Friday, April 27, 2007

Menjaga Merek;Sebuah Upaya Guna Membangun ‘Image’

Menjaga Merek

Sebuah Upaya Guna Membangun ‘Image’

Oleh : Kurniawan Desiarto

Pendahuluan

Datangnya milenium baru telah memberikan tantangan dan kesempatan baru dihadapan kita, khususnya, meluasnya batas ekonomi global yang terus berkembang melampaui ekspansi dan keyakinan yang paling optimistis[1]. Milenium baru yang sering disebut banyak orang sebagai era globalisasi telah meningkatkan arus perdagangan barang dan jasa tanpa mengenal batas negara.

Menurut Kenichi Ohmae, akibat dari globalisasi telah menghapuskan batas-batas nasional dan membentuk batas-batas tersendiri yang sifatnya non politik dengan berdasarkan kepada kapasitas pergerakan ekonomi; keadaan ini disebutnya sebagai region state[2]. Dimana pergerakan ekonomi ini, terutama perdagangan barang dan jasa membutuhkan sebuah merek (dagang) untuk membedakan barang dan jasa lain, baik yang tidak sejenis, terlebih yang sejenis. Barangkali tanpa adanya sebuah merek, perdagangan barang dan jasa tertentu boleh jadi sulit untuk dipasarkan.

Begitu besarnya peran merek dalam perdagangan barang dan jasa membuat Thomas L. Friedman, seorang jurnalis dalam bukunya Understanding Globalization: The Lexus and the Olive Tree, memberikan tanggapan, “dalam dunia yang telah mengalami globalisasi, perusahaan global atau negara yang kuat perlu pula memiliki merek yang kuat yang dapat menarik dan menahan konsumen dan investor”. Menurut sebuah tim perusahaan konsultasi Mc Kinsey ’sebuah nama menjadi sebuah merek’, demikian Friedman menulis, ‘ketika para konsumen mengasosiasikan hal itu dengan sejumlah keuntungan yang nyata atau tidak nyata, yang mereka dapatkan dari produk atau pelayanan itu. Asosiasi ini menumbuhkan dan meningkatkan dengan kuat kesetiaan dan keinginan konsumen untuk membayar di atas harga sebenarnya’.

Arti Penting sebuah Merek

Secara normatif, definisi merek telah diatur dalam Undang-undang No. 15 tahun 2001 Tentang Merek. Dalam Undang-undang Merek disebutkan, merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa (Pasal 1 ayat (1))

Tidak jauh berbeda dari pengertian menurut ketentuan undang-undang, Essel R. Dillavou disebutkan seraya memberi komentar bahwa:

“No complete definition can be given for a trademark generally it is any sign. Symbol mark, work or arrangement of words in the form of a label adopted and used by a manufacturer or distributor to designate his particular goods, and which no other person has the legal right to use it. Originally, the sign or trademark, indicated origin, but today it is used more as an advertising mecanism”[3].

Selain sebagai daya pembeda terhadap barang dan atau jasa baik yang sejenis ataupun tidak, memang merek sangat penting dalam mekanisme dunia periklanan (advertising) dan pemasaran (marketing). Karena masyarakat sering mengaitkan suatu ‘image’, kualitas atau reputasi dari suatu barang atau jasa dengan merek tertentu. Sebagai misal, untuk celana Jeans, merek Levi’s memberikan ‘image’ bahwa celana berbahan denim meiliki kualitas atau reputasi yang bagus.

Di negara-negara industri maju merek dianggap sebagai ‘roh’ produk barang atau jasanya. Tidak dapat dibayangkan oleh kita suatu produk yang tidak memiliki merek, tentu tidak akan dikenal atau dibutuhkan oleh konsumen[4]. Selanjutnya, merek juga berfungsi sebagai sarana promosi (means of trade promotion) dan reklame bagi produsen atau pengusaha. Dengan adanya promosi ini, maka nilai penjualan akan makin meningkat sekaligus dapat memperluas pasarannya. Sedemikian pentingnya akan sebuah merek, terkadang suatu perusahaan sampai-sampai memandang lebih berharga merek perusahaannya dibandingkan dengan aset perusahaan yang dimiliknya.

Merek juga berguna untuk para konsumen. Mereka membeli produk tertentu (yang terlihat dari mereknya). Karena menurut mereka, merek tersebut berkualitas tinggi atau aman untuk dikonsumsi dikarenakan reputasi dari merek tersebut. Jika sebuah perusahaan menggunakan merek perusahaan lain, [para konsumen mungkin merasa tertipu karena telah membeli produk dengan kualitas rendah[5].

Bagi para konsumen handphone (HP), merek juga merupakan jaminan dari kualitas hp tersebut. Dimana para calon konsumen tentunya akan mempertimbangkan beragam alasan untuk menjatuhkan pilihannya. Dengan diketahuinya sebuah merek hp, maka calon konsumen kurang lebihnya sudah mengetahui secara pasti melalui iklan dan promosinya.

Memenangi Perang Iklan

Dewasa ini, iklan merupakan suatu kebutuhan yang mendasar ketika seorang produsen ingin menjual produknya. Tidak berlebihan jika iklan juga disebut sebagai ujung tombak penjualan. Dengan iklan maka merek suatu produk akan cepat dikenal oleh khalayak. Hampir bisa dipastikan tanpa adanya iklan, maka produk barang atau jasa akan lebih sulit dipasarkan. Bahkan terkadang suatu produsen sebelum melemparkan produk barunya ke pasar, mereka lebih dahulu memasang iklan baik di media cetak maupun elektronik. maksudnya bukan untuk mengidentifikasikan calon konsumen, melainkan untuk menarik perhatian dari para calon konsumen.

Dengan kata lain, untuk membangun merek yang kuat, dibutuhkan adanya iklan. Akan tetapi, permasalahannya sudah banyak produsen yang menyadari akan peran iklan itu sendiri, yang pada akhirnya akan menimbulkan perang iklan terhadap barang atau jasa yang sejenis. Oleh karena itu dibutuhkan iklan yang baik untuk memenangi perang iklan.

Menurut Wicaksono Noeradi, membuat iklan yang baik memang susah, tergantung kepada kacamata yang digunakan. Apakah dari kacamata pengiklan (pembuat iklan) atau konsumen. Sebab, bagi pengiklan, iklan yang baik adalah yang bisa menjual produknya secara maksimal dalam waktu yang ditentukan. Sedang bagi konsumen, iklan yang baik harus informatif, jujur dan menarik. Berbeda lagi dari kacamata praktisi yang dalam hal ini berada dalam posisi tengah, dalam kacamatanya, iklan yang baik antara lain harus komunikatif sekaligus etis.

Dengan posisi tengahnya tersebut, tak jarang dalam proses pemunculan iklan, pengiklan kerap mendatangi praktisi. Dan, praktisi mengusulkan strategi periklanan, yaitu berupaya menyeimbangkan tuntutan-tuntutan pengiklan maupun konsumen. Namun akhirnya, keputusan final tetapada di tangan pengiklan. Artinya, kepentingan sebagai produsenlah yang harus menang. Karena iklan adalah kiat pemasaran, maka tetap saja tolak ukur keberhasilannya adalah angka penjualan[6].

Sungguhpun demikian, untuk mencari cara-cara yang paling efektif dalam pemasaran, para pemasang iklan perlu mengembangkan sebuah alternatif untuk menghasilkan iklan, yakni periklanan citra. Periklanan citra tidak menghilangkan loyalitas terhadap merek tertentu, juga tidak menggantikan produk. Lebih dari itu, periklanan citra akan memperkuat dan menggunakan loyalitas terhadap merek dan produk, mengingat bahwa dalam periklanan produk, loyalitas terhadap merek berasal dari hasil pengulangan rencana penjualan yang khas (unique selling prosition/USP) yang ditanamkan dalam benak para konsumen melalui kata-kata serta pengotakan kualitas material suatu produk. Periklanan citra menanamkan citra dari keuntungan dukungan yang berhubungan dengan sebuah produk. Yang pada kenyataannya, berbeda dengan saingannya bukan dalam bidang material[7].

Lebih lanjut, ditulis oleh Combs dan Nimmo, para pemasang iklan memberikan personalitas bagi produknya melalui daya tarik kehangatan, kecocokan, emosi dan kegembiraan sosial. Menggunakan sebuah produk bukan berarti menggunakan sebuah benda material, melainkan untuk mengidentifikasikan diri dengan suatu keadaan sosial. Kemudian dicontohkan pula oleh Comb dan Nimmo, Proctor and Gamble, dengan sejumlah merek sabunnya di pasar, menciptakan sebuah figur sosial bagi setiap merek: ‘Ivory’ semurni kasih ibu dan anak melalui iklan-iklan Ivory, ataupun ‘Camai’ merupakan sabun bagi para wanita yang mencari sesuatu yang glamor, sempurna dan sukses. Kesimpulan dari perbedaan antara produk dan periklanan citra tercakup dalam kalimat: ”Jangan menjual steak, juallah desisannya”.

Memahami Psikologi Konsumen

Berangkat dari bukti-bukti di atas, seharusnya cukup meyakinkan tentang fungsi dan peranan iklan, serta keampuhannya sekaligus seperti yang dipaparkan oleh Kafi Kurnia. Bahkan katanya lagi, iklan bisa digunakan secara benar memang ampuh. Demikian berlaku sebaliknya, iklan hanya pengeluaran boros bila tidak dilakukakn dengan benar.

Melalui iklan yang benar inilah, maka Coca Cola yang telah memenangi Brand Award selama tiga tahun berturut-turut, dikalahkan oleh Fanta, karena selama satu tahun belakangan ini Fanta dengan gencar mengiklankan diri disamping cara pengiklananna yang tepat, utamanya.

Untuk dapat mengiklankan merek dan produk secara baik, dalam artian selain dikenal oleh khalayak, yang lebih penting adalah bagaimana supaya produk tersebut banyak terjual, dituntut untuk bisa memahami psikologi konsumen. Psikologi konsumen sangat berepengaruh sekali terhadap penjualan produk. Memahami psikologi konsumen tidak bisa langsung disimpulkan begitu saja. Sebab terdapat beberapa karakter konsumen yang berbeda-beda.

Apabila dulu produsen bingung bagaimana membuat suatu produk (how to product). Tampaknya saat ini yang menjadi permasalahan adalah bagaimana cara menjual produknya (how to sell). Untuk bisa memahami konsumen, sudah jelas pertanyaan pertama yang harus dijawab bagaimana cara menjualnya? Yang perlu diperhatikan disini adalah karakter dari pada konsumen itu sendiri. Sebab dalam dunia periklanan dan pemasaran, dikenal dengan istilah: “I know my people”

Secara garis besar, karakter konsumen berbeda-beda tergantung dari jenis produk yang akan dipasarkan. Untuk produk sebuah hp misalnya, maka terdapat tiga karakter yang berbeda. Pertama, konsumen yang berkarakter loyal (loyal customers). Konsumen yang berkarakter loyal ini adalah mereka yang sangat fanatik terhadap merek hp tertentu. Mereka sulit untuk mengganti pesawat ho dengan merek lain. Biasanya konsumen yang fanatik ini sudah mengenal merek tersebut jauh sebelum membeli. Kedua, konsumen mengambang (floating consumers). Mereka ini adalah orang-orang yang mudah terpengaruh oleh iklan atau lingkungan sekitarnya. Misalkan saja, seseorang yang telah memiliki hp dengan merek A, bisa saja mengganti hpnya dengan merek B karena terpengaruh oleh iklan atau para kolega yang berada di sekitarnya. Ketiga, konsumen pemula (beginner consumers). Pada kelompok ini adalah mereka yang baru akan memiliki pesawat hp. Mereka biasanya kurang begitu memahami keunggulan dan kelemaan dari pesawat hp dengan merek-merek tertentu.

Setelah memahami karakter dari masing-masing konsumen, juga penting untuk diperhatikan bahwa dalam beriklan, adalah bagaimana caranya iklan tersebut dapat menohok psikologis para konsumen. Sebab dengan menohok psikologis, dapat dikatakan bahwa iklan tersebut berhasil. Misal, iklan Susu Dancow adalah susu terbaik bagi pertumbuhan anak. Dalam iklan tersebut digambarkan dengan meminum susu bermerek Dancow, seorang anak dapat tumbuh dengan cepat, yaitu sesudah meminum susu Dancow si anak langsung dapat menyentuh kupingnya dengan tangannya.

Strategi ‘Business’ Mengiklankan Merek

Dalam mengiklankan sebuah merek strategi bisnis dalah salah satu kata kuncinya. Sebuah perusahaan akan menjadi besar dan mereknya akan dikenal luas akan memakai strategi bisnis untuk mengiklankan merek dan produknya. Strategi bisnis disini bukan menangkut pada masalah prduksi, melainkan lebih dititikberatkan pada bagaimana menjual mereknya melalui iklan.

Suatu strategi bisnis mengiklankan merek bukanlah merupakan sejumlah tindakan dengan membayar biaya iklan yang besar, tetapi bagaimana iklan tersebut dapat membentuk image pada para calon konsumen. Karena sehebat apapun sebuah produk dan bearna suatu perusahaan bkan merupakan jaminan untuk dapat menjaring para konsumen. Sebab, konsumen memiliki karakteritik yang berbeda. Maksud dan tujuannya dari strategi bisnis dalam mengiklankan biaya produksi tidak hanya memepertimbangkan biaya produksi semata, tetapi lebih mengaitkan pada merek dagang dan nama dagangnya. Disinilah para pemiliki merek harus mengerti pasar (understanding market), mengerti kwmampuan membeli dari konsumen (undersatnding buyers), mengerti tingkat persaingan (understanding competiton). Dari ketiga hal tersebut, maka akan ditemukan sebuah pesan dalam bentuk slogan yang mengukuhkan identitas sebuah merek.

Pilihan slogan yang tepat merupakan strategi bisnis mengiklankan merek secara jitu. Sudah terbukti dengan merek ‘Irex Max’ produk penambah stamina bagi pria, sangat sukses di pasaran. Dibandingkan ‘Supertin’ yang bisa dikatakan gagal di pasar. Merek yang disebut terakhir ini kurang tepat dalam memilih slogannya, ‘loh kok loyo?’. Waktu itu, masyarakat masih malu-malu untuk membeli produk tersebut yang tidak lain sebagai penambah stamina. Ada anggapan, bahwa pada saat membelinya, maka akan menunjukkan bahwa si pembeli memanglah ‘loyo’.

Menjaga Sebuah Merek

Sebuah merek akan terjaga namanya selama merek tersebut sering diiklankan. Benarkah anggapan ini? Meskipun tidak ada yang membenarkannya, tetapi banyak sudah fakta bahwa merek akan tetap dikenal dan dikenang dikarenakan adanya iklan yang dilakukan secara terus-menerus. Apapun medianya, baik media cetak maupun elektronik, iklan merupakan cara yang paling efektif untuk membentuk image sebuah merek.

Iklan melalui media elektronik, khususnya iklan televisi adalah bentuk komunikasi yang paling berpengaruh pada saat ini. Tetapi bukan berarti di media cetak tidak memiliki pengaruh terhadap konsumen, karena iklan dalam bentuk sebuah foto atau gambar dalam surat kabar juga memiliki makna yang lebih. Dia bisa membawa pada imaginasi tertentu bagi konsumen.

Menurut Neil Postman, iklan televisi memang telah menjadi paradigma penting bagi struktur tiap jenis diskursus publik. Tidak hanya itu, iklan televisi bukanlah bercerita mengenai sifat produk yang ditawarkan, melainkan juga mengenai sifat para pembelinya. Sementara, apa yang perlu diketahui pengiklan bukanlah apa yang baik yangdipunyai dari produknya, melainkan apa yang tidak dipunyai oleh calon pembeli[8].

Dengan mengiklankan suatu merek, terutama di televisi, maka image sebuah merek dengan sendirinya akan dapat dicapai. Bagi konsumen sendiri, dengan mengetahui suatu merek pada sebuah produk melalui iklan membuatnya yakin dalam menentukan merek dari produk apa yang dibelinya. Sebab ada sebuah paradoks di masyarakat bahwa produk belum hebat dan terjamin kualitasnya apabila belum muncul di layar kaca.

Perlu juga untuk diketahui, dalam menjaga merek selain hal tersebut diatas masih terdapat beberapa cara yang juga harus diperhatikan. Pertama, inovasi produk. Inovasi produk memang harus dilakukan jangan sampai diabaikan. Sebab khusus untuk produk barang elektronok maupun pesawat hp, memang sangat dibutuhkan. Kita telah mengetahui, diwal munculnya berbagai HP, bentuk dari HP lebih besar dan berantena. Apabila bentuk HP tetap dipertahankan seperti dulu, sementara produk sejenis dari perusahaan lain justru menciptakan produk-produk yang inovativ, cepat atau lambat akan tertinggal jauh angka penjualannya.

Kedua, memperhatikan program pemasaran denganh cara mengganti komunikasi produk. Apapun merek suatu produk dengan beragam tipenya, tanpa adanya pergantian iklan menyebabkan khalayak kurang mengenal produk yang dipasarkan. Misalkan saja, HP merek Nokia seri 6600 dan 8800, apa akan segera dikenal di masyarakat jika hanya mengandalkan iklan tanpa mengetahui seri-seri yang telah dikeluarkan. Ini akan semakin memperkuat image dari Nokia sendiri dengan slogan Connecting Peoplenya.

Penutup

Dari uraian kikir diatas, diketahui begitu besarnya fungsi dan peran dari sebuah nama merek. Merek tidak hanya digunakan sebagai alat pembeda maupun untuk berpromosi. Tetapi juga dapat membangun image yang kuat bagi para konsumen. Para pemilik merek memang perlu memahami psikologi dari calon konsumennya. Sangat disayangkan bila merek yang sudah dikenal luas menjadi asing bagi konsumen karena tersaingi, merek lain untuk produk barang yang sejenis.

Begitu pentingnya menjaga merek untuk membangun image dalam era perdagangan global ini. Persaingan dalam beriklan bukan hal yang asing lagi untuk masa sekarang. Bagaimana sebuah ikaln dapat mempengaruhi para konsumen merupakan kenyataan yang harus diperhatikan tanpa mengurangi keunggulan dari produk. Dengan kata lain, menurut Thomas L. Friedman[9]. Untuk membangun merek yang kuat, sebuah perusahaan harus menunjukkan kekuatan khusus dan perbedaan produk itu dengan yang lainnya.

Memiliki sebuah merek adalah penting, tapi menjaga sebuah merek agar tetap dikenal konsumen jauh lebih penting.




[1] Cita Citrawinda Priapantja, Hak Kekayaan Intelektual: Tantangan Masa Depan, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2003, hlm. 4

[2] Kenichi Ohmae, The Rise of the Region State, Indiana University Press, Bloomington, 2000, hlm. 93. Lihat juga buku Ohmae lainnya, The Ednd of the nation State: The Rise of Regional Economies, The Free Press, New York, 1995, dikatakan, adanya perkembangan tersebut memiliki tiga efek yang sangat luas. Dua diantaranya adalah: 1) at the company level, they have changed what managers can know in real time about their markets, products, and organizational processes. This means managers can be for more responsive to what their customers want and far more flexible in how they organize to make and provide it. 2) at the market level, these developments have changed what customers everywhere can know about the wayother people live about the products and the services available to them, and about the relative value such offerings provide. This means that economic nationalism exerts an ever-smaller influence an purchase decision, hlm. 27-28

[3] Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 268-269

[4] Insan Budi Maulana, Sukses Bisnis Melalui Merek paten dan Hak Cipta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 60

[5] Tim Lindsey (eds.), Hak Kekayaan Intelektual, Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 2001, hlm. 131-132

[6] Wicaksono Noeradi, Melihat Iklan, dalam Riant Nugroho (eds.), Obrolan 17 Praktisi Bisnis Indonesia, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 1996, hlm. 377

[7] James E. Comb & Dan Nimmo, The New Propaganda: The Dictatorship of palaver in Contemporary Politics, terj. Lien Amelia, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994, hlm. 199

[8] Neil Postman, Amusing Ourself, penerj. Inggita Notosusanto, PT. Pustaka Sinar Harapan 1995, hlm. 135 dan 137)

[9] Thomas L. Friedman, Understanding Globalization: The Lexus And The Olive Tree, Tim Penerj. ITB, ITB, Bandung, 2002, hlm.242.

No comments: