Wednesday, February 18, 2009

KPI

Eksistensi Komisi Penyiaran Indonesia




Pendahuluan

Sistem penyiaran nasional menurut UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan tatanan penyelenggaraan penyiaran nasional berdasarkan ketentuan peraturan perundangan menuju tercapainya asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran nasional sebagai upaya mewujudkan cita-cita nasional. Dari sini menjadi jelas bahwa, penyiaran diselenggarkan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa maupun yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia

Dalam pada itu, perkembangan teknologi dan informasi telah melahirkan masyarakat informasi yang makin besar tuntutannya akan hak untuk mengetahui (right to know)(right of access to information) dalam sistem negara yang demokratis (democratic state system). Belakangan ini, informasi telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat dan telah menjadi komoditas penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. dan hak memperoleh informasi.

Sebagaimana yang termuat dalam penjelasan UU Penyiaran, perkembangan teknologi komunikasi dan informasi membawa implikasi terhadap dunia penyiaran, tak terkecuali di Indonesia. Penyiaran sebagai penyalur informasi dan pembentuk pendapat umum (public opinion), berperan sangat strategis terutama dalam mengembangkan alam demokrsi dan menjadi salah satu sarana komunikasi bagi masyarakat, lembaga penyiaran, dunia bisnis dan pemerintah. Melalui pendekatan informasi maka semua elemen yang ada dapat saling memahami, atau bisa jadi berlaku sebaliknya.
.
Menurut Pye (1963), pendekatan komunikasi mempunyai keistimewaan karena menyediakan suatu dasar bersama (common basis) untuk menganalisis baik permasalahan struktural yang kelihatan (manifest) maupun persoalan sikap (attitude) dan nilai-nilai yang paling halus dalam keseluruhan perubahan politik dan pembangunan suatu bangsa (Zulkarimein Nasution, 1990:25). Oleh karena itu, umtuk mencapai tujuan penyiaran dalam UU No.32 Tahun 32 dikenal adanya lembaga pengawas yang dikenal sebagai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang merupakan lembaga bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Hanya saja persoalannya, bagaimana KPI dapat menjalankan tugas dan kewajibannya ditengah perubahan yang serba cepat dan pada saat bersamaan harus menghadapi beberapa kepentingan berbeda antara pemerintah, industri penyiaran, pemasang iklan, dan masyarakat.

Penyiaran Nasional Dan Perubahan Zaman

Tidak sedikit orang sering memiliki kepercayaan dan pandangan yang keliru bahwa kepentingan umum hanya dapat dipenuhi oleh sektor publik dan bahwa sektor swasta harus diperbolehkan memiliki kebebasan penuh (Erich Vogt; 2001: 10). Karena itu menurut Erich Vogt, tidaklah mengherankan kalau kita mendengar begitu banyak kelompok kepentingan dibidang penyiaran yang mengibaratkan lisensi penyiaran/ijin siaran sama seperti lisensi untuk mencetak uang.

Ketentuan yang mensyaratkan bahwa penyiaran hendaknya melayani publik dengan baik secara tradisional bertopang pada keyakinan bahwa gelombang udara adalah milik publik. Sebagai milik publik, spektrum frekuensi juga, sebagaimana halnya dengan milik publik lainnya, merupakan sumber daya yang terbatas sehingga membatasi jumlah lisensi yang dapat dikeluarkan kepada umum untuk memanfaatkannya (ibid).

Adanya perubahan besar diera penyiaran satelit dan digital telah mempengaruhi dan mewarnai sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Dalam pengamatan Anthony Giddens, televisi memainkan peran langsung dalam revolusi 1989, yang dengan tepat disebut sebagai “revolusi televisi” yang pertama. Protes turun ke jalan yang terjadi di satu negara disaksikan oleh para pemirsa televisi di negara lain, dan sebagian besar dari mereka kemudian melakukan hal yang sama di negara mereka sendiri (Anthony Giddens, terj.2001; 10). Tidak ketinggalan dengan penetrasi dari budaya industri (industry culture) yang memasuki alam bawah sadar pemirsa saban hari dan sedikit banyaknya berhasil merubah gaya hidup mereka.

Berbeda dengan era sebelumnya, bagaimana tradisi budaya dan moral benar-benar relatif terjaga. Perbedaannya karena sejumlah faktor terkait; kebanyakan faktor tersebut sangat berhubungan dengan dampak pertumbuhan dan mapannya media. Pertama, produksi budaya hari ini didominasi oleh media sampai ketingkat dimana tidak ada aktivitas budaya atau produksi yang tidak tersentuh oleh media. Kedua, media menampilkan segala sesuatu sebagai hal yang menarik pada dan untuk dirinya; media-media cenderung untuk menghancurkan kemungkinan bahwa sesuatu secara kualitatif lebih baik dari yang lain. Hal ini dikarenakan oleh media, sesuatu bisa menjadi menarik atau menjadi membosankan—dan seperti itulah sesuatu itu. Ketiga, faktor inilah yang menciptakan situasi sekarang begitu dari yang lainnya, yaitu dominasi media dan runtuhnya piranti kritis menjadi sekadar kategori barang-barang yang menarik atau membosankan, dimana bukan nilai budaya saja yang dihancurkan, tetapi nilai moralpun tal luput mengalami kerusakan moral (Keith Tester, terj.2003;4)
Sementara pendapat Ben Agger, sebuah budaya akan memasuki dunia hiburan maka budaya itu umumnya menjadikan unsur populer sebagai unsur utama. Kemudian budaya tersebut akan memperoleh kekuatannya manakala media massa digunakan sebagai jalan pintas penyebaran pengaruh dimasyarakat (Ben Agger, 1992; 24). Akibatnya antara budaya dan hiburan menjadi sukar dibedakan. Masyarakat secara terus-menerus dijejali dengan hiburan yang terselubung dalam selimut budaya dan dunia hiburan lambat laun kian tak terkendali karena disiarkan secara massif.

Dalam dunia kapitalisme, hiburan dan budaya telah menjelma menjadi industri (Burhan Bungin, 2001; 63). Program siaran yang yang sebenarnya merupakan kegiatan industri bertujuan melipat-gandakan laba telah dibeli label dengan ‘cap budaya’.

Pada konteks inilah Theodor Adorno dan Max Horkheimer mengatakan budaya industri sebagai media tipuan. Hampir sama dengan tesis Adorno dan Horkheimer, Simon During juga mempertegas bahwa, dunia hiburan telah menjadi sebuah proses reproduksi kepuasan manusia dalam media tipuan. Hampir tidak ada lagi perbedaan antara kehidupan nyata dengan dunia yang digambarkan dalam film yang dirancang menggunakan efek suara dengan tingkat ilusi yang sempurna, sehingga tak terkesan imaginater(Simon During, 1993; 31).

Dengan kata lain; hiburan merupakan supra-ideologi segala diskursus dalam televisi. Tak peduli apa yang ditayangkan dan melaui sudut pandang mana. Alasannya adalah bahwa semua itu ditayangkan untuk menghibur dan menyenangkan, sebagaimana pendapat Neil Postman. Lebih dari itu, ketika suatu masyarakat telah disibukkan dengan hal yang remeh-temeh, saat itu kehidupan budaya didefinisikan kembali sebagai arus hiburan tanpa henti, bila konversasi serius publik telah menjadi sebentuk ocehan bayi, singkat kalimat, ketika masyarakat menjadi sekelompok pemirsa dan urusan publiknya menjadi sebuah pertunjukan vaudeville, maka sebuah negara akan tiba ditepi jurang kematian kebudayaan (Neil Postman; terj.1995; 97 dan 164).

Komisi Penyiaran Indonesia Dan Tantangan Yang Dihadapi

Untuk mengantisipasi hal-hal negatif dari perkembangan penyiaran satelit dan digital, UU Penyiaran telah memberi kewenangan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Secara esensial, Pasal 7 UU No.32 Tahun 2002 mencantumkan, KPI sebagai lembaga independen yang mengatur mengenai hal-hal berkaitan dengan penyiaran. KPI dapat dikatakan sebagai lembaga ekstrastruktural (lembaga diluar kementerian), lembaga kuasi negara atau state auxiliary agency, tetapi tetap terbilang sebagai executive branch.

Lembaga seperti KPI merupakan ciri yang berkembang pada negara-negara demokratis. Otoritas ini merupakan institusi yang terlepas dari pemerintah. Dalam konsep demokrasi peran pemerintah semakin mengecil, sementara peran publik (masyarakat) semakin besar. Karena itu, diperlukan lembaga-lembaga khusus yang mewakili kepentingan publik (S.Sinansari Ecip, 2006; 1). KPI merupakan instusionalisasi dari peran serta masyarakat yang berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran.

Menurut UU Penyiaran, tugas dan kewajiban KPI adalah; menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan HAM; ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran; ikut membantu iklim persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran dan industri terkait; memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata dan seimbang; menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran; dan menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas bidang penyiaran.

Selain tugas dan kewajiban, KPI juga memiliki kewenangan antara lain; menetapkan standar program siaran; menyusun dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran; mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran dan masyarakat.
Sedangkan pemerintah, menurut Erich Vogt, hendaknya :
1). Mengeluarkan instruksi atau perintah resmi kepada Komisi Penyiaran mengenai aplikasi masalah-masalah kebijakan.
2). Menyusun instruksi kebijakan yang berpijak pada sifat dasar kebijakan yang luas.
3) Memberikan Komisi Penyiaran kemandirian yang dibutuhkan untuk menerjemahkan instruksi-instruksi kebijakan yang luas ini kedalam kegiatan-kegiatan yang bersifat mengatur.
4). Mengeluarkan instruksi-instruksi resmi sesuai dengan proses-proses publik yang transparan.

Sementara tanggung jawab pemerintah terhadap hal-hal yang berkaitan dengan penyiaran, yang penting bagi masyarakat dari segi ekonomi, budaya dan sosial, meliputi antara lain:
1). Penetapan jasa penyiaran secara keseluruhan yang merencanakan prioritas, termasuk prioritas untuk memberikan pelayanan-pelayanan seperti itu.
2). Berdasarkan nasihat instansi-instansi pengatur, pengalokasian spektrum frekuensi radio kepada regulator untuk maksud perencanaan penyiaran dan pelayanan-pelayanan lainnya.
3). Tanggung-jawab pelayanan universal dan kewajiban-kewajiban badan-badan penyelenggara publik.
4). Kewajiban-kewajiban menurut perjanjian-perjanjian dan konvensi-konvensi internasional (Erich Vogt, 2001;27-8).

Adapun lembaga yang diawasi oleh KPI adalah : 1). Lembaga penyiaran publik (TVRI dan RRI); 2). Lembaga penyiaran swasta (televisi swasta dan radio swasta); 3). Lembaga penyiaran komunitas; 4) Lembaga penyiaran berlangganan. Khusus untuk penyiaran swasta, pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik disatu wilayah siaran maupun dibeberapa wilayah siaran dibatasi (Pasal 18 Ayat (1) UU No.32 Tahun 2002). Selain itu, kepemilikan silang antara lembaga penyiaran swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan lembaga penyiaran swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara lembaga penyiaran dan perusahaan media cetak, serta antara lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi (Pasal 18 Ayat (3) UU No.32 Tahun 2002). Untuk mengatur lebih lanjut ketentuan Pasal 18 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No.32 Tahun 2002, disusun oleh KPI bersama pemerintah.

Perlunya pembatasan itu agar tidak sampai terjadi konglomerasi media yang dimiliki oleh satu orang dan/atau beberapa orang saja. Karena hal ini akan menjadi ancaman terhadap demokrasi, seperti yang dikhawatirkan oleh Robert MC Chesney. Penguasaan pribadi terhadap sistem media dan komunikasi, menurut Chesney, bukanlah suatu praktik yang netral atau menguntungkan setiap pihak. Landasan komersial media massa sebut saja di Amerika Serkat misalnya, terbukti berimplikasi buruk terhadap praktik politik demokratis, karena iklan telah menjadi salah satu pemasukan terbesar mereka. Dalam kehidupan politik yang berkembang, komersialisme dalam media dan komunikasi berpengaruh besar dalam mendorong terjadinya proses depolitisasi masyarakat sipil (Robert MC Chesney, terj.1998; 3-4).

Menurut Erich Vogt, konsentrasi kepemilikan media ditangan segelintir orang akan merusak asas demokratisasi. Dan hal ini sama saja berlakunya baik di Jerman, Perancis dan Inggris maupun Indonesia. Konsentrasi dan kendali yang berada dalam kekuasaan segelintir orang, terutama investor asing, bahkan dapat menggerogoti kedaulatan. Karena itu adalah penting untuk menyusun kerangka kebijakan yang tepat untuk memastikan penyebaran kepemilikan media secara universal dan mencegah terjadinya konsentrasi media ditangan segelintir orang.

Dalam lingkup parameter-parameter ini, setiap sistem penyiaran dan undang-undang penyiaran hendaknya mendukung dan mempromosikan industri penyiaran yang aktif, yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan mempromosikan program siaran yang isinya sarat dengan unsur pribumi (indigenous content), program siaran dengan ‘sektor isi yang kreatif’ dari masyarakat. Hal ini menuntut suatu kerangka kebijakan yang menjamin penyesuaian cepat terhadap teknologi yang baru dan sedang berubah, penggunaan spektrum secara efisien dan kompetisi atau persaingan yang adil (Erich Vogt, 2001; 30-1).

Senarai Pustaka
Adorno, Theodor and Horkheimer, Max, (1991), The Culture Industry: Selected Essays on Mass Culture, ed. J.M. Bernstein, London: Routledge.

Agger, Ben., (1992), Cultural Studies as Critical Theory, London: The Falmer Press.

Bungin, Burhan., (2001), Imaji Media Massa: Konstruksi Dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi Dalam Masyarakat Kapitalistik, Yogyakarta: Penerbit Jendela.

Chesney, Robert MC., (terj.1998), Konglomerasi Media Massa dan Ancaman Terhadap Demokrasi, Penerj. Andi Achdian, Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen.

During, Simon., (1994), The Cultural Studies Reader, London: Routledge.
Ecip, S.Sinansari., Pengebirian KPI Oleh Kekuasaan, Makalah pada Seminar tentang, “Peran Lembaga Negara Independen Di Tengah Sentralisasi Pemerintahan”, diselenggarakan oleh KPI, di Jakarta, 20 Juli 2006.

Giddens, Anthony., (terj.2001), Runaway World, Penerj. Andri Kristiawan S dan Yustina Koen S, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Nasution, Zulkarimein, (1990), Komunikasi Politik Suatu Pengantar, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia

Postman, Neil., (terj.1995), Menghibur Diri Sampai Mati, Mewaspadai Media Televisi, Penerj. Inggita Notosusanto, Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan.

Pye, L.W., (ed), (1963), Communication And Political Development, Princeton: Princeton Universiti Press.

Tester, Keith, (terj.2003), Media, Budaya Dan Moralitas, Penerj. Muhammad Syukri, Yogyakarta: Kerjasama Juxtapose dengan Penerbit Kreasi Wacana.

Undang-undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Vogt, Erich, (2001), Pelayanan Umum Sebagai Salah Satu Bentuk Penyiaran, Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung.

No comments: