Tuesday, May 1, 2007

Menjadikan Pelayanan Publik Sebagai Hak Masyarakat

Dimuat di: Harian Seputar Indonesia,17 Juni 2006


Menjadikan Pelayanan Publik Sebagai Hak Masyarakat

Oleh: RM Kurniawan Desiarto

Tidak kurang dari 60 tahun negara ini merdeka, bertujuan diantaranya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Cita-cita yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 adalah (sangat) mulia. Lantaran saking mulia dan sudah berpuluh-puluh tahun, sampai-sampai penyelenggara negara nyaris lupa untuk mewujudkannya kedalam bentuk pelayanan publik (yang baik).

Baru ingat pada tahun 2004, yang dicanangkan sebagai tahun peningkatan pelayanan publik. Semenjak itu maka aturan main dalam pelayanan publik mulai digagas ke dalam bentuk Undang-undang Pelayanan Publik yang kini tengah dibahas dan berbentuk RUU. Sekalipun terlambat, tapi bukan berarti tidak sama sekali, niatan pemerintah untuk mewujudkan pelayanan publik yang baik perlu ditanggapi secara apresiatif.

Birokrasi Tidak Bersahabat

Sudah lumrah bahwa pelayanan publik di Indonesia jauh dari memuaskan, untuk tidak menyebut buruk. Perlu diketahui, penyebab terjadinya pelayanan publik yang kurang/tidak memuaskan ini adalah orang-orang yang berada dalam sistem secara fungsional bertugas melayani masyarakat yang dalam hal ini adalah birokrat pelayan publik. Citra negatif birokrasi pelayanan publik sudah sedemikian melekat dimata masyarakat.

Slogan miring sering bermunculan, seperti, “Jika bisa bayar mengapa harus gratis, jika bisa dipersulit mengapa dipermudah, jika bisa diperlama mengapa dipercepat”. Masyarakat yang mustinya sebagai subyek justru menjadi obyek dari pelayanan. Bahkan (terkadang) menjadi sapi perahan oleh aparat pelayanan publik. Ini semakin mempertegas bahwa birokrasi pelayanan publik tidak bersahabat.

Birokrasi yang seharusnya mempermudah urusan pelayanan publik justru mempersulit masyarakat selaku penerima layanan. Karena tidak transparan dan ditunjang sikap tidak profesional serta SDM yang kurang memadai semakin menjauh dar visi dan misi pelayanan publik. Tidak sedikit aparat/pejabat pelayanan publik yang mengutip—ketimbang menyebut pungli—sejumlah uang dari penerima layanan yang melebihi biaya resmi.

Malah terkadang dalam pemberian layanan yang semestinya cuma-cuma, ternyata dikenakan biaya. Dengan alasan, sebagai ganti biaya administrasi. Wow!. Padahal, semua itu sudah menjadi tanggungan negara, sama halnya dengan gaji aparat/pejabat pelayanan publik yang ditanggung negara. Tapi apa lacur, dengan kata ‘seikhlasnya’, si penerima layanan yang sedang terburu-buru yang kebetulan membawa cukup uang, sedangkan aparatnya doyan sekaligus berharap duit. Maka klop lah sudah. Hanya dalam beberapa kerjapan mata serah terima uang selesai.

Selebihnya, senyum kebahagiaan dari aparat/petugas pelayanan publik jika mendapat angpau yang jumlahnya lumayan besar. Sebaliknya, jika angpau kecil akan diganjar secara kontan dengan pelototan mata yang angker tanpa bisa membatalkan pelayanan publik yang sudah diberikan.

Hak Masyarakat

Sebenarnya ada dua penyebab mengapa birokrasi pelayanan publik tidak bersahabat. Pertama, belum terbentuknya sistem birokrasi yang rasional, melainkan masih melanggengkan budaya kolonial dan beraroma KKN. Menurut Blau dan Meyer (terj.1987), birokrasi merupakan lembaga yang sangat berkuasa, memiliki kemampuan besar untuk berbuat kebaikan ataupun keburukan. Masalah yang dihadapi masyarakat (demokratis) adalah bagaimana memperoleh dan mempertahankan pengawasan demokrasi terhadap birokrasi agar dapat bekerja demi kepentingan publik.

Kedua, belum adanya aturan main birokrasi pelayanan publik yang jelas dan aturan main yang setingkat dengan undang-undang. Selama ini aturan main hanya sebatas Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (SK Menpan). Itupun hanya kalangan internal lembaga dan tidak diketahui masyarakat luas.

Berbeda jika aturan main terhadap (birokrasi) pelayanan publik diatur dengan undang-undang. Dus, dalam pelayanan publik selain terdapat asas dan prinsipnya serta kepastian dan tepat waktu, yang terpenting adalah masyarakat dapat mengetahuinya. Tetapi fenomena yang kerap terjadi adalah aparat pelayanan publik tampak terbebani dengan adanya masyarakat yang membutuhkan pelayanan publik. Seakan mereka orang terpenting dimuka bumi ini ketika masyarakat mendatanginya.

Dalam RUU Pelayanan Publik draft VIII bertanggal 17/02/05 yang menjadi pijakan hukumnya yakni Pasal 34 ayat (3) UUD 1945. Sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi disebutkan, Negara bertanggung jawab atas penyedia fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Karena merupakan tanggung jawab negara, maka artinya pelayanan publik yang baik merupakan hak masyarakat untuk medapatkannya. Sebaliknya merupakan kewajiban negara untuk memenuhi pelayanan pelayanan publik yang baik, siapapun yang duduk dalam pemerintahan. Pelayanan publik yang baik merupakan perwujudan dari adanya kesejahteraan umum, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 sejak enam puluh tahun lalu.

Diakuinya hak masyarakat dalam mengakses dan menerima pelayanan publik yang baik dalam konstitusi ialah suatu keniscayaan dalam pemerintahan yang demokratis. Dimana dalam RUU Pelayanan Publik yang kelak menjadi UU Pelayanan Publik merupakan aturan main yang baku dan harus dilaksanakan oleh oleh aparat pelayanan publik dalam rangka mewujudkan good governance di Indonesia.

Lebih jauh, karena merupakan hak masyarakat maka pelayanan publik tidak boleh bersifat diskriminatif yaitu meniadakan perbedaan suku, agama, status sosial, dan sebagainya. Tidak ada alasan yang kuat bagi aparat pelayanan publik untuk bersikap tidak baik berupa menunda-nunda pelayanan (undue delay), tidak ada kejelasan, tidak ada kepastian, tidak bertanggung jawab dan diskriminatif.

Pengawasan Pelayanan Publik

Sumber daya manusia yang kurang memadai, birokrasi yang belum berjalan sebagimana mestinya dan tanpa dukungan sarana-prasarana telah menegasikan hak masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik. Masyarakat kerap di ping-pong ataupun diperas dengan alasan se-ikhlasnya untuk mengganti biaya administrasi yang jelas-jelas sudah ditanggung negara ketika sedang membutuhkan pelayanan publik.

Untuk dapat merubah sikap atau perlaku dari aparat pelayanan publik yang merugikan masyarakat maka diperlukan pengawasan. Selama ini pengawasan terhadap pelayanan publik hanya dilakukan secara internal ke lembagaan dan cenderung tidak memperbaiki atau meningkatkan kualitas pelayanan publik. Sejalan dengan asas umum penyelenggaraan pelayanan publik yang baik bersifat partisipatif, maka pengawasan dengan jalan melibatkan peran serta masyarakat.

Peningkatan kualitas pelayanan publik agar menjadi baik dengan cara melakukan pengawasan terhadap aparat pelayanan publik telah terakomodir dalam RUU tersebut. Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan dengan dua jalan, pertama pengawasan intern, yang dilakukan oleh atasan dan oleh aparat pengawasan fungsional. Kedua, pengawas ekstern yang dilakukan oleh masyarakat secara langsung dan pengawasan yang dilakukan oleh Ombudsman untuk memberikan perlindungan hak-hak masyarakat, keadilan dan kesejahteraan dalam memperoleh pelayanan publik yang baik.

Perlunya pengawasan terhadap pelayanan publik adalah agar terpenuhinya hak masyarakat dalam mengakses pelayanan publik. Tanpa adanya pengawasan ekstern sangat sulit untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik. Sebab, selama ini aparat pelayanan publik tidak sedikit yang masih belum memahami tugas dan pengabdiannya dalam memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat.



RM Kurniawan Desiarto pendiri Institue of Law, Human Rights and Democracy (ILHAD) dan asisten Ombudsman Nasional di Komisi Ombudsman Nasional.

No comments: