Wednesday, February 18, 2009

Partisipasi Masyarakat

Urgensi Pendekatan Soft Power dan Partisipasi Masyarakat Untuk Peningkatan Kinerja dan Profesionalisme Pelaku Diplomasiã

Pendahuluan

Jika dilihat dari unsur – unsur fundamentalnya, politik luar negeri terdiri dari dua elemen yaitu : tujuan nasional yang ingin dicapai dan alat – alat untuk mencapainya, interaksi tujuan nasional dengan sumber – sumber utama untuk mencapainya merupakan subjek kenegaraan yang abadi. Dalam unsur–unsur ini terdapat politik luar negeri semua negara, besar atau kecil semuanya sama [1].

Persyaratan Crabbe Jr diatas, menegaskan bahwa antara tujuan nasional dan alat untuk mencapainya merupakan syarat mutlak yang tidak bisa tidak (Conditio Sine Quo Non) mutlak diperlukan oleh suatu negara dalam menjalankan politik luar negerinya. Tanpa keduanya, ibarat orang buta dan lumpuh, praktis tidak berdaya. Melalui tujuan nasional, maka politik luar negeri akan memiliki tujuan yang jelas dan sejalan dengan kepentingan bangsa dan negara. Sedangkan alat – alat untuk mencapainya merupakan penggerak dari politik luar negeri itu sendiri dalam percaturan internasional.

Politik Luar Negeri

Sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan konstitusi. Selain ikut melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan social, guna melindungi bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu pelaksanaan politik luar negeri kita harus merupakan pencerminan idiologi bangsa. Pancasila sebagai idiologi bangsa Indonesia merupakan landasan idiil yang mempengaruhi dan menjiwai politik luar negeri.
Politik luar negeri Indonesia yang “ bebas aktif” adalah pilihan tepat, karena pada hakikatnya politik luar negeri bukan merupakan politik netral.
Melainkan politik luar negeri yang bebas menentukan sikap dan kebijaksaan terhadap permasalahan internasional dan tidak mengikatkan diri secara apriori pada suatu kekuatan dunia serta secara aktif maupun partisipasi aktif dalam menyelesaikan konflik.Yang terpenting, politik luar negeri kita sudah sejalan dengan konstitusi.
Politik luar negeri suatu negara umumnya tidak jauh dengan yang diatur dalam konstitusi. Meminjam analisis Charles G. Fenwick, Konstutusi mengandung makna

yang tersirat dan melekat (inheren) dalam konsep itu sendiri. Tapi di luar syarat minimum, isi konstitusi dapat dijalankan secara keseluruhan kendati secara logika, kepentingan dengan kenyataan. Isinya ditentukan oleh tradisi – tradisi politik dan seluruh konteks kultural dimana suatu negara merumuskan politik luar negerinya [2].
Dalam prakteknya politik luar negeri kita yang dilakukan Departemen Luar Negeri memiliki visi : melalui diplomasi total, ikut mewujudkan Indonesia yang bersatu, lebih aman, adil, demokratis dan sejahtera : Diplomasi total diartikan sebagai instrumen dan cara yang digunakan dalam diplomasi dengan melibatkan seluruh komponen stakeholder,memanfaatkan seluruh lini kekuatan (multi – track diplomacy). Adapun misi Departemen Luar Negeri dikenal dengan Sapta Dharma Caraka yang merupakan penjabaran dalam rangka mengemban visi agar kepentingan nasional juga tercapai.

Diplomasi Mandul ?

Kepentingan nasional, seperti yang didefinisikan oleh Hans Morgenthau (1904 – 1980) adalah suatu abstraksi yang luas. Parabirokrat dan diplomat bisa didesak untuk bertindak secara prudent dan realities serta menghindari keputusan-keputusan yang bersifat moralistic – legalistic. Selain itu dalam keyakinan Morgenthau tindakan politik itu tidak terbatas, tidak persis dan tidak bisa secara jelas diamati. Karena itu, apabila konsep – konsep politik secara akurat harus merefleksikan realitas politik yang kabur atau tidak jelas itu, maka konsep – konsep tadi tidak persis dan kabur.

Harus diakui secara jujur bahwa politik luar negeri kita belum jelas, ketimbang menyebutkan kabur atau tidak jelas. Bagaimana tidak ?. Pada masa kepemimpinan Soekarno, politk luar negeri kita bebas aktif cenderung anti– blok Barat. Terbukti dengan adanya gerakan non blok, dimana negara kita salah – satu inisiator pendirian gerakan non blok. Sementara pada masa Soeharto, justru Pro Blok Barat, ini dapat dilihat ketika produk UU yang diterbitkan adalah UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing maupun UU No 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan WTO, hanya dalam waktu tujuh bulan pasca penandatanganan kesepakatan putaran uruguay[3].

Saat ini, Politik luar negeri di bawah kepemimipinan SBY – JK, ternyata masih meneruskan apa yang telah dilakukan Soharto. Dalam tulisannya Hikmahanto Juwana, Politik luar negeri yang dijalankan belum menyentuh permasalahan rakyat . Sebaliknya justru mendapat apresiasi dari masyarakat internasional. Idealnya, apresiasi masyarakat internasional perlu mendapat tempat, tetapi tidak menjadi tolak ukur keberhasilan politik luar negeri. Pemerintah SBY – JK [4].

Sebenarnya hal ini juga terjadi di negara lain yang masih berkembang / negara – negara utara. Karena secara ekonomi negara – negara berkembang lemah untuk memulai integrasi dengan pasar dunia.Selain itu prasyarat – prasyarat yang melekat pada paket – paket kebijakan penjadwalan kembali utang menghambat pemulihannya. Kelemahan – kelemahan negara berkembang juga bersumber dari lemahnya daya tawar dan negosiasi dalam hubungan internasional hal ini sangat menguntungkan negara maju/negara-negara Selatan ( pembahasan lebih lanjut dalam Martin Khor, Globalization and South : Some Critical Issues Perang, Malaysia : Third World Netrork, 2000, H, The Power of the United Nations, in wich the South is in a more favourable position, have been diminished, where as the mandate and power of the institusions under the control developed countries (the IMF, Work Bandk and WTO) have been in creased tremendously.

Pendekatan Soft Power dam Partisipasi

Masalah kemampuan negosiasi yang kita miliki sangat lemah. Kita belum dapat menformulasikan secara pasti apa penyebab kemampuan diplomasi lemah (terutama) menyangkut masalah seputar perekonomian dan perdagangan. Sekedar contoh saja, pada pertemuan Konfrensi Tingkat Menteri WTO tahun 2005. Indonesia tidak menempatkan diri dalam satu barisan dengan negara – negata berkembang lainnya seperti Brazil, India atapun China yang menyuarakan belum siapnya negara – negara berkembang untuk mencabut subsidi pertanian. Bahkan Indonesia tidak berkaca dengan tragedi KTM V WTO di Cancun, Mexico pada tahun 2003 yang diprotes keras oleh ribuan aktivis berbagai negara berkembang [5].

Padahal politik luar negeri yang bebas aktif sebagaiamana yang disebutkan dalam penjelasan UU No. 37 Tahun 1999 menyebutkan haruslah berdasarkan atas hukum dasar yaitu UUD 1945 sebagai landasan konstitusional yang tidak lepas dari tujuan nasional, bangsa Indonesia, sebagaimana termaktub di dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke – empat.

Apabila melihat salah satu misi Departemen Luar Negeri adalah membantu tercapainya Indonesia sejahtera melalui kerjasama pembangunan dan ekonomi, promosi dagang dan investasi, kesempatan kerja dan alih teknologi. Tambah lagi dalam tujuannnya politik luar negeri salah satunya adalah mengembangkan kerjasama ekonomi, perdagangan, investasi, alih teknologi dan bantuan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.


Kenyataannya kerjasama ekonomi, perdagangan, investasi dan lainnya tidaklah berbanding lurus dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia. Parahnya Indonesia justru disebut sebagai Good Boy, bagi lembaga – lembaga donor internasional. Niatan Indonesia untuk membebaskan diri dari jeratan hutang hanya cita – cita mulia yang baru sebatas wacana. Belum juga tujuan luhur itu kesampaian, justru kucuran hutang baru yang diberi [6]. Belajar dari Nigeria tahun 2005 yang telah mendapatkan pemotongan utang. Dengan pemotongan utang maka alokasi dana akan didistribusikan untuk memberantas kemiskinan.

Hal di atas paling tidak dapat menyisakan pertanyaan. Pertama, apakah diplomasi kita mandul ?, kedua apakah Pemerintah kita tidak berdaya menghadapi tekanan negara ataupun lembaga Internasional ?, ketiga apakah kedua hal tersebut sedangk kita alami?
Kita tetap perlu melontarkan pertanyaan tersebut. Akan tetapi adalah bagaimana solusi untuk memperbaiki keadaan yang ada.Hans Morgenthau telah menawarkan solusinya , jauh sebelum kita terjerat hutang dan tidak berdaya, yaitu :
1. Diplomasi harus terlepas dari semangat perjuangan (crusading spirit) . Para diplomat yang bertindak sebagai pejuang (crusader) untuk alas an yang lebih tinggi akan bisa bersikap pragmatis, fleksibel dan akan mengganggu proses negosiasi serta akan mengunci diri mereka dari segala hal yang tidak bias dikompromikan.
2. Tujuan politik luar negeri harus didefinisikan menurut kepentingan nasional dan harus didukung oleh kekuatan yang cukup
3. Diplomasi harus melihat suasana politik dari sudur pandang negara – negara lain.
4. Negara – negara harus mempunyai keinginan untuk mengkompromikan semua isu yang tidak vital bagi mereka [7].

Lemahnya diplomasi kita bukan berarti membuat terpuruk dan kian tak berdaya. Masih ada jalan untuk mengangkat citra diplomasi kita yakni dengan cara pendekatan soft power dan partisipasi masyarakat. Presiden SBY pernah menegaskan dalam pidato Foreign Policy Breakfast di Gedung Deplu, Pejambon tanggal 19 Agustus 2005 lalu, Indonesia harus menegakkan harga dirinya di depan negara lain. Sangat penting pendekatan soft power dalam tatanan politik internasional, yang disebutnya dapat memikat (charm) sekaligus tidak menggunakan senjata (disarm)9.

Menurut Joseph Nye, soft power diartikan sebagai kemampuan suatu negara untuk menjadikan negara-negara lain memiliki keinginan sesuai dengan keinginan-keinginan negara tersebut melalui kebudayaan dan idiologi yang di milikinya. Jika kebudayaan dan idiologi suatu negara menarik, negara-negara lain akan mengikuti pola kepemimpinannya. Dimana soft power memiliki peran yang sama pentingnya dengan hard power (kebijakan yang bertumpu pada kekuatan ekonomi dan militer)10.
Namun apakah yang menjadikan suatu kebudayaan dan idiologi menarik? Samuel P. Huntington menyebutkan dalam thesisnya, suatu kebudayaan dan idiologi menjadi menarik karena dipandang berhasil dan berpengaruh. Soft power hanya akan memiliki kekuatan jika ia memiliki landasan hard power. Kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang ekonomi dan militer (hard power) akan membuahkan keyakinan diri sekaligus arogansi dan keyakinan terhadap superioritas kebudayaan sendiri atas kebudayaan-kebudayaan dari dan mengandung ketertarikan masyarakat lain[8].

Dari pilihan pendekatan hubungan internasional yang memungkinkan bagi Indonesia adalah pendekatan soft power. `Mengamati lebih dalam mengapa pendekatan soft power lebih di tekankan ketimbang hard power dalam peningkatan kinerja diplomasi kita disebabkan :Masyarakat Asia yakin bahwa Asia Timur akan mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat serta mampu melampaui Barat.Masyarakat Asia yakin bahwa keberhasilan ekonomi merupakan hasil kebudayaan Asia, yang lebih unggul dari Barat, yang secara social maupun cultural mengalami dekadensi.

Meskipun masyarakat Asia mengakui adanya perbedaan-perbedaan di antara mereka dengan peradaban masing-masing, tapi meraka juga mengakui bahwa terdapat kesamaan-kesamaan yang signifikan.

Masyarakat Asia Timur berkeyakinan bahwa perkembangan yang terjadi di Asia dan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat Asia serta berbagai pola kebijkan yang diterapkan masyarakat non-Barat lainnya dapat digunakan untuk menandingi serta mengejar ketertinggalan dari Barat yang harus di adopsi supaya dapat dilakukan pembaruan[9].

Perlu dicatat juga, pasca runtuhnya Uni Soviet dan perubahan global di penghujung abad 20 dan awal abad 21 telah terjadi perubahan global yang merubah semua tatanan hubungan politik luar negeri tipa negara. Dunia sudah tidak lagi dengan system bipolar melainkan berubah menjadi system multipolar. Maka tatanan global politik internasional mengalami perubahan yang sangat signifikan. Dalam sistem yang multipolar, maka pendekatan dalam setiap interaksi antar negara adalah dengan pendekatan soft power. Langkah Indonesia melaksanakan soft power perlu diberikan apresiasi.

Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya selain dengan pendekatan soft power perlu melibatkan partispasi masyarakat. Politik luar negeri tidaklah semata tugas Departemen Luar Negeri. Tentunya partisipasi masyarakat ini sejalan dengan visi Departemen Luar Negeri melalui diplomasi total maupun dalammisi dan tujuan politik luar negeri adalah untuk meningkatkan koordinasi penyelnggaraan politi luar negeri itu sendiri.

Dalam penjelasan Pasal 5 UU No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri disebutkan bahwa kalangan nonpemerintah ialah mencakup perseorangan dan organisasi yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa lazim disebut dan dikategorikan sebagi non governmental organization (NGO), termasuk DPR.

Adanya pengaturantentang pelibatan yang diatur dalam bentuk Undang-undang menegaskan politik luar negeri bukanlah monopoli dari Departemen Luar Negeri. Penulis pernah menanyakan kepada Jonny Sinaga, selaku Direktur Sekolah Staf dan Pimpinan, Departemen Luar Negeri pada acara diskusi kelompok terfokus yang diselenggarakan oleh Komnas HAM di Yogyakarta tanggal 15 Mei 2007 lalu tentang Pentingnya Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan, mengenai kemungkinan perorangan ataupun kelompok untuk di fasilitasi Departemen Luar Negeri berpartisi dalam mengawal politik luar negeri pemerintah kita. Sayang, jawaban yang disampaikan Jonny Sinaga terlalu mengambang, sekalipun UU No.37 Tahun 1999 dan juga rencana strategis Departemen Luar Negeri telah membuka ruang terhadap partisipasi masyarakat.

Kiranya Departemen Luar Negeri perlu memperhatikan ruang partisipasi ini lebih terbuka. Sejauh ini peningkatan kinerja pelaku diplomasi telah diupayakan melalui pendidikan untuk para diplomat, namun belum ada kemajuan yang progresif dalam melaksanakan diplomasi total ala Departemen Luar Negeri ini. Karena dengan kegiatan pelibatan para diplomat selaku tulang punggung diplomasi pada manajemen pemerintahan atau kegiatan kemasyarakatan belum menunjukkan tanda-tanda mendapatkan peluang-peluang ekonomi dan mempromosikan peluang ekonomi yang ada di Indonesia, alias belum menyentuh permasalahan rakyat, sebagaimana yang dikatakan oleh Hikmahanto Juwana.

Penutup

Harapan terhadap Departemen Luar Negeri untuk melaksanakan pendekatan soft power dan adanya partisipasi masyarakat semata-mata untuk peningkatan kinerja dan profesionalisme pelaku diplomasi. Amat disayangkan apabila pemerintah belum menangkap perubahan yang sedang terjadi. Bukan jamannya lagi pendekatan hard power dilaksanakan dalam hubungan internasional. Justru akan menimbulkan arogansi suatu negara dan kemungkinan besar akan terjadi perselisihan. Adanya pendapat abad 21 merupakan abadnya kebangkitan Asia dapat menjadi pemicu bagi Indonesia melalui Departemen Luar Negeri untuk lebih cepat berbenah diri. Melalui pendekatan soft power dan partisipasi yang memungkinkan adanya koordinasi antar stakeholders maka politik luar negeri yang bebas aktif dapat dijalankan dan benar-benar untuk masyarakat Indonesia. Semoga.

Daftar Pustaka

[1] Ceci V Crabbe, Jr. American Policy in the Nuclear Age. 3 id Edition, Newyork : harper & row, 1972 : 1)
[2] Charles G. Fenwick, International Law, 4 th Edition, New York, Appleton Century – Crotfts, 1965 : 124 , 158 - 203
[3] Lihat Kurniawan Desiarto, Hak Atas Kekayaan Intelektual : Penghargaan atau Rekayasa, Jurnal Demokrasi, Vol II, No 3 , Mei 2004 ; 137
[4] Hikmahanto Juwana, Diplomasi Indonesia Belum Bertaji, Media Indonesia, edisi 4 Oktober 2005
[5] Lihat Kurniawan Desiarto, Globalisasi ala WTO, harian Bernas edisi 16 September 2003
[6] Lihat Gatra, 28 Juni 2006, hlm 80
[7] Hans Morgenthau, Politics Among Nations , the Struggle For Power and Peace 5 th Edition, New York : Konon, 1973 : S 40 - 48
9 lihat harian Republika, edisi 20 Agustus 2005.
10 Joseph S. Nye, The Changing Nature of World Power, Political Science Quarterly of Chicago Press, 1963; 545.

2 comments:

Yohan said...

Mohon Hukum Tentang Harta Gono Gini di Indonesia diperbaiki: Ada seorang Istri kedapatan selingkuh, kemudian lari pergi meninggalkan rumah dan anak2 tanpa ijin dan pamit kepada suami selama 4 tahun. Setelah digugat cerai oleh suami karena sudah 4 tahun pergi meninggalkan rumah dan anak2 dan tidak ada kabar berita. Setelah putusan cerai diputuskan oleh pengadilan,(Istri tidak pernah datang selama persidangan cerai)3 bulan kemudian Tiba2 sang suami digugat masalah harta gono gini oleh mantan istri. Padahal selama perkawinan terjadi sang istri tidak pernah bekerja, yang bekerja hanya suami. Sang istri memanfaatkan undang2 hukum negara soal harta gono gini sebagai alat untuk mendapatkan uang. BAGAIMANA INI PAK ???? SUNGGUH TIDAK ADIL !!! SEORANG ISTRI YANG BERSELINGKUH DAN PERGI MENINGGALKAN RUMAH MENJADI BISA MENDAPAT HARTA GONO GINI SANGAT. SUNGGUH INI TIDAK ADIL.

Mohon Bapak2 yang berwenang merubah tentang hukum pembagian harta gono gini. Mestinya seorang istri atau suami yang kedapatan berselingkuh dan pergi meninggalkan rumah tanpa ijin, tidak lagi berhak atas harta gono gini.

TERIMA KASIH.

ArKa said...

Ya, semoga terselesaikan dengan baik ya pak.