Friday, April 27, 2007

Merubah Predikat Kota Yogyakarta

Merubah Predikat Kota Yogyakarta

Oleh : RM Kurniawann Desiarto

Hiruk pikuk pembangunan kota Yogyakarta makin terasa semenjak era otonomi daerah ini. Tidak sedikit sarana dan prasarana baik berupa gedung perkantoran dan terutama pusat perdagangan telah dan akan dibangun. Pembangunan ini sedikit banyaknya telah merubah corak, gaya maupun kekhasan kota yogyakarta tidak lagi sebagai kota pendidikan melainkan perlahan menjadikannya mega city (yang modern?).

Gagasan otonomi daerah dengan asas desentralisasinya telah disambut oleh berbagai daerah termasuk pemerintah kota Yogyakarta. Daerah (baca: kabupaten/kota) berlomba-lomba membangun dan mempercantik dirinya. Sudah berapa banyak pusat-pusat perdagangan berdiri megah dan bertebaran disetiap sudut kota. Benarkah pembangunan kota, terutama pusat-pusat perdagngan merupakan kepentingan masyarakat daerah? Atau malah dengan meminjam istilah Logan dan Malotch, kota adalah mesin pertumbuhan. Yang merupakan akumulasi kapital dimana bisnis ruang/tanah dapat memberikan keuntungan sekaligus kekuasaan bagi pemrakarsa dan pemiliknya.

Akumulasi Kapital Kota

Menurut Andi Siswanto, kota-kota dinegara berkembang umumnya sering membuat kota over urbanized. Yang merupakan sebuah fenomena urban bias akibat jasa para pendiri kota (urban founders). Urban founders adalah wiraswasta atau pejabat/walikota/gubernur/bankir yang aktif dalam bisnis manipulasi tempat/ruang untuk kepentingan nilai tukar. Dalam konteks akumulasi kapital, mereka adalah pebisnis tempat/ruang yang mencoba mengemas kota menjadi komoditas baru paling bergaya.

Sementara itu, pemerintah yang lemah, kurang profesional dan korup, ditunjang oleh para perencana kota yang kurang terampil dan berpengetahuan, dengan segera bersatu dengan kepentingan swasta yang lebih profesional. Koalisi ini percaya, setiap sumber daya kota yang terbengkalai harus segera ditansformasikan keberbagai produk dan jasa ruang baru agar secara sosial dan ekonomis berdaya guna. Maka tak heran bila pasar-pasar tradisional, kawasan kuno, taman-taman kota, dan pemukiman kumuh menjadi sasaran utama pembangunan tersebut (Andi Siswanto, 2002).

Persoalan yang dihadapi pemerintah kota dimana-mana sebenarnya serupa. Yaitu terbatasnya persediaan ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan untuk mengakomodasi prasarana-prasarana kegiatan baru. Salah satu kelemahan yang banyak dilakukan oleh pemerintah kota adalah tidak dilaksanakannya monitoring secara ketat. Sehingga lahan terbuka yang masih tersisa selalu dimanfaatkan untuk pembangunan gedung-gedung (Hadi Sabari Yunus, 2005).

Kenyataan ini terus-menerus berlangsung meski sekarang sudah era otonomi daerah. Disini nyaris peran serta masyarkat dilibatkan dalam perencanaan tata ruang kota. Masyarakat lebih banyak melihat pembangunan pusat-pusat perdagangan yang megah ketimbang fasilitas pendidikan yang murah, sarana air bersih yang terjangkau dan ruang publik yang seharusnya mereka terima dari pemerintah daerah.

Otonomi Pembangunan Kota

Era otonomi daerah merupakan lepasnya daerah dari cengkraman sentralisme yang dilakukan pemerintah pusat. Semenjak otonomi, daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat didaerah, termasuk pembangunan kotanya.

Sayangnya otonomi daerah sering dimaknai lain oleh penguasa daerah. Bagi mereka pembangunan fisik berupa pusat-pusat perdagangan merupakan sesuatu yang mutlak, dengan mengabaikan prinsip-prinsip otonomi daerah itu sendiri.Akibatnya pembangunan kabupaten/kota semakin tidaj terarah karena lebih mengutamakan proyek modernitas dibanding konservasi kawasan sejarah dan budaya maupun kawasan pemukiman.

Dikota yogyakarta tercinta ini, pembangunan pusat-pusat perdagangan tak terelakkan lagi akibat pengaruh globalisasi yang sekaligus menawarkan gaya hidup konsumtif. Seolah kota Yogyakarta yang relatif kecil ini akan dijadikan pusat perdangan dalam sekejap, dan menjadikan mall, plaza atau apapun namanya akan dijadikan daya tarik dan ikon kota. Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pendidikan dan predikat lainnya sebagai pusat kebudayaan dan perjuangan lambat-laun tergerus oleh gaya hidup konsumtif.

Padahal dalan perncanaan tata ruang, peran serta masyarakat juga harus dilibatkan, apalagi di masa otonomi daerah ini. UU No.24 Tahun 1992 tentang tata Ruang telah memberikan ruang bagi masyarakat dalam perencanaan tata ruang. Selain itu, terdapat beberapa aturan palaksana dari UU No.24/1992 yaitu PP No. 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Keawajiban serta bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang; Permendagri No.8 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah, dan; Permendagri No.9 Tahun 1998 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah.

Idealnya, pembangunan kota melibatkan peran serta masyarakat dan seyogyanya bertujuan untuk menciptakan kehidupan kota yang sejalan dengan tata nilai dan mampu menciptakan kehidupan yang tidaj semata urusan ekonomi. Melainkan juga meliputi aspek sosial dan budaya yang bermuara pada pengembangan kawasan kota yang dapat tertata dengan baik. Sehingga makna otonomi daerah dalam pembanguan kota memang benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat.

Jujur saja, penulis skeptis dengan pembangunan pusat-pusat perdagangan dikota Yogkarta ini. Karena dengan pembangunan tersebut tidak menjamin nilai lebih dari kota Yogyakarta pada masa akan datang. Dibandingkan dengan pusat-pusat perdagangan yang ada dikota-kota besar di Indonesia, pembangunan pusat perdagangan di Yogyakarta masih jauh tertinggal, kalah modern, dan kalah megah pastinya. Jadi, mengapa pemerinta kota Yogyakarta terkesan “ngoyo” untuk menyamainya? Sementara predikat sebagai kota pendidikan justru semakin pudar...



Y RM Kurniawann Desiarto alumnus Univ. Muhammadiyah Yogyakarta dan peminat masalah kota tinggal di Yogyakarta.

No comments: