategi periklanan, yaitu berupaya menyeimbangkan tuntutan-tuntutan pengiklan maupun konsumen. Namun akhirnya, keputusan final tetapada di tangan pengiklan. Artinya, kepentingan sebagai produsenlah yang harus menang. Karena iklan adalah kiat pemasaran, maka tetap saja tolak ukur keberhasilannya adalah angka penjualan[6].

Sungguhpun demikian, untuk mencari cara-cara yang paling efektif dalam pemasaran, para pemasang iklan perlu mengembangkan sebuah alternatif untuk menghasilkan iklan, yakni periklanan citra. Periklanan citra tidak menghilangkan loyalitas terhadap merek tertentu, juga tidak menggantikan produk. Lebih dari itu, periklanan citra akan memperkuat dan menggunakan loyalitas terhadap merek dan produk, mengingat bahwa dalam periklanan produk, loyalitas terhadap merek berasal dari hasil pengulangan rencana penjualan yang khas (unique selling prosition/USP) yang ditanamkan dalam benak para konsumen melalui kata-kata serta pengotakan kualitas material suatu produk. Periklanan citra menanamkan citra dari keuntungan dukungan yang berhubungan dengan sebuah produk. Yang pada kenyataannya, berbeda dengan saingannya bukan dalam bidang material[7].

Lebih lanjut, ditulis oleh Combs dan Nimmo, para pemasang iklan memberikan personalitas bagi produknya melalui daya tarik kehangatan, kecocokan, emosi dan kegembiraan sosial. Menggunakan sebuah produk bukan berarti menggunakan sebuah benda material, melainkan untuk mengidentifikasikan diri dengan suatu keadaan sosial. Kemudian dicontohkan pula oleh Comb dan Nimmo, Proctor and Gamble, dengan sejumlah merek sabunnya di pasar, menciptakan sebuah figur sosial bagi setiap merek: ‘Ivory’ semurni kasih ibu dan anak melalui iklan-iklan Ivory, ataupun ‘Camai’ merupakan sabun bagi para wanita yang mencari sesuatu yang glamor, sempurna dan sukses. Kesimpulan dari perbedaan antara produk dan periklanan citra tercakup dalam kalimat: ”Jangan menjual steak, juallah desisannya”.

Memahami Psikologi Konsumen

Berangkat dari bukti-bukti di atas, seharusnya cukup meyakinkan tentang fungsi dan peranan iklan, serta keampuhannya sekaligus seperti yang dipaparkan oleh Kafi Kurnia. Bahkan katanya lagi, iklan bisa digunakan secara benar memang ampuh. Demikian berlaku sebaliknya, iklan hanya pengeluaran boros bila tidak dilakukakn dengan benar.

Melalui iklan yang benar inilah, maka Coca Cola yang telah memenangi Brand Award selama tiga tahun berturut-turut, dikalahkan oleh Fanta, karena selama satu tahun belakangan ini Fanta dengan gencar mengiklankan diri disamping cara pengiklananna yang tepat, utamanya.

Untuk dapat mengiklankan merek dan produk secara baik, dalam artian selain dikenal oleh khalayak, yang lebih penting adalah bagaimana supaya produk tersebut banyak terjual, dituntut untuk bisa memahami psikologi konsumen. Psikologi konsumen sangat berepengaruh sekali terhadap penjualan produk. Memahami psikologi konsumen tidak bisa langsung disimpulkan begitu saja. Sebab terdapat beberapa karakter konsumen yang berbeda-beda.

Apabila dulu produsen bingung bagaimana membuat suatu produk (how to product). Tampaknya saat ini yang menjadi permasalahan adalah bagaimana cara menjual produknya (how to sell). Untuk bisa memahami konsumen, sudah jelas pertanyaan pertama yang harus dijawab bagaimana cara menjualnya? Yang perlu diperhatikan disini adalah karakter dari pada konsumen itu sendiri. Sebab dalam dunia periklanan dan pemasaran, dikenal dengan istilah: “I know my people”

Secara garis besar, karakter konsumen berbeda-beda tergantung dari jenis produk yang akan dipasarkan. Untuk produk sebuah hp misalnya, maka terdapat tiga karakter yang berbeda. Pertama, konsumen yang berkarakter loyal (loyal customers). Konsumen yang berkarakter loyal ini adalah mereka yang sangat fanatik terhadap merek hp tertentu. Mereka sulit untuk mengganti pesawat ho dengan merek lain. Biasanya konsumen yang fanatik ini sudah mengenal merek tersebut jauh sebelum membeli. Kedua, konsumen mengambang (floating consumers). Mereka ini adalah orang-orang yang mudah terpengaruh oleh iklan atau lingkungan sekitarnya. Misalkan saja, seseorang yang telah memiliki hp dengan merek A, bisa saja mengganti hpnya dengan merek B karena terpengaruh oleh iklan atau para kolega yang berada di sekitarnya. Ketiga, konsumen pemula (beginner consumers). Pada kelompok ini adalah mereka yang baru akan memiliki pesawat hp. Mereka biasanya kurang begitu memahami keunggulan dan kelemaan dari pesawat hp dengan merek-merek tertentu.

Setelah memahami karakter dari masing-masing konsumen, juga penting untuk diperhatikan bahwa dalam beriklan, adalah bagaimana caranya iklan tersebut dapat menohok psikologis para konsumen. Sebab dengan menohok psikologis, dapat dikatakan bahwa iklan tersebut berhasil. Misal, iklan Susu Dancow adalah susu terbaik bagi pertumbuhan anak. Dalam iklan tersebut digambarkan dengan meminum susu bermerek Dancow, seorang anak dapat tumbuh dengan cepat, yaitu sesudah meminum susu Dancow si anak langsung dapat menyentuh kupingnya dengan tangannya.

Strategi ‘Business’ Mengiklankan Merek

Dalam mengiklankan sebuah merek strategi bisnis dalah salah satu kata kuncinya. Sebuah perusahaan akan menjadi besar dan mereknya akan dikenal luas akan memakai strategi bisnis untuk mengiklankan merek dan produknya. Strategi bisnis disini bukan menangkut pada masalah prduksi, melainkan lebih dititikberatkan pada bagaimana menjual mereknya melalui iklan.

Suatu strategi bisnis mengiklankan merek bukanlah merupakan sejumlah tindakan dengan membayar biaya iklan yang besar, tetapi bagaimana iklan tersebut dapat membentuk image pada para calon konsumen. Karena sehebat apapun sebuah produk dan bearna suatu perusahaan bkan merupakan jaminan untuk dapat menjaring para konsumen. Sebab, konsumen memiliki karakteritik yang berbeda. Maksud dan tujuannya dari strategi bisnis dalam mengiklankan biaya produksi tidak hanya memepertimbangkan biaya produksi semata, tetapi lebih mengaitkan pada merek dagang dan nama dagangnya. Disinilah para pemiliki merek harus mengerti pasar (understanding market), mengerti kwmampuan membeli dari konsumen (undersatnding buyers), mengerti tingkat persaingan (understanding competiton). Dari ketiga hal tersebut, maka akan ditemukan sebuah pesan dalam bentuk slogan yang mengukuhkan identitas sebuah merek.

Pilihan slogan yang tepat merupakan strategi bisnis mengiklankan merek secara jitu. Sudah terbukti dengan merek ‘Irex Max’ produk penambah stamina bagi pria, sangat sukses di pasaran. Dibandingkan ‘Supertin’ yang bisa dikatakan gagal di pasar. Merek yang disebut terakhir ini kurang tepat dalam memilih slogannya, ‘loh kok loyo?’. Waktu itu, masyarakat masih malu-malu untuk membeli produk tersebut yang tidak lain sebagai penambah stamina. Ada anggapan, bahwa pada saat membelinya, maka akan menunjukkan bahwa si pembeli memanglah ‘loyo’.

Menjaga Sebuah Merek

Sebuah merek akan terjaga namanya selama merek tersebut sering diiklankan. Benarkah anggapan ini? Meskipun tidak ada yang membenarkannya, tetapi banyak sudah fakta bahwa merek akan tetap dikenal dan dikenang dikarenakan adanya iklan yang dilakukan secara terus-menerus. Apapun medianya, baik media cetak maupun elektronik, iklan merupakan cara yang paling efektif untuk membentuk image sebuah merek.

Iklan melalui media elektronik, khususnya iklan televisi adalah bentuk komunikasi yang paling berpengaruh pada saat ini. Tetapi bukan berarti di media cetak tidak memiliki pengaruh terhadap konsumen, karena iklan dalam bentuk sebuah foto atau gambar dalam surat kabar juga memiliki makna yang lebih. Dia bisa membawa pada imaginasi tertentu bagi konsumen.

Menurut Neil Postman, iklan televisi memang telah menjadi paradigma penting bagi struktur tiap jenis diskursus publik. Tidak hanya itu, iklan televisi bukanlah bercerita mengenai sifat produk yang ditawarkan, melainkan juga mengenai sifat para pembelinya. Sementara, apa yang perlu diketahui pengiklan bukanlah apa yang baik yangdipunyai dari produknya, melainkan apa yang tidak dipunyai oleh calon pembeli[8].

Dengan mengiklankan suatu merek, terutama di televisi, maka image sebuah merek dengan sendirinya akan dapat dicapai. Bagi konsumen sendiri, dengan mengetahui suatu merek pada sebuah produk melalui iklan membuatnya yakin dalam menentukan merek dari produk apa yang dibelinya. Sebab ada sebuah paradoks di masyarakat bahwa produk belum hebat dan terjamin kualitasnya apabila belum muncul di layar kaca.

Perlu juga untuk diketahui, dalam menjaga merek selain hal tersebut diatas masih terdapat beberapa cara yang juga harus diperhatikan. Pertama, inovasi produk. Inovasi produk memang harus dilakukan jangan sampai diabaikan. Sebab khusus untuk produk barang elektronok maupun pesawat hp, memang sangat dibutuhkan. Kita telah mengetahui, diwal munculnya berbagai HP, bentuk dari HP lebih besar dan berantena. Apabila bentuk HP tetap dipertahankan seperti dulu, sementara produk sejenis dari perusahaan lain justru menciptakan produk-produk yang inovativ, cepat atau lambat akan tertinggal jauh angka penjualannya.

Kedua, memperhatikan program pemasaran denganh cara mengganti komunikasi produk. Apapun merek suatu produk dengan beragam tipenya, tanpa adanya pergantian iklan menyebabkan khalayak kurang mengenal produk yang dipasarkan. Misalkan saja, HP merek Nokia seri 6600 dan 8800, apa akan segera dikenal di masyarakat jika hanya mengandalkan iklan tanpa mengetahui seri-seri yang telah dikeluarkan. Ini akan semakin memperkuat image dari Nokia sendiri dengan slogan Connecting Peoplenya.

Penutup

Dari uraian kikir diatas, diketahui begitu besarnya fungsi dan peran dari sebuah nama merek. Merek tidak hanya digunakan sebagai alat pembeda maupun untuk berpromosi. Tetapi juga dapat membangun image yang kuat bagi para konsumen. Para pemilik merek memang perlu memahami psikologi dari calon konsumennya. Sangat disayangkan bila merek yang sudah dikenal luas menjadi asing bagi konsumen karena tersaingi, merek lain untuk produk barang yang sejenis.

Begitu pentingnya menjaga merek untuk membangun image dalam era perdagangan global ini. Persaingan dalam beriklan bukan hal yang asing lagi untuk masa sekarang. Bagaimana sebuah ikaln dapat mempengaruhi para konsumen merupakan kenyataan yang harus diperhatikan tanpa mengurangi keunggulan dari produk. Dengan kata lain, menurut Thomas L. Friedman[9]. Untuk membangun merek yang kuat, sebuah perusahaan harus menunjukkan kekuatan khusus dan perbedaan produk itu dengan yang lainnya.

Memiliki sebuah merek adalah penting, tapi menjaga sebuah merek agar tetap dikenal konsumen jauh lebih penting.




[1] Cita Citrawinda Priapantja, Hak Kekayaan Intelektual: Tantangan Masa Depan, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2003, hlm. 4

[2] Kenichi Ohmae, The Rise of the Region State, Indiana University Press, Bloomington, 2000, hlm. 93. Lihat juga buku Ohmae lainnya, The Ednd of the nation State: The Rise of Regional Economies, The Free Press, New York, 1995, dikatakan, adanya perkembangan tersebut memiliki tiga efek yang sangat luas. Dua diantaranya adalah: 1) at the company level, they have changed what managers can know in real time about their markets, products, and organizational processes. This means managers can be for more responsive to what their customers want and far more flexible in how they organize to make and provide it. 2) at the market level, these developments have changed what customers everywhere can know about the wayother people live about the products and the services available to them, and about the relative value such offerings provide. This means that economic nationalism exerts an ever-smaller influence an purchase decision, hlm. 27-28

[3] Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 268-269

[4] Insan Budi Maulana, Sukses Bisnis Melalui Merek paten dan Hak Cipta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 60

[5] Tim Lindsey (eds.), Hak Kekayaan Intelektual, Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 2001, hlm. 131-132

[6] Wicaksono Noeradi, Melihat Iklan, dalam Riant Nugroho (eds.), Obrolan 17 Praktisi Bisnis Indonesia, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 1996, hlm. 377

[7] James E. Comb & Dan Nimmo, The New Propaganda: The Dictatorship of palaver in Contemporary Politics, terj. Lien Amelia, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994, hlm. 199

[8] Neil Postman, Amusing Ourself, penerj. Inggita Notosusanto, PT. Pustaka Sinar Harapan 1995, hlm. 135 dan 137)

[9] Thomas L. Friedman, Understanding Globalization: The Lexus And The Olive Tree, Tim Penerj. ITB, ITB, Bandung, 2002, hlm.242.

Selengkapnya...