Friday, April 27, 2007

Covering Jews?The Gharbzadegi By Media To Islam

Covering Jews?

The Gharbzadegi By Media To Islam

(Personal Reflections)

Oleh : Kurniawan Desiarto

"Kalau negara-negara Eropa mengaku membunuh orang-orang Yahudi pada Perang Dunia II", Jerman atau Austria seharusnya menyediakan wilayah untuk mendirikan Israel”, ucap Presiden Iran Mahmoud Ahmadinedjad dalam pidatonya dikota Zahedan, Iran Tenggara pada awal Desember lalu. Bahkan, "Dewasa ini mereka menciptakan mitos pembantaian orang Yahudi yang mereka anggap sebagai prinsip yang lebih penting daripada Tuhan, agama dan para nabi”.

Kalau Eropa yang melakukan kejahatan besar itu, mengapa bangsa Palestina yang tertindas harus menanggung akibatnya? Usul kami begini: berikan sebagian tanah anda di Eropa, Amerika Serikat, Kanada atau Alaska agar kaum Yahudi bisa mendirikan negara mereka," (www.bbcindonesia.com,14/12/05).

Padahal bulan Oktober lalu, dia juga membuat heboh dengan pernyataannya agar "Israel dihapus dari peta dunia". Tak urung pernyataan Ahmadinedjad tersebut, menimbulkan kecaman dari AS, Australia dan negara-negara Uni Eropa, serta pihak yang paling bersangkutan, Israel. Jika pernyataan Ahmadinedjad tidak tertuju ke Israel, kecaman yang diterimanya tak akan sekeras itu.

Ini juga pernah diterima mantan PM Malaysia, Mahathir Mohamad dalam pembukaan KTT X Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Putrajaya, Malaysia (16/10/03). Maupun sikap presiden Prancis, Jacques Chirac, yang memblokir Uni Eropa agai tidak mengecam Mahathir justru mendapat julukan anti Yahudi, seperti yang ditulis dalam opini surat kabar Israel (The Maariv, 19/10/03).

Sebenarnya pernyataan Ahmadinejad—terlepas emosional atau tidak—jika dilihat dari fakta-fakta dan sejarah kelam bangsa Yahudi dalam mendirikan negara Israel adalah benar. Pemberitaan media (Barat) yang bias seolah Ahmadinedjad adalah musuh, tanpa mau menuliskan sejarah kelam bangsa Yahudi di Palestina. Dan pukulan Barat (gharbzadegi) oleh medianya terhadap Islam sungguh menyakitkan.

Black History

Berdirinya negara Israel pada 15 Mei 1948 di wilayah Palestina bukan saja kontroversial, tapi suatu bentuk imperialisme dan kolonialisme di tanah Arab. Ini bertalian dengan cita-cita awal gerakan Zionisme yang didirikan seorang wartawan dari Wina (Austria), Theodore Hertzel (1860-1904) ditahun 1896. Menurut Roger Geraudy (terj.1988), gerakan Zionisme terbagi menjadi dua. Pertama, sebagai gerakan keagamaan. Zionisme telah memunculkan suatu tradisi berziarah ke tanah suci yaitu, Zion. Kedua, sebagai gerakan politik dalam rangka “National Home for Jews”.

Pada 29 Oktober s/d 11 November 1897 di kota Basle (Swiss), digelar konggres pertama gerakan Zionis. Konggres itu merekomendasikan berdirinya negara khusus—pilihannya Argentina, Uganda dan Palestina—bagi kaum Yahudi. Dan secara tegas pada konggres tahun 1906 merekomendasikan negara bagi bangsa Yahudi di Palestina. Sesudahnya, untuk merealisir niatnya maka, terjadi arus imigrasi kaum Yahudi dan berusaha membeli ladang-ladang Palestina dari bangsa Arab. Bersamaan itu, situasi politik di benua Eropa tengah berkecamuk Perang Dunia/PD I (1914-1918) yang memberikan peluang orang Yahudi melakukan lobi dengan Inggris, Prancis, Amerika maupun Rusia.

Kenyataan itu membuat kecewa para nasionalis Arab yang sedang berjuang melawan kekuasaan Dinasti Ottoman (Turki) yang didukung Jerman. Disisi lain, Inggris memberikan janji sebuah negara di Palestina pada gerakan Zionisme. Ini dilakukan karena ada kekhawatiran dan kecemburuan akan kemajuan orang Yahudi sebagai penggerak perekonomian di Inggris maupun negara di Eropa lainnya dibandingkan kaum pribuminya.

Kemudian terdapat dua peristiwa sejarah yang menjadi landasan berdirinya negara bagi kaum Yahudi. Pertama, Perjanjian Sykes-Picot tahun 1916 antara Inggris, Prancis dan Rusia (sekutu). Tujuannya, mencengkram wilayah-wilayah Arab bekas peninggalan Dinasti Ottoman dan membagi diantara mereka. Berakhirnya PD I dengan kemenangan sekutu menyebabkan Inggris mendapatkan wilayah Palestina dan Irak. Prancis mendapatkan wilayah Suriah dan Lebanon, sisanya diberikan Rusia.

Kedua, Deklarasi Balfaur 1917. Menlu Inggris keturunan Yahudi Arthur James Balfaur, memberi tahu pemimpin Zionis Inggris, Lord Rothschild, bahwa Inggris akan memperkokoh pemukiman Yahudi di Palestina. Dibawah payung legitimasi Sykes-Picot dan Deklarasi Balfaur, orang Yahudi melakukan imigrasi massal. Saking banyaknya orang Yahudi yang berimigrasi, mereka mulai bertingkah, tak ubahnya seperti kolonial Inggris. Serta tak segan-segan melakukan praktik rasisme terhadap penduduk asli Arab di Palestina.

Akibatnya, daerah Yahudi yang semula hanya pemukiman berubah menjadi sebuah negara Israel Tahun 1948. Menurut John L. Esposito (1992), berdirinya Israel tampak sebagai contoh duplisitas kolonialisme Eropa dan keinginan untuk tetap membuat bangsa Arab terpecah dan lemah. Sementara Palestina—si empunya tanah Israel—hingga kini masih dalam proses menjadi sebuah negara, yang katanya akan dibentuk tahun 2005. Namun, sepeninggalan almarhun Yasser Arafat pada Oktober 2004, sampai di penguhujung tahun 2005 ini, janji tersebut tak lebih sekadar retorika.

Mengapa Harus Islam?

Selama ini pemberitaan media massa Barat cenderung bias dan memberi stigma yang tidak benar pada Islam. Saat ini, pendefinisian Islam secara negatif, tak berbudaya dan radikal oleh media Barat bukan hilang malah kian parah. Sementara Israel yang juga melakukan aksi teror terhadap warga Palestina, bahkan pernah mengurung almarhum presiden Araffat tidak dicap sebagai teroris. Dalam hal ini media Barat terkesan membela kepentingan Yahudi.

Media telah menjejali pembaca bahwa mereka telah memahami Islam, tetapi pada saat yang sama tidak mengakui pembahasan dalam liputan yang gegap gempita ini didasarkan materi yang sama sekali tidak objektif, Sebagaimana yang diungkapkan almarhum Edward W.Said dalam Covering Islam. Tambahan lagi, dalam banyak contoh, Islam telah menerima bukan saja perlakuan yang tidak tepat, melainkan juga ekspresi etnosentrisme yang melampaui batas kebencian kultural bahkan rasial serta permusuhan mendalam yang secara paradoksal mengalir bebas.

Semua ini telah menjadi bagian apa yang dianggap sebagai liputan yang adil, seimbang, dan bertanggung jawab tentang Islam. Bagi jurnalis barat aktivitas meliput dan menutupi Islam hampir telah menghilangkan perenungan tentang gejala seperti; persolan umum,pengenalan dan kehidupan disebuah dunia yang kompleks dan beragam untuk generalisasinya secara cepat dan mudah (Said; 1981).

Sekadar contoh saja, bagaimana jurnalis Barat sebatas menulis berita saja tanpa menelusuri lebih jauh peristiwa yang melatarinya mengenai resolusi Majelis Umum (MU) PBB No.3379, pada 10 November 1975 yang menegaskan bahwa Zionisme adalah bagian dari bentuk rasisme, telah dihapus oleh MU PBB berdasarkan suatu rekomendasi 86/46 pada 16 Desember 1991, atas permintaan Israel dan AS. Alasannya, sebagai harga politik kesediaan Israel ikut serta dalam konferensi damai di Madrid pada 30 Oktober 1991 dengan sponsor AS dan Uni Soviet. Lantas, dimana peran jurnalis (Barat) waktu itu?

Sementara sikap pemerintahan Barat dalam melihat Islam masih tetap belum berubah, dalam kerangka kolonialisme. Seperti yang diceritakan Huntington (1996), selama 15 tahun antara tahun 1980-1995, menurut Departemen AS, Amerika menggelar tujuh belas operasi militer di Timur Tengah, seluruhnya untuk menyerang Islam. Tidak pernah dilakukan bentuk-bentuk oprasi militer AS yang sedemikian itu terhadap peradaban lain (baca: negara non muslim).

Ketakutan Barat terhadap Islam sebagai suatu ancaman semakin kuat dan diamini oleh medianya. Bagaimana pemerintah AS menuduh al-Qaida sebagai dalang September kelabu WTC, sampai sekarang belum terbukti. Yang oleh media (Barat) justru disebar-luaskan bukan mengkritik pemerimtah AS yang asal tuduh. Juga tuduhan kepada Irak yang membuat senjata pemusnah massal, ternyata sampai Saddam diadili, tuduhan membuat senjata pemusnah massal masih belum terbukti.

Bagi orang yang mengkritik AS dan Israel dari kalangan Islam justru dihujat habis-habisan sekalipun itu benar. Malahan sikap kejam Israel terhadap bangsa Palestina, dibiarkan berlarut dan media Barat kurang pro-aktif dibanding pemberitaan aksi perlawanan yang dilakukan oleh gerakan Islam. Padahal jurnalis tidak boleh menyembunyikan informasi penting yang patut untuk disebarkan. Bukan untuk merendahkan, menebar kebencian, prasangka, diskriminasi dalam masalah suku, ras, bangsa, politik ataupun agama. Melainkan untuk mencari sekaligus meletakkan kebenaran diatas segalanya apapun risikonya.

Dan para jurnalis perlu menghilangkan keraguan demi menebarkan berita atas peristiwa yang mereka ketahui dalam sanubari tentang kebenaran, demi ketidakbenaran yang terjadi menyangkut idiologi, bangsa, ras sampai pada agamanya sekalipun.

Secara personal, sebagai jurnalis, saya ragu dengan apa yang saya tulis. Saya muslim…Wallahualam.




y Kurniawan Desiarto, Alumnus FH Univerversitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta.

No comments: