Saturday, April 28, 2007

Upah Buruh di Tengah Krisis

Kompas, Selasa, 30 April 2002

Peringatan Hari Buruh Sedunia di Era Otonomi Daerah

Upah Buruh di Tengah Krisis

Oleh Kurniawan Desiarto

MARAKNYA aksi protes kaum buruh di era reformasi mengalami eskalasi sangat tajam. Secara kuantitas perlawan-an buruh begitu masif, terutama sejak tahun 1998. Menurut Ditjen Binawas Depnaker, tahun itu tercatat lebih dari 600 kasus pemogokan buruh. Tentu saja kita dapat memahami ini bila melihat kondisi buruh secara riil. Mereka dituntut survive dengan upah rendah di tengah meroketnya harga-harga kebutuhan pokok dan dihapusnya berbagai subsidi sosial.

Sementara itu, pihak pengusaha keberatan atas tuntutan buruh karena biaya produksi yang dikeluarkan tinggi. Pasalnya, perusahaan dalam penyediaan bahan baku kebanyakan memperolehnya dengan mengimpor, dengan demikian harus selalu mengikuti fluktuasi kurs dollar. Sementara pasar produksinya sebagian untuk pasokan dalam negeri. Hal lain yang mempengaruhi biaya produksi adalah naiknya bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik.

Di sisi lain pemerintah pun memiliki masalah cukup berat yang harus segera ditangani. Beban utang menumpuk, ancaman relokasi industri oleh pengusaha, pengangguran yang telah mencapai angka 40 juta orang di tengah peningkatan angkatan kerja sekitar tiga persen per tahun dari 220 juta penduduk Indonesia, serta tidak sebandingnya antara tingkat pertumbuhan ekonomi yang hanya 3,5 persen dengan tingkat inflasi sekitar 13 persen di tahun 2001, merupakan permasalahan konkret yang dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah di bidang perburuhan.

Akan tetapi, itu semua bukan berarti mengorbankan hak-hak dan kepentingan buruh dalam meningkatkan kesejahteraan hidup, tuntutan manusia atas penghidupan layak sejalan dengan deklarasi HAM universal. Pada masa pemerintahan Orde Baru diterapkan hubungan industrial Pancasila (HIP)-sebuah upaya membangun hubungan kemitraan berdasarkan asas kekeluargaan untuk mengikat buruh dengan dalih kesetiaan pada ideologi-tetapi telah mengebiri hak-hak buruh. Mekanisme HIP kemudian menghasilkan intervensi pada pola hubungan yang bersifat represif dan sistematis. Akibatnya, buruh tidak mempunyai alat perjuangan yang signifikan, yaitu sebuah organisasi idependen yang lepas dari campur tangan pemerintah dan kontrol militer dalam memperjuangkan hak-haknya di bidang ekonomi, politik, dan hukum.

Politik pengupahan yang diterapkan rezim Orde Baru pun sangat jauh dari rasa keadilan. Hal ini juga diungkapkan Munir. Dia menyatakan, upah bukan lagi ditentukan oleh hasil kerja dan kuatnya industri, tetapi menjadi semacam hubungan karitatif pengusaha terhadap buruhnya. Konsep nilai kerja yang dalam logika ekonomi berkedudukan simetris dengan hasil, menjadi nilai kerja yang tak bermakna (YLBHI; 1999). Bahkan, sejak tahun 1969 lembaga bernama Dewan Penelitian dan Pengupahan Nasional (DPPN) dan Dewan Penelitian dan Pengupahan Daerah (DPPD) berwenang menentukan tingkat upah buruh tanpa didasarkan pada hukum permintaan-penawaran tenaga kerja di pasar. (Kompas, 13/01/2002)

Pelanggaran HAM

Memang tidak berlebihan bila pelanggaran hak buruh juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Pada dasarnya istilah buruh hanya sebuah "predikat", selebihnya dia adalah seorang manusia yang mempunyai hak dasar yang harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh siapa pun dan dipandang sebagai subyek hukum nasional maupun internasional.

Pelanggaran hak buruh bukan saja menyangkut kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, serta penghidupan yang layak, melainkan lebih-lebih lagi pada keadilan secara luas dan merata dalam pembagian hasil proses produksi. Sejalan dengan itu, dalam pernyataan umum tentang HAM dinyatakan dengan tegas: setiap orang yang bekerja berhak atas pengupahan yang adil dan menguntungkan, yang memberikan jaminan kehidupan yang bermartabat baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, dan jika perlu ditambah dengan perlindungan sosial lainnya (Pasal 23 Ayat 4).

Fenomena buruh saat ini tampak jelas bertentangan dengan pernyataan tersebut. Untuk dirinya sendiri saja dengan kebutuhan fisik minimum (KFM), yang masih di bawah standar, dia tidak cukup, lantas bagaimana dengan jaminan hidup untuk keluarganya?

Perlindungan atas HAM, terutama pada generasi kedua, menggagas tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya yang begitu luas dari segi pengertian dan lingkupnya. Dalam Piagam Ekonomi Internasional dinyatakan bahwa setiap orang mempunyai: 1) hak atas pangan yang memadai, sandang dan perumahan yang layak; 2) hak atas kebebasan dari kelaparan; 3) hak untuk memperoleh pemenuhan standar kesehatan jasmani dan rohani yang setinggi-tingginya.

Kendati Indonesia belum meratifikasi Kovenan tahun 1976 tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, bukan berarti mengabaikan hak-hak tersebut. Hak-hak tersebut secara normatif telah diatur dalam konstitusi negara kita, terutama pada perubahan kedua UUD 1945 Pasal 28D.

Dengan begitu, maka sesungguhnya persoalan buruh terhadap hak-haknya yang dilanggar bukan sebatas persoalan antara buruh dengan pengusaha semata. Hal tersebut telah menjadi persoalan setiap manusia, dan negara harus mampu menangani permasalahan ini dengan bijaksana. Karena pada negaralah dibebankan seluruh tanggung jawab untuk mengatur dan menjamin hak ekonomi, sosial, dan budaya secara adil. Sudah sepatutnya bila pelanggaran terhadap hak buruh ditempatkan dalam kategori pelanggaran HAM.

Otonomi daerah

Sejak diundangkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan mulai berlaku efektif mulai 1 Januari 2001-lebih dikenal sebagai UU Otonomi Daerah (UU Otda)-maka selanjutnya seluruh kewenangan pemerintah yang semula dimiliki pusat (sentralisasi) dialihkan ke daerah (desentralisasi). Pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan daerahnya atas prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat dan dilakukan gubernur sebagai wakil pemerintah atau perangkat pusat di daerah (dekonsentrasi).

Sebagai langkah konkret dalam mengatur kewenangan daerah untuk mengurus rumah tangganya, dikeluarkanlah implementasi dari UU Otda tersebut, yaitu PP No 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Di situ ditetapkan pemerintah daerah berwenang untuk menetapkan dan mengawasi atas pelaksanaan upah minimum (Pasal 3 Ayat 5 Butir 8). Dengan demikian segala kebijakan mengenai penetapan upah minimum dan pengawasannya tidak lagi dilakukan pemerintah pusat, melainkan oleh pemerintah daerah menurut jenis pekerjaan dan daerah di mana pekerja melakukan aktivitasnya.

Ternyata penerapan di lapangan tidak seperti yang diharapkan. Sejak dibubarkannya Kanwil Depnaker dan diganti oleh Dinas Ketenagakerjaan yang menjadi bagian dari pemerintah daerah, justru terjadi kerancuan. Pengawasan yang dilihat sebagai fungsi basah dipegang oleh orang-orang yang tidak adil dan cenderung memeras pengusaha. (Kompas, 29/7/2001). Bahkan, pejabat di daerah tidak segan-segan memberlakukan aturan yang tidak masuk akal, dengan cara membuat peraturan daerah untuk menarik retribusi sebanyak mungkin di luar urusan produksi, meliputi biaya keamanan dan pemeliharaan jalan, air tanah, sampah sampai ke urusan administrasi kelurahan dan penerangan jalan umum dengan dalih otonomi daerah. (Kompas, 5/11/2001)

Masalah lain ketenagakerjaan berkaitan kewenangan pemerintah pusat di bidang ketenagakerjaan secara makro yang menyangkut penetapan kebijakan hubungan industrial, perlindungan pekerja, dan jaminan sosial pekerja (Pasal 2 Ayat 3 Butir 9) adalah keluarnya draf RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (RUU PPHI). RUU ini mencabut sekaligus mengganti UU No 22/1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU No 12/1964 tentang PHK di Perusahaan Swasta, yang rencananya akan diundangkan pada tahun 2001 lalu. Sampai sekarang RUU itu masih dibahas di DPR. (Kompas, 28/3/ 2002) Sejak digulirkan RUU PPHI ini banyak menimbulkan perdebatan di berbagai kalangan.

Salah satu sebabnya adalah pembahasan RUU tersebut dilakukan tanpa menyertakan serikat buruh dan stakeholders perburuhan lain di samping substansi dari RUU PPHI itu sangat merugikan buruh. Dalam RUU PPHI PHK menjadi wewenang mutlak pengusaha, bandingkan dengan UU No 12/ 1964, pengusaha harus minta izin ke P4D atau P4P bila hendak melakukan PHK. Paling fatal RUU PPHI telah mengebiri hak asasi buruh untuk berserikat, berunding, dan mogok. Padahal, hak mogok adalah hak asasi buruh yang sejalan dengan hak berserikat sesuai dengan konvensi ILO No 87 yang sudah diratifikasi pemerintah pada masa pemerintahan Habibie awal Juni 1998.

Melalui peringatan hari buruh sedunia ini diharapkan era otonomi daerah adalah dimulainya hubungan harmonis antara pemerintah, pengusaha, dan buruh. Pemerintah harus segera merevisi RUU PPHI sebelum diundangkan dengan mengakomodasi hak-hak buruh dan melindungi buruh sebagai pihak lemah dan mempersiapkan perangkat di daerah yang benar-benar ahli di bidang ketenagakerjaan. Juga harus menghilangkan praktik
pemungutan biaya di luar urusan produksi (biaya siluman) dengan dalih
otonomi daerah.

Dengan demikian tidak ada lagi alasan bagi pengusaha menekan upah buruh atas kenaikan biaya (cost) produksi dengan adanya biaya siluman. Akan tetapi, yang paling mendasar adalah memosisikan buruh sebagai mitra kerja dalam hubungan produksi, bukan menempatkan buruh sebagai faktor produksi atau obyek pelengkap.

Dan, the last but not least, pihak pengusaha harus sadar meskipun memiliki berbagai masalah seperti dipaparkan di atas, mereka harus dapat mengerem keinginan mencari untung besar. Sifat loba dan tamak inilah yang dapat menimbulkan konflik kelas manakala kebutuhan fisik minimum buruh masih berada di bawah standar.

Mungkin tidak ada salahnya pengusaha mencoba hidup dengan uang belanja sebulan sesuai dengan UMP, sehingga akan mengerti yang disebut dengan kemiskinan dan penderitaan serta memahami arti keadilan dan kemanusiaan.

Semoga!

KURNIAWAN DESIARTO Peneliti pada LBH-HAM Yogyakarta dan Sekjen Forum Anti Penindasan Buruh Yogyakarta

No comments: