Wednesday, February 18, 2009


Potret Ketidakadilan Hukum (Refleksi Kegagalan Penegakan Hukum)

Harian Kompas edisi 6 Juli 2007 menuliskan berita, Kuli Panggul Dipenjara, Mencuri 10Kilogram Bawang Merah di Pasar Induk. Adalah 2 orang kuli panggul telah mencuri 10 Kg bawang merah di Pasar Induk Rau, Serang, Banten telah diganjar delapan bulan hukuman penjara pada sidang di Pengadilan Negeri Serang, yang sebelumnya dituntut sepuluh bulan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Kita tahu bahwa, harga 10 Kg bawang merah untuk kebutuhan hidup sehari-hari hanya bisa bertahan tidak lebih dari 10 hari. Mereka telah menyatakan penyesalan dan khilaf melakukan perbuatan tersebut dan meminta keringanan hukum karena masih ada tanggungan keluarga sambil disertai isak tangis.

Tapi apa lacur. Justru sang hakim menasihatkan, “Seharusnya kalau menangis itu jangan sekarang, tapi waktu mau melakukan perbuatan tersebut. Dan jangan bilang khilaf”. Namun hakim sedikt bijak, memberikan putusan lebih ringan dibanding tuntutan jaksa. Alasannya, kedua terdakwa belum sempat menikmati hasil curian mereka dan belum pernah dihukum.
Sementara, disebelah berita kuli panggul dipenjara tertulis berita lain yang membuat hati tersayat. Judul beritanya, “Korupsi Rp.14 Miliar Dituntut 1,5 tahun Penjara. Peristiwa ini juga terjadi di Serang, dimana wakil Ketua DPRD Kab. Serang, terbukti bersama-sama melakukan korupsi dana tak tersangka APBD provinsi Banten tahun 2003, untuk pembayaran dana tunjangan kegiatan panitia anggaran serta tunjangan perumahan 75 anggota DPRD Banten.

Hakim Corong Kekuasaan

Tak perlu disimpulkan pengantar diatas. Karena hal itu nyata, terjadi di Pengadilan Negeri yang sama, dengan institusi Kejaksaan Negeri yang sama, ditulis oleh koran dan wartawan yang sama pula.

Potret buram penegakan hukum (law enforcement) di negeri ini memperlihatkan bahwa hukum masih belum berpihak pada yang lemah. Keadilan bukan diperuntukkan masyarakat kecil. Hukum masih pandang bulu dan kepanjangan tangan dari kekuasaan dengan aliran positivisme hukum. Positivisme hukum memandang hukum bersifat ilmiah dengan implikasi pemikiran hukum diperuntukkan bagi yang berkuasa.

Alhasil, hakim bukanlah corong keadilan, melainkan corong kekuasaan. Dalam penegakan hukum yang positivistik, unsur kemanfaatan (zwechmassigkeit) dan unsur keadilan (gerechtigkeit) cenderung diabaikan. Yang dikedepankan adalah unsur kepastian hukum (rechtssicherheit).

Meminjam analisis Foucoult, kekuasaan sama dengan serba banyak relasi kekuasaan yang bekerja di salah satu ruang atau waktu. Dan secara konvensional dipahami bahwa kekuasaan itu sejatinya justru mengelabui dan menindas terhadap mereka yang dikuasai, menyebabkan kekuasaan selalu memproduksi kebenaran dan keadilan dengan cara memberikan kepastian hukum dan peraturan-peraturan yang kerap mereka langgar sendiri.

Makin banyak hukum memenuhi syarat “peraturan yang tetap”, yang sebanyak mungkin meniadakan ketidakpastian. van Apeldoorn menekankan, makin tepat dan tajam peraturan hukum itu, makin terdesaklah keadilan. Singkatnya, kebenaran dan keadilan datangnya tidak berasal dari luar, melainkan dalam kekuasaan. Karena keadilan tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi (summum ius, summa iniuria).

Menghentikan ketidakadilan

Keadilan merupakan keutamaan utama setiap institusi. Hukum dan institusi-institusi betapapun bagus dan efisiennya apabila tidak adil haruslah diperbaiki atau bahkan dihapus. Benar dan adil adalah hal yang tidak bisa dikompromikan, sebagaimana pendapat John Rawls.

Selanjutnya agar hukum dapat berjalan efektif sangat memerlukan unsur keadilan. Karena hukum sendiri tidak dapat disamakan dengan keadilan, melainkan mengarah pada keadilan. Perbedaan ini terletak pada sifat keadilan itu sendiri yakni, subjektif, individualistik dan kasuistik. Sedangkan hukum lebih bersifat umum, menyamaratakan dan mengikat setiap orang.

Untuk mendapatkan keadilan maka pola paradigma dan pendekatan hukum perlu diubah.
Adalah Nonet dan Selznick dengan gagasan hukum responsifnya berusaha meyakinkan bahwa hukum sebagai fasilitator dari respon terhadap segala kebutuhan dan aspirasi yang ada dimasyarakat. Hukum responsif timbul karena hukum yang ada selama ini mengabdi pada kekuasaan.

Namun hukum responsif tidak bisa menghentikan produk hukum yang diperuntukkan untuk kepentingan penguasa. Hukum responsif belum bisa menjangkau penegakan hukum struktural atau konflik pemanfaatan sumber daya alam. Karena dalam hukum responsif tingkat partisipasi sebatas diperluas dan lebih dipercayakan pada mereka yang berprofesi sebagai advokat.

Sebab itu maka, pendekatan yang sangat memungkinkan adalah dengan penegakan hukum progresif untuk mengatasi kelemahan sistem hukum yang selama ini dipakai. Kelemahan ini terutama terlihat adalah independensi institusi penegak hukum yang kurang, intervensi penguasa, tingginya tingkat korupsi dan rendahnya kualitas aparat penegak hukum.

Berdasarkan laporan studi atas Village Justice in Indonesia oleh World Bank 2005, lemahnya independensi diperburuk dengan terbatasnya akuntabilitas dan transparansi.
Gagasan hukum progresif kemunculanya hampir sama dengan gagasan hukum responsif. Menurut Prof. Satjipto Rahardjo gagasan hukum progresif disebabkan oleh kerisauan terhadap kondisi hukum dinegeri ini. Karena penegakan hukum progresif mengutamakan tujuan daripada proses. Hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang merupakan motor penting dalam penegakan hukum. Logika yang dipakai dalam penegakan hukum progresif lebih didasarkan pada logika kepatutan sosial (social reasonableness) dan logika keadilan ketimbang logika peraturan.

Namun, selain logika kepatutan sosial dan logika keadilan adalah adanya jaminan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat ini dimulai ketika suatu peraturan akan dibuat sampai pada tahap pelaksanaannya. Sayangnya, penegakan hukum progresif ini tidak pernah digunakan sekalipun banyak sekali terjadi kegagalan dalam penegakan hukum.

Kita hanya berharap penegakan hukum adalah benar-benar bertujuan menciptakan keadilan. Dari kasus diatas, apabila harga 10 Kg bawang merah yang dicuri setara dengan uang senilai Rp. 75 ribu dituntut 10 bulan penjara dengan putusan Pengadilan 8 bulan penjara plus nasihat bijak hakim. Lantas, adilkah korupsi sebesar 14 milyar rupiah hanya dituntut 1,5 tahun atau 18 bulan penjara?…..Kd…Kd…Kd…..

1 comment:

Unknown said...

MALAPETAKA HUKUM DI INDONESIA

Putusan PN. Jakarta Pusat No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas klausula baku yang digunakan Pelaku Usaha.Putusan ini telah dijadikan putusan rujukan/yurisprudensi pada 26 Juni 2001.
Sebaliknya yang terjadi di Surakarta.
Putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan pasal-pasal Klausula Baku untuk menolak gugatan. Putusan ini sekaligus sebagai "cover" bagi dugaan suap Rp. 5,4 jt untuk pengurusan surat NO.B/3306/IX/2005/Reskrim di Polda Jawa Tengah (serta dugaan pelanggaran jaminan fidusia dan penggelapan lainnya yang dilakukan Pelaku Usaha)
Inilah salah satu penyebab malapetaka hukum di negeri ini. Namun tidak perlu khawatir karena pada dasarnya bangsa ini memang jenis bangsa pecundang, yang hanya mampu tirakat, prihatin - maksimum menghimbau. Biarlah masalah seperti ini kita wariskan saja kepada cucu-cicit kita

Catur Danang,
email : prihatinhukum@gmail.com